Jual Beli itu Mengikat
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita kembali lanjutkan pembahasan kaidah seputar jual beli. Kita bahas kaidah kedua belas.
Kaidah kedua belas, terkait hukum asal jual beli itu mengikat
Kaidah menyatakan,
الأصل في العقود اللزوم
“Hukum asal akad itu mengikat”
Keterangan
Di lihat dari keterikatannya, akad dibagi menjadi 2:
[1] Akad lazim adalah akad yang mengikat kedua belah pihak pelaku akad. Akad ini tidak bisa dibatalkan, kecuali atas kerelaan keduanya.
Misalnya, jual beli, atau sewa menyewa. Dalam akad jual beli, penjual maupun pembeli tidak boleh membatalkan transaksi jual beli yang telah terlaksana secara sepihak.
[2] Akad jaiz adalah akad yang tidak mengikat kedua belah pihak pelaku akad. Sehingga bisa dibatalkan oleh salah satunya secara sepihak, tanpa harus menunggu izin pasangan akadnya.
Misalnya, akad wadi’ah, wakalah, atau syirkah.
Kita ambil contoh akad wadiah, Orang yang titip barang, boleh saja membatalkan akadnya dengan mengambil barangnya. Demikian pula orang yang dititipi barang, dia berhak untuk mengembalikan barang itu ke pemilik, dan membatalkan akad.
Jika kita tambahkan, ada yang ketiga, yaitu akad lazim satu pihak, dan jaiz bagi pihak lain.
Seperti gadai. Barang gadai tidak boleh diambil oleh orang yang berutang, kecuali atas izin yang menghutangi. Sehingga akad gadai, lazim baginya.
Sementara orang yang memberi utang, bisa saja mengembalikan barang itu kapanpun, tanpa harus menuggu restu dari yang menghutangi.
Hukum Asal Akad Jual Beli itu Mengikat
Ketika akad jual beli itu sah, maka statusnya mengikat pelaku akad. Sehingga tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Mengapa hukum asal akad itu mengikat?
Karena akad dibolehkan dalam syariat untuk terwujudnya sesuatu yang menjadi tujuan akad. Dan untuk memenuhi kebutuhan pelaku akad. Sehingga konsekuensi akad harus mengikat, untuk melindungi hak orang lain yang memiliki hajah.
az-Zarkasyi megatakan,
العقود الجارية بين المسلمين محمولة على الصحة ظاهرا الى أن يتبين خلافه ولهذا اذا اختلفا فى الصحة والفساد صدق مدعى الصحة
Akad yang terjadi diantara kaum muslimin secara dzahir dihukumi sah, sampai ada bukti bahwa akad itu tidak sah. Karena itu, jika ada dua penilaian yang berbeda, antara sah dan tidak sah, maka lebih dimenangkan yang menilai sah. (al-Mantsur fil Qawaid, 2/413)
Kaidah ini bisa kita terapkan dalam banyak kasus. Terutama ketika terjadi sengketa antara pihak yang melakukan akad.
Pertama, adanya klaim dari salah satu pelaku akad bahwa akad tidak memenuhi syarat sah
Misalnya, pembeli mengklaim bahwa saat membeli barang itu, dia tidak sadar atau terpaksa atau sebab lainnya yang menghilangkan status ahliyah tasharruf, maka klaimnya boleh tidak diterima selama dia tidak membawa bukti untuk klaim yang dia sampaikan. Karena hukum asal dari transaksi adalah sah dan mengikat sampai ada bukti bahwa akad itu tidak sah.
Kedua, membatalkan akad dengan alasan belum ada serah terima
Akad mengikat meskipun belum terjadi serah terima. Karena ikatan terjadi ketika keduanya telah melakukan akad jual beli, sepakat dalam menentukan barang dan harga. Sekalipun barang belum diserahkan dan uang juga belum diserahkan.
Karena itu, membatalkan akad dengan alasan belum ada serah terima, boleh ditolak.
Ada peristiwa yang pernah terjadi dengan sahabat Khuzaimah bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu.
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli seekor kuda dari orang badui. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada orang badui ini agar mengikuti beliau, mengambil uang untuk membayar kuda.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan cepat, sementara orang badui ini sambil menggandeng kudanya, dia berjalan lambat. Sehingga banyak orang yang menawar kuda yang dibawa orang badui ini. Mereka tidak tahu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membelinya.
Merasa ada yang nawar lebih tinggi, si badui ini tertarik untuk menjualnya ke orang lain. Diapun memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil teriak,
“Apakah kamu jadi membeli kuda ini? Jika tidak, biar saya jual ke yang lain..”
Mendengar ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada si Badui,
“Bukankah tadi saya sudah membeli kuda itu darimu.”
“Tidak, demi Allah, aku belum menjual kuda ini kepadamu.” Kata si Badui.
“Yakin, aku tadi sudah membeli kuda itu darimu.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Mana saksimu, datangkan.” Pinta si Badui.
Datanglah Khuzaimah bin Tsabit dan mengatakan,
أَنَا أَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَايَعْتَهُ
“Saya yang menjadi saksi, bahwa anda telah membelinya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terheran, beliaupun tanya ke Khuzaimah,
“Dengan apa kamu bisa bersaksi?”
“Dengan Allah membenarkanmu, ya Rasulullah…” jawab Khuzaimah.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan persaksian Khuzaimah sepadan dengan persaksian 2 orang. (HR. Ahmad 21883 & Abu Daud 3609 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Dalam peristiwa di atas, usaha orang badui untuk membatalkan akad, tidak disetujui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena akad telah terjadi, telah disepakati barang dan harganya. Hanya saja belum terjadi serah terima.
Contoh Kasus:
Perjanjian di Nota
Dalam nota pembelian terkadang tertulis
”Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar, kecuali jika ada perjanjian.”
Apakah ini dibenarkan? Karena menggugurkan hak khiyar dari konsumen.
Jawab:
Pada asalnya transaksi jual beli termasuk transaksi yang lazim. Artinya mengikat kedua belah pihak. Sehingga jika ada salah satu pihak yang ingin membatalkan akad, maka tidak bisa dilakukan, kecuali atas kerelaan lawannya.
Dan biasanya, toko yang memasang tulisan tersebut dalam nota, tetap menerima pengembalian dari konsumen, jika dalam barangnya ada cacat atau kesalahan barang yang diterima.
Karena itu, tulisan semacam ini bukan melanggar syariat. Tidak ada unsur menggugurkan hak khiyar. Hak khiyar tetap ada, namun dibatasi selama konsumen masih di majlis transaksi, yaitu di toko.
Dalam transaksi jual beli normal, pembeli tidak dibenarkan mengembalikan barang yang sudah dibeli tanpa ada perjanjian atau karena alasan cacat.
Dianjurkan ada Iqalah
Pembeli boleh saja mengembalikan barang, tapi penjual tidak boleh dipaksa untuk menerimanya. Artinya, penjual berhak menerima dan berhak menolak. Hanya saja, penjual dianjurkan menerima, dan ini jika diniatkan berbuat baik kepada orang lain maka bernilai pahala baginya.
Menerima pengembalian ini disebut iqalah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
Siapa yang menerima iqalah (pembatalan transaksi) dari orang muslim, maka Allah akan menggugurkan kesalahannya. (HR. Abu Daud 3462, Ibnu Majah 2283, dan dishahihkan al-Albani)
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK