Zakat Uang Kertas
Uang kertas bisa berperan dan berposisi sebagaimana Dinar dan Dirham. Jika menggunakan metode qiyas, maka hukum uang kertas sama dengan Dinar dan Dirham ditinjau secara fikih. Artinya, segala hukum yang berlaku dalam Dinar dan Dirham berlaku pula bagi uang kertas. Karena itu, uang kertas bisa mengalami riba dan uang kertas wajib dizakati, sebagaimana aturan ini juga berlaku pada Dinar dan Dirham
Ditulis oleh Muhammad Yassir, L.c.MA
(Staf Pengajar STDI Imam Syafi’i Jember)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, ”Ambillah zakat dari seagoing harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At- Taubah: 103)
Merupakan rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, bahwa segala perintah dan larangan-Nya mudah dan sesuai kemampuan hamba-Nya. Begitu pula zakat yang diwajibkan hanya atas sebagian harta, bukan atas semua harta. Zakat hanya diwajibkan pada emas dan perak (lebih terkenal dengan nama zakat mal), komoditas perdagangan, hasil pertanian, dan hasil peternakan.
Fokus pembahasan kita hukum zakat harta, yang kadang diistilahkan oleh ulama sebagai zakat mal atau zakat naqdain (dua mata uang: Dinar emas dan Dirham perak). Ini menunjukkan, zakat harta yang dikeluarkan bukan semua harta. Karena banyak harta lain yang tidak wajib dizakati. Seperti rumah, pakaian, perabot rumah tangga, kendaraan bermotor, dll, bahkan perhiasan seperti mutiara, intan dan berlian.
Kewaiban menzakati Dinar emas dan Dirham perak telah disepakati para ulama. Inilah yang dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik. Karenakan Dinar dan Dirham adalah alat transaksi dan memiliki nilai tukar untuk pembayaran yang sah saat itu. Sebagaimana yang kita pahami, pada zaman sekarang, keadaan telah berubah. Penggunaan emas dan perak sebagai alat transaksi hampir dipastikan tidak ada yang menerapkan. Yang berlaku uang kertas.
Hukum Zakat Uang Kertas
Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum terjadi jual-beli dengan uang kertas. Alat tukar yang sah saat itu Dinar emas dan Dirham perak. Hadis menyebutkan zakat harta dikhususkan pada Dinar dan Dirham.
Kita semua tahu, Dinar dan Dirham mempunyai nilai intrinsik yang berharga, walau keduanya tidak berbentuk mata uang namun zatnya bernilai sebagai logam mulia. Sedangkan uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik, dan kalau pun ada sangat kecil. Uang kertas hanya memiliki nominal yang tercantum di atasnya. Uang kertas berharga bukan karena sifatnya sebagai kertas. Tapi karena kepercayaan dan kesepakatan dalam sebuah tatanan masyarakat untuk menjadikan uang kertas sebagai barang berharga, yaitu sebagai alat pembayaran yang sah.
Jika menilik ke masa silam, munculnya kepercayaan masyarakat untuk menggunakan kertas sebagai alat tukar, kita melihat kertas itu tak ubahnya surat obligasi yang dijamin kepemilikannya dengan emas atau perak. Bahkan beberapa mata uang mencantumkan: ”uang ini sebagai surat obligasi yang berhak untuk ditukar oleh lembaga penerbitan uang seharga nominal uang tersebut”. Contoh mata uang real Arab Saudi zaman dulu (terbitan 1379 H). Tapi pada real sekarang tidak ada tulisan itu lagi.
Siring berjalannya waktu, penjaminan uang kertas dengan emas dan perak beranjak surut. Uang dicetak begitu saja tanpa ada saldo emas atau perak yang menopangnya. Kita pun menyadari kenyataan ini. Sekarang, tidak seorang pun yang memiliki uang kertas merasa punya piutang atau titipan emas di Bank Indonesia. Begitu juga BI yang mengeluarkan mata uang kertas bukan sebagai tanda bukti berutang pada pemilik uang kertas cetakanya. Oleh karena itu, BI tidak melayani penukaran uang kertas dengan emas atau perak. Kalau mau memiliki saldo emas atau perak, silakan membelinya dengan uang kertas di toko-toko emas.
Jadi, sebenarnya kita sekarang berada dalam posisi yang sudah dikondisikan sedemikian rupa. Karena itu, harapan mengubah dan mengajak seluruh masyarakat kembali menggunakan Dinar dan Dirham merupakan obsesi yang butuh usaha besar. Yang menjadi masalah, bagaimana jika upaya itu tidak bisa diwujudkan, atau sangat sulit diwujudkan? Tentu saja, kita tidak mungkin secara tega meninggalkan uang kertas sepenuhnya. Agar tidak dikira berprinsip apriori, kita perlu meninjau posisi uang kertas ini ditinjau dari Ilmu Fikih?
Pada zaman sekarang tidak ada yang memungkiri uang kertas adalah alat transaksi (tukar-menukar) yang sah dan diakui negara. Uang kertas telah diakui sebagai sarana investasi (tanmiyah), menjadi standar kekayaan materi, alat pembayaran yang sah dan bisa jadi mahar, bisa digunakan untuk pembayaran diyat, kaffarat, dll.
Ditinjau dari fungsi uang kertas saat ini, kita dapat menyimpulkan: uang kertas sekarang mempunyai peran dan posisi sebagaimana Dinar dan Dirham. Jika kita menggunakan metode qiyas, dapat disimpulkan, hukum uang kertas sama dengan Dinar dan Dirham ditinjau secara fikih. Artinya, segala hukum yang berlaku dalam Dinar dan Dirham berlaku pula bagi uang kertas. Karena itu, uang kertas bisa mengalami riba dan uang kertas wajib dizakati, sebagaimana aturan ini juga berlaku pada Dinar dan Dirham (Konferensi Komisi Fiqih Islami, Rabithah ‘Alam al-Islami No. 6 pada 8-16 Rabiul-Akhir 1402 H. Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia No. 1881, 1728. Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173)
Perbedaan keduanya hanya dari segi nilai intrinsik. Dinar dan Dirham memiliki nilai intrinsik. Berbeda dengan uang kertas, nilai intrinsiknya hampir bisa dibilang nol. Kaitannya dengan hal ini, seandainya Dinar dan Dirham (berbentuk mata uang resmi tercetak) dileburkan dan berubah bentuk fisiknya, sehingga menjadi emas atau perak batangan, dalam kondisi demikian pun tetap berlaku hukum fikih untuk dua benda ini, seperti bisa mengalami riba dan wajib dizakati.
Berbeda dengan uang kertas. Ketika mata uang ini dilebur atau dicabut masa berlakuannya oleh lembaga resmi, maka tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Dengan demikian, uang kertas berstatus sama dengan emas dan perak ketika masih berlaku sebagai mata uang.
Syarat Zakat Harta
Harta yang dimiliki seorang muslim, baik berupa emas, perak, maupun mata uang kertas wajib dizakati bila memenuhi syarat berikut:
- Harta tersebut adalah harta milik pribadi dan dimiliki secara sempurna.
- Jumlahnya sudah mencapai nishab, 20 Dinar emas (85 gram emas murni) atau 200 Dirham (595 gram perak murni).
- Jumlah tersebut sudah tersimpan selama satu haul (satu tahun hijriyah penuh)
Untuk nishab uang kertas, masih ada perbedaan pendapat di antara ulama. Ada yang mengatakan mengikuti nishab perak. Pendapat ini menitik-beratkan pada sisi manfaat untuk fakir-miskin. Karena, harga 595 gram perak lebih rendah dibandingkan harga 85 gram emas, sehingga lebih cepat mencapai batas untuk dikeluarkan zakatnya.
Namun pendapat yang lebih kuat, menurut hemat kami, adalah nishab uang kertas mengikuti nishab emas. Karena nilai perak sekarang sangat merosot, sehingga jarang orang tertarik menyimpan perak batangan sebagai investasi. Beda dengan emas yang nilainya relatif diakui sebagai sarana investasi sampai sekarang. Begitu pula uang kertas. Ia mempunyai nilai dan menjadi sarana simpanan untuk investasi yang disebut ulama dengan istilah tanmiyah. Pendapat kedua inilah yang dikuatkan Dr. Muhammad Asyqar dalam artikelnya kumpulan Abhats Fiqhiyyah fi Qadhaya zakat Mu’ashirah: 1/30. Bila persyaratan tersebut telah terpenuhi, maka wajib dikeluarkan zakat sebesar 2,5% dari total harta yang dimilikinya, rutin setiap berlalunya tahun hijriyah; selama harta tersebut masih mencapai nishab.
Zakat Uang Kertas dengan Dinar Dan Dirham?
Masalah ini kembali pada pandanga mengenai fungsi uang kertas. Bagi Anda yang menganggap uang kertas sekarang masih berfungsi sebagai surat obligasi (surat bukti piutang), wajib mengeluarkan zakat atas uangnya yang berbentuk emas atau perak berdasarkan besaran perhitungan yang berlaku, karena zakat harus dikeluarkan ke fakir miskin tunai, bukan dalam bentuk surat obligasi. Sementara Anda yang meyakini uang kertas bukan surat obligasi, dan inilah pendapat yang benar, sehingga statusnnya seperti Dinar dan Dirham, maka zakat uang kertas harus dikeluarkan dalam bentuk uang kertas secara langsung.
Mungkin Anda bertanya, jika memang uang kertas sekarang nilainya berdiri sendiri, tidak ditopang emas dan perak yang dipiutangkan di bank, mengapa nishab zakat uang kertas menggunakan nishab Dinar atau Dirham?
Jawabnya, karena zakat harta memiliki batas minimum untuk wajib dizakati. Standar yang ditentukan syariat untuk ukuran minimal wajibnya zakat harta adalah nilai 20 keping Dinar atau 200 keping Dirham. Untuk emas batangan, nishabnya bukan 20 batang emas, tapi mengikuti berat 20 Dinar, yaitu 85 gram, karena emas dinilai dengan satuan berat. Adapun uang kertas, karena nilainya bukan dari ukuran beratnya dan bukan dari satuan lembarnya, tapi tergantung pada nominal yang tertulis, maka nishab uang kertas harus mengambil standar nishab emas atau perak. Nishab adalah nilai harga 85 gram emas atau 595 gram perak, menurut ulama yang lain. (PM)
Pull-quote:
- Allah Ta’ala berfirman: ”Ambillah zakat dari seagoing harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At- Taubah: 103)
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK