Riba Boleh, Asal tidak Berlipat?
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada orang liberal, dosen UIN berkomentar, riba boleh asal nilainya kecil. Karena yang dilarang adalah riba yang berlipat. Mereka berdalil dengan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran: 130)
Dalam ayat di atas, riba yang dilarang adalah riba yang berlipat ganda. Mafhum mukhalafahnya (kesimpulan sebaliknya), riba yang sedikit, tidak dilarang.
Tentu saja ayatnya tidak salah, karena semua firman Allah adalah benar. Meskipun terkadang, ayat a-Quran disalah gunakan oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menghadapi khawarij, orang-orang yang memberontak dari kepemimpinan beliau, mereka beralasan bahwa Ali telah keluar dari islam. Kemudian mereka menyebutkan dalil-dalil dari al-Quran.
Mendengar dalil mereka, Ali berkomentar,
كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ
Kalimat yang benar, namun dimaksudkan untuk membela kebatilan. (HR. Muslim 2517).
Keadaan semacam ini selalu ada dalam perjalanan dakwah sejak masa silam. Hampir semua manusia yang mengikuti pemikiran menyimpang, mereka memiliki dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Inilah yang disebut dengan syubhat. Alasan untuk membela kebatilan. Allah menjanjikan, setiap syubhat akan ada bantahan yang lebih baik dan bisa memahamkan.
Allah berfirman,
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. al-Furqan: 33)
Selanjutnya, kita akan memberi tanggapan untuk pernyataan, riba boleh asal tidak berlipat,
Pertama, dalil tentang larangan riba itu banyak. Beberapa diantaranya menyebutkan berbagai bentuk hukuman dan ancaman. Mulai dari ancaman dibinasakan hartanya ketika di dunia, ancaman perang dengan Allah, ancaman dibangkitkan dengen sempoyongan, sampai ancaman neraka.
Sehingga tidak proporsional, jika seseorang hanya mengambil satu ayat larangan riba, sementara dia tidak mempedulikan ayat riba yang lain. Allah mencela orang yahudi, yang mengimani sebagian ayat taurat dan kufur kepada ayat yang lain,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. (QS. al-Quran: 85)
Sebagai mukmin, kebiasaan semacam ini tentu sangat jahat dan tidak boleh ditiru.
Kedua, dari sekian dalil mengenai larangan riba, ada yang menyatakan, “tinggalkan semua sisa riba”, ada juga yang menyatakan, “kalian hanya mendapat pokoknya saja”
Kita simak ayatnya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah: 278)
Di ayat lain, Allah berfirman,
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak mendzalimi dan tidak didzalimi.” (QS. al-Baqarah: 279).
Andaikan ada riba yang diizinkan, tentu Allah akan memberikan pengecualian.
Para ulama di masa silam juga memahami bahwa syariat tidak memberi pengecualian sedikitpun terhadap riba. sekecil apapun riba, hukumnya haram. Ka’ab al-Ahbar mengatakan,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً
Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)
Karena memang tidak ada pengecualian untuk haramnya riba.
Ketiga, bahwa ayat yang disebutkan di atas, harus dipahami sesuai konteksnya. Konteks menjadi salah satu pemandu bagi kita untuk memahami tafsir ayat secara utuh. Sehingga kita tidak akan membenturkan satu ayat dengan ayat yang lain, hanya karena kita tidak paham konteks.
As-Syaukani menjelaskan, dalam ayat itu dilarang makan riba secara berlipat, karena melihat keadaan yang terjadi ketika itu. Tradisi masyarakat jahiliyah, riba mereka itu berlipat.
Dalam kitab tafsirnya, as-Syaukani mengatakan,
وقوله { أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً } ليس لتقييد النهي لما هو معلوم من تحريم الربا على كل حال، ولكنه جيء به باعتبار ما كانوا عليه من العادة التي يعتادونها في الربا
Firman Allah [أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً] “riba berlipat ganda” bukan untuk menjadi batas larangan untuk ayat haramnya riba seperti yang dipahami bahwa itu terlarang dalam semua keadaan. Namun ayat ini diturunkan terkait kebiasaan mereka ketika itu, yang mereja jadikan sebagai tradisi dalam transaksi riba. (Fathul Qadir, 1/574)
Keterangan lain disampaikan al-Alusi dalam tafsirnya,
وليس هذه الحال لتقييد المنهي عنه ليكون أصل الربا غير منهي، بل لمراعاة الواقع
Berlipat ganda itu bukan untuk membatasi larangan, sehingga asal riba itu tidak dilarang (kecuali yang berlipat). Namun untuk mengkaitkan dengan realita ketika itu. (Ruhul Ma’ani, 4/55).
Kemudian al-Alusi menyebutkan riwayat model riba di zaman Jahiliyah. Seorang bisa terkena riba, berlipat-berlipat, sampai menghabiskan seluruh hartanya. Kemudian kebiasaan ini dilarang.
Larangan Mutlak dibawa ke Muqayyad
Mereka memiliki alasan lain, ketika ada beberapa ayat yang melarang riba, maka kita perlu membawa ayat yang sifatnya mutlak (tidak diberi batasan) kepada ayat yang muqayyad (diberi batasan). Sehingga ayat larangan riba yang tidak menyebutkan ‘berlipat-lipat’ dikembalikan kepada ayat yang menyebutkan ‘berlipat-ganda’. Sehingga dipahami bahwa riba yang dilarang itu adalah riba yang berlipat-ganda.
Kita akan memberikan dari 2 sudut pandang,
Pertama, apakah qaid (batasan) yang disebutkan pada ayat di atas berlaku?
Dari semua keterangan ahli tafsir di atas, mereka menegaskan bahwa batasan ‘berlipat-ganda’ tidak berlaku. karena batasan ini hakekatnya hanya menjelaskan konteks pelanggaran riba ketika ayat ini diturunkan, dan bukan menjelaskan batasan hukum riba.
Kami tidak perlu mengulangi keterangan al-Alusi dan as-Syaukani di atas.
Kedua, bahwa kaidah mengembalikan yang muthlak kepada yang muqayyad, hanya berlaku untuk perintah dan itsbat (kalimat positif). Sementara untuk larangan dan nafyu (kalimat negatif), tidak berlaku kaidah itu.
Hal ini ditegaskan az-Zarkasyi dalam ushul fiqhnya. Beliau menyebutkan beberapa syarat boleh memahami yang muthlak kepada yang muqayad dengan beberapa syarat, diantaranya,
الشرط الثالث أن يكون في باب الأوامر والإثبات وأما في جانب النفي والنهي فلا فإنه يلزم منه الإخلال باللفظ المطلق مع تناول النهي وهو غير سائغ
Syarat ketiga, kalimat itu bentuknya perintah atau kalimat itsbat. Sementara kalimat negatif, atau kalimat larangan, tidak berlaku. Karena jika larangan mutlak dibawa ke muqayad, konsekuensinya menganulir cakupan larangan muthlak, padahal larangannya sifatnya umum. Dan ini tidak boleh. (al-Bahrul Muhith, 3/18)
Dengan demikian, kita beri kesimpulan bahwa riba yang dilarang tidak hanya riba yang berlipat ganda, tapi semua bentuk riba. Sekecil apapun nilai riba, hukumnya haram.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits
PengusahaMuslim.com dukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK