Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan

Hakekat Riba

Banyak sekali kaum muslimin telah mengetahui pengharaman riba namun masih terjebak karena tidak mengenal hakekat riba. Karenanya kami sampaikan hakekat riba dalam penjelasan sebagai berikut:

 

Definisi Riba

1. Pengertian Secara Bahasa

Kata Riba berasal dari bahasa Arab yang menunjukkan pengertian “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:

“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (QS. Al-Haaqqah : 10), yakni siksa yang bertambah terus.

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah…”(QS. Al-Hajj: 5)

2. Pengertian Secara Istilah

 

Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, diantaranya:

tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.

Yang dimaksud dengan ‘tambahan’ secara definitif

  1. Tambahan kwantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kwantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: Emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.

    Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kwantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kwantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, maka itu adalah riba yang diharamkan.

  2. Tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga hutang.

  3. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, maka itu adalah riba yang diharamkan.

Sedangkan ulama lain memberikan definisi:

( تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ)

Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang ada serah-terimanya,

Ada juga yang menyatakan:

الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ

Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.

Sedangkan Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu Ta’ala mendefinisikannya dengan:

الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا

Tambahan dalam jual beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syari’at [1]

Jenis Riba

 

Para ulama membagi Riba mejadi 2, yaitu:

1. Riba Jahiliyah atau Riba Al Qard (Hutang)

 

Yaitu pertambahan dalam hutag sebagai imbalan tempo pembayaran (Ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran[2]. Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)

Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu (إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا). Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam:

وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ

“Riba jahiliyah dihapus dan awal riba yang dihapus adalah riba Al Abas bin Abdilmutholib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (HR Muslim).

Demikianlah Allah dan RasulNya mengharamkannya karena berisi kezhaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berhutang tanpa imbalan.[3]

Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyyah

 

Pada masa jahiliyyah riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, diantaranya adalah:

Bentuk pertama: Riba pinjaman. Yakni yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyyah: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan menambahnya.”

Misalnya, seseorang memiliki hutang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya ia berkata: “Tangguhkanlah hutangku, aku akan memberikan tambahan.” Yakni: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah hutang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan hutang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang dihutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi dan kambing, dibayar nanti dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.

Qatadah menyatakan: “Sesungguhnya riba di masa jahiliyyah bentuknya sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berhutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”

Atha’ menuturkan: “Dahulu Tsaqif pernah berhutang uang kepada Bani Al-Mughirah pada masa jahiliyyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata: “Kami akan tambahkan jumlah hutang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya.” Maka turunlah firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali Imran: 130)

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan dalam I’laamul Muwaqqi’in: “Adapun riba yang jelas adalah riba nasii-ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa Jahiliyyah, seperti menangguhkan pembayaran hutang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga hutang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.”[4]

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab: “Ada orang yang menghutangi seseorang, lalu ia berkata: “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”

Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya. Hutang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.

Al-Jashash menyatakan: “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.[5]” Di lain kesempatan, beliau menjelaskan: “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.[6]

Bentuk ketiga: Pinjaman Berjangka dan Berbunga dengan Syarat Dibayar Perbulan (kredit bulanan)

Fakhruddin Ar-Razi menyatakan “Riba nasii-ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyyah. Yakni bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berhutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyyah.[7]

Ibnu Hajar Al-Haitsami menyatakan: “Riba nasii-ah adalah riba yang populer di masa jahiliyyah. Karena biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berhutang sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia hutangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar[8].”

2. Riba Jual Beli

 

Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhal. Komoditi riba fadhal yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.

Riba jual beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhal dan riba nasii-ah.

A. Riba Fadhal

 

Kata Fadhl dalam bahasa Arab bermakna Tambahan, sedangkan dalam terminologi ulama adalah

الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين

(Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan).

Atau ada yang mendefinisikan dengan:

Kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhal atau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya. Seperti menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas juga. Sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual beli komoditi riba fadhal.

Riba Fadhl ini dilarang dalam syariat islam dengan dasar:

1. Hadits Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا

بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”.[9]

2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا

مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan bera,t dan jangan menjual yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan yang ada.” (HR Al Bukhari)

Sedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا

بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ “.

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barang siapa yang menambah atau minta tambahan maka telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi hukumnya sama.”

3. Hadits Al Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata:

نَهَي رَسُوْلُ اللهِ ، عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا

“Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual beli perak dengan emas secara tempo (hutang)”. (HR Al Bukhari).

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam banyak hadits dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh As-Subki dalam Takmiltul Majmu’, yakni sejumlah dua puluh dua hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhal. Ada yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.

Hikmah Diharamkannya Riba Fadhal

 

Hikmah diharamkannya riba fadhal tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.

Kalau satu shaa’ kurma bagus dibeli dengan dua shaa’ kurma jelek, secara logika tidak ada hal yang salah. Lalu di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?

Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui bebagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa : 65)

Setelah pendahuluan ini, baru kita tegaskan: Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhal ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram. Karena riba fadhal ini seringkali menggiring kepada riba nasii-ah. Bahkan juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat. Karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk suatu saat menjualnya dengan pembayaran tertunda, bersama bunganya.

Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا

شَيْئًا غَائِبًا مِنْهَا بِنَاجِزٍ فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ

“Janganlah emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual yang belum ada dengan yang sudah ada. Karena aku khawatir kalian melakukan rama`.[10]

Rama` yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi riba fadhal secara langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.

Komoditi Ribawi

Para ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.

Namun mereka berselisih apakah di sana ada illah (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Dalam dua pendapat:

Pertama: Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.

Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.

Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak mungkin membedakan antara yang serupa.

Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaat ribawi pada komoditi tersebut.

Ilaat Ribawi pada emas dan perak.

Yang rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud disini adalah pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama –sehingga beliau menyatakan- : penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya

Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak.

Sedangkan pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.[11] Sehingga yang menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhal, dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.

Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.

Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.

Inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi tersebut, beliau menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih dari selainnya.”[12]

Dengan demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:

1. Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:

  • sama dalam kwantitas, inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam :
    (( مثلاً بمثل سواءً بسواء ))

  • Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

    (( يداً بيد ))

Ini berlaku juga pada jual beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا

بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”[13]

Inilah yang dimaksud dengan kaedah :

( إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض )

2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:

Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum, garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan pokok dan ditakar- atau emas dengan perak – keduanya berbeda jenis, namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan kwantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga..”[14]

Dengan demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba Fadhl;

( وبغير جنسه وجب التقابض فقط ) .

Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kwantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud kaedah:

( وإذا اختلفت العلل لم يجب شيء )

B. Riba Nasii-ah ( ربا النسيئة)

Definisi Riba Nasii-ah

 

Nasii-ah dalam etimologi bahasa Arab bermakna Pengakhiran. Sedangkan dalam pengertian etimologi ahli fikih adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi ribawi yang satu illaat-nya pada riba fadhl (تأخير القبض في أحد الربويين المتحدين في علة ربا الفضل) atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual beli komoditi riba fadhal. Kalau salah satu komoditi riba fadhal dijual dengan barang riba fadhal lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, dibolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam:

” Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga. “

Perhatian

Nash-nash pengharaman riba mencakup semua jenis riba yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, jelaslah keberadaan riba dalam muamalat menjadi sebab pengharamannya dan larangannya secara syar’I. Namun menghukumi banyak keadaan sebagai muamalah ribawi atau bukan butuh penelitian dan kehati-hatian. Ibnu katsir rahimahullah memberikan peringatan dalam hal ini :

“Bab (pembahasan) Riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.”[15]


Footnote:

[1] Syarhul Mumti’ 8/387

[2] Al Hawafiz Al Taswiqiyah 39.

[3] Lihat Majmu’ fatawa 29/419, I’lam Al Muwaqi’in 1/387 dan Al Muwafaqaat 4/40.

[4] Lihat I’laamul Muwaqqi’ien oleh Ibnul Qayyim 2/ 135.

[5] Ahkaamul Qur’aan 1/ 465.

[6] Ahkaamul Qur’aan 1/ 67.

[7] Tafsir Ar-Raazi 4/ 92.

[8] Az-Zawajir ‘aiq Tiraafil Kabaa-ir 1/222.

[9] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254.

[10] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya III : 4, dan sanadnya shahih.

[11] Al Fiqih Al MuyassarQismul Muamalat -78

[12] Majmu’ Fatawa 29/470-471, lihat juga Taisir Al Fiqhi Al JaamiLil Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah Lisyeikhil Islam Ibnu Taimiyah, Ahmad Muwafi, 2/1022-1025.

[13] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254.

[14] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Musaaqat, bab: Menjual emas dengan perak secara kontan, nomor 1587. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 3348. Diriwayatkan oleh An-Nasaa-i 4562. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 2253, 2254.

[15] Tafsir Ibnu Katsir 1/327.

***

Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28