بسم الله الرحمن الرحيم
Dunia usaha dan bisnis yang sukses sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah, glamor, cinta dunia yang berlebihan, dan ambisi yang tidak pernah puas untuk terus mengejar harta. Bahkan, sebagian dari para ulama menyifati dunia bisnis sebagai urusan dunia yang paling besar pengaruh buruknya dalam menyibukkan dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. [1]
Hal ini dikarenakan bisnis yang sukses akan mendatangkan keuntungan harta yang berlimpah, yang tentu saja ini merupakan ancaman fitnah (kerusakan) besar bagi seorang hamba yang tidak memiliki benteng iman yang kokoh untuk menghadapi dan menangkal fitnah tersebut.
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus memperingatkan umat beliau dari besarnya bahaya fitnah harta dan kedudukan duniawi dalam merusak agama dan keimanan seseorang dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِه
“Tidaklah dua ekor serigalaِ kelaparan yang dilepaskan kepada kambing lebih besar kerusakan (bahaya)nya terhadap kambing tersebut, dibandingkan dengan (sifat) rakus seorang manusia terhadap harta dan kedudukan (dalam merusak/membahayakan) agamanya.“[2]
Timbulnya kerusakan ini dikarenakan kerakusan terhadap harta dan kedudukan akan memacu seseorang untuk terus mengejar dunia dan menjerumuskannya kepada hal-hal yang merusak agamanya, karena umumnya, sifat inilah yang membangkitkan dalam diri seseorang sifat sombong dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi, yang sangat tercela dalam agama.[3] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash: 83)
Kenyataan inilah yang seharusnya menjadikan seorang muslim yang menghendaki kebaikan dan keselamatan dirinya, utamanya kalangan yang menggeluti dunia usaha dan bisnis, untuk selalu waspada dan introspeksi diri, serta tidak terlalu percaya diri (bersandar kepada kemampuan diri) dalam hal ini, dengan merasa imannya kuat dan aman dari kemungkinan terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Cukuplah sikap percaya diri yang berlebihan seperti ini menjadi bukti rapuhnya keimanan dalam hati dan pertanda jauhnya taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba tersebut!!
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Al-‘Arifun (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan agama-Nya) telah bersepakat (mengatakan) bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) al-khidzlan (berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)…”[4]
Inilah makna doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang, “…(Ya Allah,) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan aku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.”[5]
Tidakkah orang yang beriman mengkhawatirkan dirinya akan kemungkinan ditimpa kerusakan dalam agama dan imannya sebagai akibat dari fitnah harta. Padahal, hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling sempurna imannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkhawatirkan hal ini menimpa umatnya, sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا ، ولا تَجْعَلِ الدُّنْيا أَكْبَرَ همِّنا
“(Ya Allah) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia (harta dan kedudukan[6]) sebagai target utama kami.“[7]
Fitnah harta dan dunia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”
Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun:15)[8]
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika (perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum kalian, maka kalian pun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka.”[9]
Arti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam “… sehingga dunia itu membinasakan kalian” adalah dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan disebabkan oleh persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya, dan kesibukan dalam mengejarnya, sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan balasan di akhirat.[10]
Dalam hadits ini terdapat nasihat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta, yaitu agar hendaknya dia bersikap waspada dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya.[11]
Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal, nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya,[12] kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[13]
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apa pun untuk tujuan tersebut. Akibatnya, tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan, dan penyesalan yang tiada akhirnya.[14]
Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.”[15]
Memanfaatkan harta untuk meraih ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Perlu dicamkan di sini, bahwa ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berisi celaan terhadap harta dan dunia, bukanlah memaksudkan bahwa celaan terhadap zat harta dan dunia itu sendiri, tetapi maksudnya adalah kecintaan yang berlebihan terhadapnya sehingga melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya,[16] sebagaimana firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)
Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi berkata, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tetapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tetapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Betapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) radhiyallahu ‘anhu dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Serta, betapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…”[17]
Bahkan, banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan), yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena sesuatu yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi.”[18]
Imam Al-Qurthubi berkata, “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya. Oleh karenanya, ketika tiba waktu shalat fardhu, hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam ayat ini.”[19]
2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada hasad/iri[20] (yang terpuji) kecuali kepada dua orang: (yang pertama adalah) orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan (yang kedua adalah) orang yang Allah anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).”[21]
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha) pernah berkata, ‘(Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).’” Anas berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan, ‘Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan kepadanya.’” Anas berkata, “Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang.”[22]
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan keturunan yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melalaikan manusia dari ketaatan kepada-Nya,[23] karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, Imam An-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab “Keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu”.[24]
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.…” Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.”[25]
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar –ketika menjelaskan hadits ini– berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa Ta’ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya.”[26]
Antara kaya dan miskin
Siapakah yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala: orang kaya yang bersyukur dengan kekayaannya atau orang miskin yang bersabar dengan kemiskinannya?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang lebih mengutamakan orang kaya yang bersyukur dan ada yang lebih mengutamakan orang miskin yang bersabar. Kedua pendapat ini juga dinukil dari ucapan Imam Ahmad bin Hambal.[27]
Kedua pendapat ini masing-masing memiliki berbagai argumentasi dari Al-Quran dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sama kuatnya, sehingga para ulama ahli tahqiq (yang terkenal dengan ketelitian dalam berpendapat) tidak menguatkan salah satu di antara dua pendapat tersebut, tetapi mereka memilih pendapat yang menggabungkan keduanya, yaitu: yang lebih utama di antara keduanya adalah yang paling besar ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan keumuman makna firman-Nya,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Maka, orang kaya yang lebih besar rasa syukurnya lebih utama dibanding orang miskin yang lebih sedikit kesabarannya dan sebaliknya.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dua murid beliau, yaitu Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah[28] dan Ibnu Muflih Al-Maqdisi[29].
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan kebanyakan (ulama) zaman sekarang tentang siapakah yang lebih utama: orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar. Sebagian dari para ulama dan ahli ibadah menguatkan pendapat pertama (orang kaya yang bersyukur lebih utama), sementara ulama dan ahli ibadah yang lain menguatkan pendapat kedua (orang miskin yang bersabar lebih utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil dari Imam Ahmad.
Adapun para shahabat dan tabi’in radhiyallahu ‘anhum, maka tidak ada satu pun nukilan dari mereka (tentang) keutamaan salah satu dari dua golongan tersebut dibanding yang lain.
Sekelompok ulama lainnya berkata, “Masing-masing dari keduanya tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain kecuali dengan ketakwaan. Maka, yang paling kuat iman dan ketakwaannya itulah yang paling utama. Kalau iman dan ketakwaan keduanya sama maka keutamaan keduanya pun sama.”
Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari Al-Qur-an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan (bahwa) keutamaan (manusia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dicapai) dengan keimanan dan ketakwaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا
“Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu (keadaan) keduanya.” (QS. An-Nisa’: 135)
Di antara para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang terdahulu dan pertama (masuk Islam), ada orang-orang kaya yang keutamaannya (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang miskin (setelah mereka), sebagaimana di antara mereka ada orang-orang miskin yang keutamaannya (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya (setelah mereka).
Orang-orang yang sempurna (keimanan dan ketakwaannya) mampu menegakkan dua sifat agung tersebut (syukur dan sabar) secara sempurna (dalam semua kondisi), seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pada diri (dua shahabat) Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.
Akan tetapi, terkadang seseorang lebih baik baginya (dalam keimanan) jika diberi kemiskinan, sementara orang lain lebih baik baginya jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi yang lain…”[30]
Teladan sempurna dari ulama salaf
Para ulama salaf adalah sebaik-baik teladan dalam semua kebaikan dan keutamaan dalam agama ini, tidak terkecuali dalam memanfaatkan harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara para ulama salaf yang terkenal dengan sifat ini adalah:
Pertama, shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Ash Al-Umawi radhiyallahu ‘anhu (wafat tahun 35 H), salah seorang dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau radhiyallahu ‘anhu sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.
Beliaulah yang membeli sumur Rumah dari pemiliknya yang seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bagi beliau balasan air minum di surga kelak.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperluas Mesjid Nabawi, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menyumbangkan hartanya untuk membeli tanah perluasan mesjid tersebut.
Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan Al-‘Usrah dalam perang Tabuk, yaitu sebanyak 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Sehingga setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda berkali-kali, “Tidak akan merugikan ‘Utsman apa (pun) yang dilakukannya setelah hari ini.”[31],[32]
Kedua, shahabat yang mulia, ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu (wafat tahun 32 H), salah seorang dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga merupakan shahabat yang sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.
Imam Az-Zuhri berkata, “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah bersedekah dengan separuh dari harta beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah (lagi) dengan (harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Setelah itu, beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor unta (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Sebagian besar hasil kekayaan beliau (diperolehnya) dari (usaha) perniagan.[33]
Ketiga, ‘Ali bin Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib Al-Hasyimi Al-Madani (wafat tahun 94 H),[34] putra dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal, Husein bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Imam besar dari kalangan Tabi’in (murid para shahabat radhiyallahu ‘anhum), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[35] Beliau sangat terkenal dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai zainul ‘abidin (perhiasan bagi para ahli ibadah).[36]
Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi.[37]
Bahkan, semasa hidupnya beliau menanggung biaya seratus keluarga miskin di Madinah. Sampai-sampai, orang menyangka beliau kikir dan suka menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan sedekah beliau.[38]
Keempat, Yunus bin ‘Ubaid bin Dinar Al-Bashri (wafat tahun 139 H)[39], imam panutan yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram).[40]
Beliau adalah seorang pedagang kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan beliau sebelum terjadi jual beli[41]. Bahkan, karena kejujurannya, beliau pernah mengembalikan uang seorang pembeli yang membeli kain beliau dengan harga yang lebih tinggi, karena waktu itu yang menjualnya adalah keponakan beliau.[42] Bagitu pula sebaliknya, jika beliau membeli barang dari seseorang, maka beliau akan membayarnya dengan harga yang sesuai, meskipun orang tersebut pada awalnya menawarkannya dengan harga yang lebih murah.[43]
Diriwayatkan dalam biografi beliau, bahwa suatu saat harga kain di suatu daerah dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal, yang mana sesuai kebiasaan, jika daerah tersebut harga kainnya naik maka harga kain di Bashrah pun nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin ‘Ubaid segera membeli sejumlah besar kain kepada pedagang kain lainnya dengan harga pasaran biasa. Setelah selesai membeli barang tersebut, beliau bertanya kepada penjual tersebut, “Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di daerah anu?” Penjual tersebut menjawab, “Tidak, kalau saja aku tau tentu aku tidak akan menjualnya kepadamu.” Maka Yunus bin ‘Ubaid berkata, “(Kalau begitu) kembalikan uangku padamu dan aku akan kembalikan barangmu.”[44]
Kelima, ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan Al-Umawi Al-Madani, cucu shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[45]
Musa bin Muhammad At-Taimi memuji beliau dengan mengatakan, “Aku tidak pernah melihat (seorang lelaki) yang lebih banyak menghimpun agama, kerajaan (kekuasaan), dan kemuliaan (nasab) melebihi ‘Abdurrahman bin Aban.[46]
Beliau pernah membeli satu keluarga budak, kemudian memberikan pakaian untuk mereka semua, setelah itu beliau berkata kepada mereka, “Kalian (semua) aku bebaskan karena (mengharapkan) wajah Allah. Aku menjadikan kalian sebagai (salah satu sebab) penolongku (menghadapi dasyatnya) sakaratul maut.”[47]
Beliau sangat rajin beribadah, sehingga ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas mengagumi dan meneladani beliau dalam kebaikan.[48]
Keenam, Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat tahun 181 H)[49], imam besar yang ternama dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat yang baik.”[50]
Dalam biografi beliau disebutkan bahwa Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memliki perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke “tanah haram” (Mekkah). Maka, Abdullah bin Al-Mubarak menjawab, “Sesungguhnya aku melakukan itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah.”[51]
Ucapan beliau ini benar-benar terbukti, karena beliau sangat terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun,[52] serta membiayai semua perbekalan orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama beliau.[53]
Termasuk kedermawanan beliau yang paling utama adalah menanggung biaya hidup beberapa imam besar ahli hadits di zamannya, seperti Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh,[54] agar mereka bisa lebih berkonsentrasi menyebarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama ahli hadits) yang memiliki keutamaan dan kejujuran. Mereka (menyibukkan diri dengan) mempelajari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar dan sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada mereka sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan mereka sendiri punya kebutuhan (untuk membiayai kelurga mereka). Jika kami tidak membantu (menanggung biaya hidup) mereka maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar dengan baik), tetapi kalau kami mencukupi (biaya hidup) mereka maka mereka (bisa lebih berkonsentrasi) menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku tidak mengetahui -setelah kenabian-, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[55]
Jadilah pengusaha yang zuhud
Menjadi pengusaha bukanlah dengan harus menjadi miskin dan menyia-nyiakan harta yang ada, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi, bersikap zuhud adalah dengan menggunakan harta dan kekayaan yang dimiliki sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta dan kekayaan tersebut. Atau dengan kata lain, bersikap zuhud adalah dengan tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta dan kekayaan yang dimiliki, dengan bersegera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, “Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)?” Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) ketika seseorang berada di waktu pagi maka dia berkata, “Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.”[56]
Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu.”[57]
Sifat inilah yang dimiliki dengan sempurna oleh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadikan mereka lebih mulia dan utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dibandingkan orang-orang yang datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) daripada kalian.” Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman?” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat.”[58]
Penutup
Sebagai penutup, renungkanlah nasehat berharga dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Serta, barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).”[59]
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan cinta kepada balasan yang kekal di akhirat, serta semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 17 Dzulqa’dah 1431
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
[1] Lihat: kitab Fathul Qadir: 4/52.
[2] HR. At-Tirmidzi (no. 2376), Ahmad: 3/456, Ad-Darimi (no. 2730), dan Ibnu Hibban (no. 3228); dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syekh Al-Albani.
[3] Lihat kitab Faidhul Qadir: 5/445.
[4] Kitab Al Fawa`id (hlm. 133, cet. Muassasah Ummil Qura, Mesir, 1424 H).
[5] HR. An-Nasa`i dalam As-Sunan: 6/147 dan Al-Hakim dalam Al Mustadrak (no. 2000); dishahihkan oleh Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah (1/449, no. 227).
[6] Lihat: kitab Tuhfatul ahwadzi: 9/334.
[7] HR. At-Tirmidzi (no. 3502); dinyatakan hasan oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani.
[8] Lihat: kitab Faidhul Qadir: 2/507.
[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).
[10] Lihat: catatan kaki kitab Shahihul Bukhari: 3/1152.
[11] Nasihat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam kitab Fathul Bari: 11/245.
[12] Lihat: keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 84, Mawaridul Aman).
[13] Hadits shahih Riwayat Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[14] Kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 83–84, Mawaridul Aman).
[15] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).
[16] Lihat: kitab Tafsir Al-Qurthubi: 18/142 dan Aisarut Tafasir: 4/271.
[17] Kitab Al-Adabusy Syar’iyyah: 3/469.
[18] Kitab Tafsir Ibnu Katsir: 3/390.
[19] Kitab Tafsir Al-Qurthubi: 5/156.
[20] Maksudnya adalah ”al-gibthah” yaitu mengharapkan nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang lain tanpa hilangnya nikmat tersebut dari diri orang itu; lihat: kitab Syarhu shahiihi Muslim: 6/97.
[21] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 73) dan Muslim (no. 816).
[22] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481); lafal ini yang terdapat dalam Shahih Muslim.
[23] Lihat: kitab Tafsir Al-Qurthubi: 11/80.
[24] Lihat: Syarah Shahih Muslim: 16/39–40.
[25] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595).
[26] Kitab Fathul Bari: 3/298.
[27] Lihat: kitab Al-Adabusy Syar’iyyah: 3/468 dan ‘Uddatush Shabirin (hlm. 146).
[28] Dalam kitab ‘Uddatush Shabirin (hlm. 146 dan 149).
[29] Dalam kitab Al-Adabusy Syar’iyyah: 3/468–469.
[30] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab ‘Uddatush Shabirin (hlm. 149–150).
[31] HR. At-Tirmidzi (no. 3701) dan Al-Hakim (no. 4553); dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani.
[32] Lihat: kitab Tahdzibul Kamal: 19/450.
[33] Lihat: kitab Tahdzibul Kamal: 17/327.
[34] Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/386 dan Shifatush Shafwah: 2/93.
[35] Kitab Taqribut Tahdzib (hlm. 400).
[36] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/392.
[37] Lihat: kitab Shifatush Shafwah: 2/96.
[38] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/394.
[39] Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 6/288 dan Shifatush Shafwah: 32/517.
[40] Kitab Taqribut Tahdzib (hlm. 613).
[41] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 6/290.
[42] Ibid: 6/289.
[43] Ibid.
[44] Ibid: 6/293.
[45] Biografi beliau dalam kitab Tahdzibul Kamal: 16/492 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 5/10.
[46] Ibid.
[47] Kitab Tahdzibul Kamal: 16/493.
[48] Kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 5/10–11.
[49] Biografi beliau dalam kitab Tahdzibul Kamal: 16/5 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 8/378.
[50] Kitab Taqribut Tahdzib (hlm. 271).
[51] Kitab Tahdzibul Kamal: 16/20 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 8/387.
[52] Lihat: kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 8/386.
[53] Ibid: 8/385–386.
[54] Ibid: 8/386.
[55] Kitab Tahdzibul Kamal: 16/20 dan Siyaru A’lamin Nubala’: 8/387.
[56] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam: 2/384.
[57] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam: 2/179.
[58] Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no. 34550) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’: 1/136 dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Latha`iful Ma’arif (hlm. 279).
[59] HR. Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad: 5/183, Ad-Darimi (no. 229), Ibnu Hibban (no. 680), dan lain-lain dengan sanad yang shahih; dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, Al-Bushiri, dan Syekh Al-Albani.