Sejarah Asuransi
Dalam bahasa Arab, asuransi disebut dengan istilah “ta’min”. Ta’min merupakan salah satu transaksi baru bagi kaum muslimin. Transaksi semacam ini tidaklah dikenal oleh kaum muslimin, kecuali pada abad ke-13 hijriyah, ketika hubungan perdagangan antara timur dan barat menguat paska Revolusi Industri di Eropa.
Transaksi ini dikenal kaum muslimin melalui perwakilan dagang asing yang berada di berbagai negeri kaum muslimin. Mereka lantas memasukkan transaksi ini, dimulai dengan
”ta’min bahri” (asuransi lautan), untuk kepentingan ekspor-impor. Kemungkinan besar, pakar fikih pertama yang menyinggung transaksi ini adalah Muhammad bin Abidin, penulis kitab Raddul Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar yang merupakan salah satu kitab fikih Mazhab Hanafi.
Pengertian Asuransi
Menurut tinjauan bahasa, ta’min berasal dari kata “al-amn” yang bermakna ketenangan hati dan hilangnya rasa takut.
Adapun secara istilah, transaksi ta’min adalah sebuah transaksi yang berisikan kesediaan lembaga asuransi untuk menyerahkan kepada nasabah atau orang yang ditunjuk oleh nasabah sejumlah uang atau kompensasi materi yang lain pada saat terjadi musibah atau bahaya yang disebutkan dalam kesepakatan. Kompensasi ini merupakan timbal balik dari premi yang disetorkan oleh nasabah kepada lembaga asuransi.
Berdasar definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa transaksi ta’min memiliki empat rukun.
Yang pertama, dua pihak yang mengadakan transaksi, yaitu lembaga asuransi dan nasabah.
Kedua, bahaya atau musibah, yaitu peristiwa yang dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang.
Ketiga, premi, yaitu sejumlah uang yang diserahkan oleh nasabah secara berkala sesuai dengan kesepakatan awal.
Keempat, kompensasi materi yang jumlahnya boleh jadi telah dipastikan di awal atau tergantung besarnya nilai kerugian yang terjadi. Lihat al-Iqtishad al-Islami karya Hasan Siri, hlm. 252–253.
Hukum Asuransi
Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syeikh, Mufti Saudi sebelum Syekh Ibnu Baz, mengatakan, “Transaksi ta’min itu menyelisihi syariat Islam karena mengandung berbagai hal yaitu:
- Gharar (spekulasi), jahalah (ketidakjelasan), dan khathar (untung-untungan), sehingga transaksi ini termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
- Mirip dengan judi karena dalam transaksi ini terdapat unsur taruhan (untung-untungan).
Ringkasnya, setiap orang yang merenungkan transaksi ini dengan seksama akan berkesimpulan bahwa tidak ada transaksi yang dibenarkan oleh syariat yang selaras dengan transaksi ta’min. Oleh karena itu, kerelaan kedua belah pihak dalam hal ini tidaklah teranggap. Kerelaan kedua belah pihak itu teranggap jika transaksi yang dilakukan oleh keduanya tegak di atas landasan keadilan yang sesuai dengan syariat.”
Haiah Kibar Ulama’ (semacam MUI di Saudi Arabia) juga telah mengeluarkan keputusan no. 55, tahun 1397 H, terkait “ta’min tijari” (asuransi yang berorientasi bisnis). Inti dari keputusan tersebut adalah sebagai berikut:
- Transaksi ta’min tijari itu termasuk transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung gharar (spekulasi) yang sangat berlebihan. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli yang mengandung unsur gharar.
- Transaksi ta’min merupakan salah satu taruhan karena dalam transaksi ini terdapat unsur untung-untungan terkait dengan finansial, kerugian dalam adanya kesalahan, dan mendapatkan keuntungan tanpa kompensasi atau ada kompensasi namun sangat tidak layak.
- Asuransi termasuk permainan yang mengandung taruhan. Padahal hal semacam ini tidak dibolehkan, melainkan yang mengandung pembelaan terhadap Islam, dan ini sudah Nabi batasi dalam tiga hal, yaitu taruhan dalam perlombaan panah, pacuan unta, atau pacuan kuda. Adapun asuransi tidak termasuk tiga hal tersebut.
Adapun Majma` al-Fikih Islami yang berada di bawah naungan OKI mengatakan, “Sesungguhnya transaksi ta’min tijari dengan premi yang konstan, sebuah transaksi yang dipergunakan oleh berbagai lembaga asuransi yang berorientasi kepada bisnis, adalah sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar yang besar yang membatalkan transaksi. Oleh karena itu, hukumnya adalah haram, menurut syariat.”
Sikap yang senada juga diberikan oleh al-Majma` al-Fikih al-Islami yang berada di bawah Rabithah Alam Islami. Al-Majma` mengatakan, “Setelah kajian yang cukup mendalam dan bertukar pikiran tentang asuransi, maka secara mayoritas (selain Syekh Mushthafa Zarqa) majelis menetapkan haramnya asuransi dengan berbagai bentuknya, baik asuransi jiwa, barang dagangan, ataupun jenis harta yang selainnya. Namun, secara aklamasi majelis al-Majma` menyepakati keputusan Haiah Kibar Ulama’ (Saudi Arabia) tentang bolehnya asuransi kerja sama (ta’min ta’awuni) sebagai alternatif pengganti ta’min tijari yang haram sebagaimana di atas.”
Dalam keputusan penjelas, terdapat enam alasan yang dipergunakan al-Majma` untuk mendukung keputusan di atas, di antaranya adalah:
Alasan pertama. Transaksi ta’min tijari merupakan salah satu transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung unsur “gambling” (judi -ed) dan gharar (spekulasi) yang keterlaluan. Saat transaksi, nasabah tidaklah mengetahui nilai total dari jumlah premi yang harus dia berikan dan nilai jumlah kompensasi finansial yang akan dia dapatkan.
Boleh jadi, dia baru menyerahkan premi sebanyak satu atau dua kali lalu terjadi musibah, sehingga dia berhak mendapatkan kompensasi finansial yang telah disanggupi oleh lembaga asuransi. Kemungkinan yang lain, musibah tak kunjung terjadi sehingga nasabah menyerahkan semua premi namun tidak dapat timbal balik apa pun.
Demikian pula, pihak lembaga asuransi tidak bisa menetapkan jumlah uang yang didapat dan yang harus diserahkan untuk masing-masing transaksi, sedangkan dalam hadits yang shahih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur gharar (spekulasi).
Alasan kedua. Transaksi ta’min tijari itu mengandung riba fadhl (riba karena ada ketidaksamaan antara dua barang yang dipertukarkan) dan riba nasi`ah (riba karena pertukaran tidak dilakukan secara langsung).
Jika pihak lembaga asuransi menyerahkan kompensasi finansial kepada nasabah, ahli waris, atau orang yang ditunjuk, lebih besar dari uang yang diterima maka ini adalah riba fadhl. Di samping itu, lembaga asuransi menyerahkan kompensasi tersebut tidak secara tunai, sehingga ini adalah riba nasi`ah.
Namun, bila pihak lembaga asuransi hanya menyerahkan kompensasi sesuai dengan total premi yang diterima, maka dalam transaksi ini hanya terdapat riba nasi`ah saja. Kedua jenis riba ini haram dengan dasar dalil disamping ijma’.
Memanfaatkan Uang Asuransi
Untuk menjawab masalah ini, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i, seorang ulama dari negeri Yaman, pernah ditanya, “Apa hukum asuransi jiwa atau barang?”
Jawaban beliau, “Asuransi yang tersebar di permukaan bumi ini, termasuk di antaranya di tengah-tengah kaum muslimin, meski dengan sangat disayangkan, secara global termasuk asuransi yang haram karena di dalamnya terdapat unsur membahayakan pihak lain dan mengambil harta milik orang lain dengan cara paksa. Padahal, harta milik orang lain tidak boleh diambil kecuali dengan cara yang benar, sebagaimana firman Allah,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. al-Baqarah: 188)
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah harta seorang muslim itu halal diambil, kecuali dengan kerelaan hatinya.” (Hr. Ahmad , no. 19774; shahih karena memiliki banyak riwayat penguat; lihat: Shahih Jami’, no. 7662)
Adapun asuransi kerja sama (ta’awuni), maka dibolehkan. Caranya, sekelompok penduduk atau sekelompok orang yang memiliki pekerjaan tertentu saling membantu. Mereka menyerahkan setoran harian, bulanan, atau tahunan dalam nominal tertentu pada kas. Uang tersebut diserahkan dengan maksud untuk saling bantu dan untuk sedekah.
Ketika ada yang membutuhkan, maka uang yan terkumpul tersebut disedekahkan kepadanya. Transaksi semacam ini dibolehkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Lajnah Daimah para ulama Saudi Arabia.
Adapun asuransi jenis pertama, maka tidak diperbolehkan. Bukan berarti orang yang terkena musibah tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, orang tersebut boleh mengambilnya, namun hanya sekedar sejumlah premi yang pernah dia setorkan kemudian mengembalikan sisanya.
Kecuali jika berasal dari negara, sebelumnya negara telah memotong gajimu sebagai premi asuransi maka tidak mengapa mengambil lebih dari lebih dari jumlah premi yang pernah disetorkan, sebab di dalamnya terdapat gaji yang telah dipotong sebelumnya.” (Bingkisan Ilmu dari Yaman, hlm. 240)
Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.
Artikel: pengusahamuslim.com