Obligasi atau surat utang, dalam bahasa Arab, disebut juga dengan istilah “sanadat”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hlm. 623, obligasi memiliki dua pengertian.
Yang pertama, surat pinjaman dengan bunga tertentu dari pemerintah yang dapat diperjualbelikan.
Yang kedua, surat utang berjangka waktu lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan.
Secara umum, obligasi bisa dibagi menjadi dua, yaitu “sanad dain” atau obligasi utang, dan “sanad muqaradhah” atau obligasi dengan sistem mudharabah (bagi hasil).
Obligasi utang adalah perjanjian tertulis, yang pada transaksi tersebut, pemegang obligasi berkewajiban menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang mengeluarkan obligasi dengan kompensasi bunga dalam nilai tertentu.
Tidaklah diragukan bahwa obligasi jenis ini termasuk riba, karena hakikat transaksi ini adalah utang yang membuahkan manfaat tambahan. Dengan demikian, menjual dan membeli obligasi ini, serta keuntungan yang didapatkan darinya, adalah riba.
Adapun obligasi jenis kedua adalah surat perjanjian yang diterbitkan oleh bank atau yang lainnya. Pemegang surat ini berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah uang yang telah ditentukan, dan hasil riil keuntungannya dibagikan dengan sistem musyarakah sesuai dengan kriteria-kriteria khusus yang ada pada setiap penerbitan obligasi. Obligasi jenis ini disebut juga dengan obligasi investasi.
Obligasi jenis kedua ini hukumnya mubah secara syar’i karena statusnya adalah mudharabah/qiradh (bagi hasil) yang memiliki prinsip tidak ada bunga dari modal yang bisa dipastikan setiap bulannya dan pemegang obligasi bisa mendapatkan kerugian sebagaimana merasakan keuntungan.
Secara tegas, Majma’ al-Fikih al-Islami, dalam pertemuan rutin Majma’ yang diadakan di Jeddah pada bulan Jumadil Akhir tahun 1408 H, membolehkan obligasi jenis ini. (Lihat: Al-Iqtishad Al-Islami, karya Hasan Siri, hlm. 286)
Tentang obligasi, terdapat keputusan Majma’ al-Fikih al-Islami no. 60 sebagai berikut.
Sesunguhnya, Majelis Majma’ al-Fikih al-Islami, dalam muktamarnya yang keenam di Jeddah, Arab Saudi, dari tanggal 17–23 Sya’ban 1410 H, yang bertepatan dengan 14–20 Maret 1990 M.
Setelah mencermati bahwa definisi obligasi adalah sertifikat berharga yang berisikan komitmen pihak pemegang obligasi untuk menyerahkan sejumlah uang yang tertera pada lembaran sertifikat, dengan kompensasi mendapatkan bunga dari sejumlah uang yang telah diserahkan sebagaimana kesepakatan atau mendapatkan manfaat yang disyaratkan di muka, baik berupa hadiah berbentuk barang yang dibagikan dengan menggunakan undian, sejumlah uang yang bisa dipastikan, atau berupa diskon obligasi.
Setelah itu semua, majelis menetapkan sebagai berikut:
1. Obligasi yang berisi kompensasi pemegang untuk menyerahkan sejumlah uang dengan kompensasi sejumlah bunga dari total uang tersebut atau mendapatkan manfaat yang disyaratkan di awal adalah haram diterbitkan, dibeli, dan dipasarkan dalam hukum agama, karena obligasi ini adalah utang ribawi.
Ketentuan ini berlaku, baik yang yang menerbitkan obligasi tersebut adalah pihak swasta ataupun institusi pemerintahan.
Hukum ini tidaklah berubah, meskipun obligasi ini disebut dengan sertifikat, obligasi investasi, atau obligasi tabungan. Demikian pula, meski bunga ribawi tersebut disebut dengan keuntungan atau istilah lainnya.
2. Termasuk yang diharamkan adalah obligasi yang memiliki karbon berwarna kuning karena obligasi ini, pada hakikatnya, adalah utang yang dijual lebih rendah daripada harga yang tertera pada sertifikat obligasi. Pemegang mendapatkan keuntungan dari selisih tersebut karena dinilai sebagai diskon obligasi.
3. Demikian pula, obligasi yang mengandung hadiah adalah diharamkan. Obligasi ini berstatus utang yang mengandung manfaat tambahan yang disyaratkan di awal, atau mengandung tambahan bagi sejumlah pemegang obligasi atau sebagian pemegang, namun belum bisa dipastikan siapa sajakah mereka. Obligasi ini dilarang, selain karena mengandung riba, juga terdapat unsur judi di dalamnya.
4. Alternatif pengganti untuk obligasi yang diharamkan untuk diterbitkan, dibeli, dan diedarkan adalah obligasi atau “shukuk” yang menerapkan prinsip mudharabah (bagi hasil) untuk suatu proyek atau kegiatan investasi tertentu. Artinya, pemegang tidak berhak mendapatkan bunga atau manfaat yang bisa dipastikan, namun hanya berhak mendapatkan persentase tertentu dari keuntungan yang didapatkan, sesuai dengan jumlah obligasi yang dimiliki.
Akan tetapi, keuntungan ini tidak bisa didapatkan, kecuali keuntungan tersebut adalah keuntungan yang riil. Obligasi semacam ini bisa dinamakan dengan “sanadat muqaradhah”. (Lihat: Taudhih al-Ahkam: 4/467–477)
Hal ini, yaitu haramnya bermuamalah dengan obligasi dengan berbagai jenisnya kecuali obligasi yang menggunakan prinsip bagi hasil yang syar’i, juga merupakan pendapat Syekh Mahmud Syaltut, Dr. Abdul Azizi Khayat, Dr. Ali as-Salus, dan Dr. Muhammad Utsman Syabir, dengan alasan bahwa hakikat obligasi adalah memberi utang kepada sebuah perusahaan, pemerintah, atau suatu yayasan sampai batas waktu tertentu, dengan kompensasi bunga yang tetap dan disyaratkan di awal. Inilah riba nasiah yang diharamkan oleh al-Quran.
Kaidah dalam masalah ini adalah “al-‘ibrah fil ‘uqud lil maqashid wal ma’ani la lil alfazh wal mabani” (yang menjadi tolak ukur dalam transaksi muamalah adalah maksud dan hakikat sebenarnya, bukan sekadar lafal dan kata-kata).
Untuk perbankan, obligasi adalah salah satu bentuk tabungan yang dimanfaatkan oleh bank untuk keperluan investasi, namun ada jaminan bahwa uang tersebut tetap utuh, bahkan ada tambahan yang akan didapatkan. Inilah utang produktif ribawi yang banyak dipraktikkan di masa jahiliah, lalu al-Quran dan as-Sunnah mengharamkannya. (Lihat: Al-Khadamat al-Mashrifiyyah, hlm. 501—502, karya Dr. Ala`ud Din Za’tari)
Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: PengusahaMuslim.Com