Bagian yang Harus Terlibat dalam Transaksi
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita kembali lanjutkan pembahasan kaidah seputar jual beli. Kita bahas kaidah kesepuluh.
Kaidah kesepuluh, terkait objek akad, apa yang harus terlibat dalam akad.
Kaidah menyatakan,
من باع شيئاً؛ دخل فيه ما هو من ضروراته وما اقتضاه شرع أو عرف
Siapa yang menjual sesuatu, maka semua yang menjadi unsur pendukung utama benda itu, masuk ke dalamnya. Termasuk apa yang menjadi konsekuensi dari perpindahan hak milik benda itu, baik secara syariat atau urf.
Keterangan:
Ketika ada orang melakukan transaksi terhadap objek, ada 3 hal yang harus mengikuti transaksi itu,
Pertama, bagian yang tidak bisa dipisahkan dari objek itu (dharurat as-sila’). Yaitu segala sesuatu yang jika dipisahkan dari benda itu, maka benda tersebut dianggap tidak ada atau sama sekali tidak bisa difungsikan.
Kedua, bagian yang menurut masyarakat itu harus dilibatkan. Meskipun dia bukan dharurat as-Sila’. Artinya, barang masih bisa berfungsi, ketika ini ditiadakan. Hanya saja, aturan tidak tertulis di masyarakat, ii harus dilibatkan.
Ketiga, bagian yang harus dilibatkan menurut aturan syariat. Meskipun tidak pernah dibahas dalam aturan masyarakat. Sehingga acuannya kembali kepada dalil.
Contoh kasus
Pertama, jual beli rumah
Orang yang membeli rumah, maka dia memiliki:
– Semua atap rumah itu
– Sumur yang ada di rumah itu
– Instalasi listrik rumah
– Halamannya
– Dan dia harus ada akses jalan
Karena semua ini bagian yang tidak bisa dipisahkan dari rumah itu.
Selanjutnnya, apakah pembeli juga mendapatkan perabotan di rumah itu?
Ini kembali kepada urf yang berlaku di masyarakat itu.
Kedua, siapa yang membeli tanah maka dia memiliki atasnya sampai ke langit. Menurut keterangan al-Qurthubi, ini dengan sepakat ulama. Apakah dia memiliki semua yang ada di bawah tanahnya?
Ulama berbeda pendapat.
Kita simak keterangan al-Qurthubi,
من له البيت فله أركانه. ولا خلاف أن العلو له إلى السماء. واختلفوا في السفل، فمنهم من قال هو له، ومنهم من قال ليس له في باطن الأرض شيء. وفي مذهبنا القولان
Siapa yang memliki rumah maka dia memiliki pondasinya, dan tidak ada perbedaan bahwa bagian atas rumah itu sampai ke langit adalah punya dia. Sementara ulama berbeda pendapat untuk bagian yang ada di bawah tanah itu. Sebagian ada yang mengatakan, semua itu miliknya dan ada yang mengatakan, apa yang ada di bawah tanah, sama sekali bukan miliknya. Dan dalam madzhab kami (Malikiyah), ada 2 pendapat. (Tafsir al-Qurthubi, 16/85).
Ketiga, jual beli pohon, siapa yang berhak atas buahnya?
Dari Ibju Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ ، إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ ، وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِى بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
Siapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual. Kecuali jika membeli mempersyaratkan. Siapa yang membeli budak dan dia membawa harta, maka harta itu milik orang yang menjualnya, kecuali jika pembeli mempersyaratkannya. (HR. Bukhari 2379 & Muslim 3986)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi rincian untuk pohon yang dikawinkan,
[1] Jika dia beli sebelum dikawinkan maka buah itu menjadi milik pembeli
[2] Jika dia beli setelah dikawinkan maka buah itu menjadi milik penjual. Apakah tidak menyalahi kaidah di atas?
Jawabannya, tidak. Karena buah bukan dharurat as-Sila’. Dia membeli pohon, bukan membeli buah. Dan pohon tetap bisa bertahan hidup, tanpa buah. Karena itu, hak terhadap buah kembali kepada orang yang mengkawinkannya.
Keempat, hadis budak Barirah
Tersebutlah seorang budak wanita bernama Barirah. Tuannya menjanjikan, jika Barirah bisa menebus sekian dinar, maka dia boleh merdeka. Transaksi semacam ini disebut transaksi mukatabah. Akhirnya, Barirah meminta bantuan kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Aisyah menceritakan,
جاءتني بريرةُ فقالت : كاتبتُ أهلي على تِسْعِ أَواقٍ، في كلِّ عامٍ أُوقِيَةٌ، فأعينيني، فقالت : إن أَحَبُّوا أن أَعُدَّها لهم ويكونُ ولاؤُكِ لي فعلتُ، فذهبت بريرةُ إلى أهلِها، فقالت لهم فأبَوْا عليها، فجاءت من عندِهم ورسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم جالسٌ، فقالت : إني قد عَرَضْتُ ذلك عليهم فأبَوْا إلا أن يكونَ الولاءُ لهم، فسَمِع النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم، فأَخْبَرَت عائشةُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم، فقال : ( خُذِيها واشتَرِطِي لهم الولاءَ، فإنما الولاءُ على من أَعْتَق ) . ففعلت عائشةُ، ثم قام رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في الناسِ، فحَمِدَ اللهَ وأَثْنَى عليه، ثم قال : ( ما بالُ رجالٍ يشتَرِطون شروطًا ليست في كتابِ اللهِ، ما كان من شَرْطٍ ليس في كتابِ اللهِ فهو باطلٌ، وإن كان مِائةَ شَرْطٍ، قضاءُ اللهِ أَحَقُّ، وشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ، وإنما الولاءُ لِمَن أَعتَق)
“Barirah datang kepadaku lalu menyampaikan masalahnya:
“Sesungguhnya saya melakukan mukatabah terhadap majikanku dengan sembilan uqiyah, per-tahunnya saya membayar satu uqiyah, maka bantulah saya”. ‘Aisyah berkata : “Kalau memang majikanmu berkenan, saya akan menyiapkan dananya, dengan syarat wala‘-mu nanti menjadi milik, maka aku akan melakukannya”. Maka Barirah pergi kepada majikannya, dan menyampaikan syarat yang diminta ‘Aisyah namun mereka tidak menyetujuinya. Kemudian Barirah datang lagi kepada ‘Aisyah ketika itu Rasulullah sedang duduk. Barirah berkata: “Saya telah menawarkan tawaran tadi kepada mereka, namun mereka enggan, kecuali wala‘-nya untuk mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mendengarnya, dan Aisyah menceritakan duduk perkaranya kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bersabda: “Ambilah ia (Barirah) dan persyaratkan wala sebagaimana yang engkau syaratkan, karena wala’ itu bagi orang yang membebaskan budak“.
Kemudian ‘Aisyah melakukannya (pergi ke rumah majikan Barirah).
Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah di hadapan orang-orang, beliau memuji Allah dan memuliakan-Nya, kemudian bersabda:
“Mengapa sebagian orang lancang mempersyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah. Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, ia adalah syarat yang batil, walaupun itu 100 syarat. Keputusan Allah itu lebih benar. Dan syarat dari Allah itu lebih kuat. Dan sesungguhnya wala’ itu bagi orang yang membebaskan budak” (HR. Bukhari 2168 dan Muslim 3852).
Ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha yang membayar Barirah, berarti yang memerdekakan Barirah adalah Aisyah. Dan dalam aturan jual beli budak, siapa yang membeli dan memerdekakan budak itu, maka hak wala’ kembali kepada yang memerdekakannya, bukan kepada majikan sebelumnya.
Dengan memiliki hak wala’ maka dia berhak atas harta warisan yang ditinggalkan seorang budak jika dia meninggal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan wala itu menjadi milik orang yang membebaskan budak.
Artinya, hak wala’ adalah konsekuensi dari perpindahan hak milik budak setelah transaksi jual beli, berdasarkan aturan syariat.
Allahu a’lam.
Dijawab tulis Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com)
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK