Berbisnis dengan pemerintah hampir pasti mendatangkan uang dalam
jumlah lebih besar ketimbang berbisnis dengan konsumen rumahan atau
eceran. Tertarik. Ini salah satu peluang itu.
Pada 2011, salah satu harian terkemuka di Amerika Serikat, Wall Street Journal, pernah menerbitkan tulisan pengusaha sekaligus investor sukses di Lembah Silikon, Marc Andreessen, dengan judul Why is Software Eating The World.
Dalam tulisan ini, Marc menyadarkan kita bahwa betapa dunia yang kita
huni banyak bergantung pada perangkat lunak. Marc juga menarasikan
dengan sangat baik tentang bisnis-bisnis tradisional yang sudah
ditransformasi oleh perangkat lunak, atau perusahaan yang mengandalkan
kekuatan perangkat lunak. Bagaimana dengan pemerintahan?
Software Rules
Dalam
esai fenomenal itu, Marc memberi kita beberapa contoh bidang atau
lingkungan yang proses di dalamnya sangat bergantung pada keberadaan
perangkat lunak tertentu. Marc menyebut Amazon sebagai contoh pertama.
Sebelum Amazon muncul, banyak orang pesimis tentang ide menjual buku
secara online, termasuk di antaranya toko buku terkemuka di
negeri Paman Sam, Borders. Tapi kini, satu dekade lebih setelah Amazon
lahir, nasib atau peruntungan sepertinya berbalik 360 derajat. Amazon,
yang menjual buku secara online, jauh lebih sehat dan besar ketimbang Borders.
Tidak
seperti Borders atau bahkan Barnes & Noble yang memusatkan arus
kasnya pada penjualan buku, Amazon – sebagai perusahaan berbasis
teknologi informasi – justru lebih menitikberatkan masa depannya pada
keandalan software yang dikembangkan untuk menangani transaksi pembelian secara online. Seiring berjalannya waktu, yang diikuti pemahaman sekaligus kebiasaan orang berbelanja secara online, Amazon
kini mentransformasi dirinya dari perusahaan yang khusus menjual buku,
ke perusahaan yang mampu menjual hampir apa saja secara online. Termasuk hampir semua item yang bisa dijual supermarket terbesar di Amerika Serikat, Walmart.
Almost Everywhere
Di
dunia hiburan, hal yang sama juga terjadi. Bisnis rental CD dan DVD,
yang dahulunya dikuasai Blockbuster, saat ini sudah beralih ke tangan
Netflix. Ini perusahaan penyedia layanan – atau software – bagi pelanggannya untuk menonton film atau acara TV kesukaannya secara online melalui video streaming.
Selain Blockbuster, beberapa perusahaan terkemuka di dunia hiburan juga
tampak kalang kabut dibuat oleh Netflix. Sebut saja Comcast dan Time
Warner, yang seolah-olah terpaksa menyediakan layanan serupa seteru
barunya itu setelah melihat perubahan perilaku konsumen mereka dalam
menikmati konten-konten hiburan.
Dalam bisnis perekrutan, ada
LinkedIn, yang sepertinya mulai memakan keuntungan biro rekrutmen di
Amerika Serikat. Di dunia jual-beli musik, ada iTunes, yang dianggap
orang justru menjadi penyelamat industri musik dari ancaman situs file-sharing atau
torrentz yang kadang menyediakan album atau lagu bagi penggunanya tanpa
royalti sepeser pun untuk artis yang berkepentingan. Dan iTunes, tentu
saja, sebuah software; semua orang sudah tahu itu.
Apa lagi? Di dunia penerbangan, sukses atau tidaknya penerbangan Anda
atau jutaan penumpang lain dari satu tempat ke tempat lain mungkin
sekali sangat dipengaruhi oleh software. Saat software ngadat, Anda sepertinya akan batal bepergian.
Software di Dunia Pemerintahan
Uniknya,
Marc Andreessen tidak atau mungkin lupa menjelaskan bahwa sesuatu yang
sama sebenarnya juga terjadi di dunia pemerintahan, khususnya untuk
bidang pengelolaan keuangan, baik di level daerah maupun nasional. Di
level daerah, saat ini ada sebuah software,atau lebih
tepatnya sistem informasi yang digunakan oleh ratusan pemerintahan
daerah di Indonesia untuk mengelola keuangannya. Nama software ini adalah SIMDA (Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah) yang merupakan hasil karya para developer dari
BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) Pusat. Sebagai admin
sekaligus penggunanya, saya paham betul apa yang akan terjadi pada para
pegawai Dinas PPKAD (Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah)
saat ada trouble atau error pada SIMDA. Mereka akan
berteriak (meski tidak histeris). Memang aneh, tapi itulah kenyataan.
Satu-satunya cara untuk melupakan SIMDA (yang sekali lagi merupakan software)
adalah kembali ke metode lama, yakni memberdayakan kembali mesin tik
untuk membuat surat-surat atau laporan yang sangat diperlukan oleh para
pengelola keuangan. Tapi itu sepertinya sebuah kemustahilan.
Software dan Kantor Pajak
Selain di kantor Dinas PPKAD, software juga
sepertinya sudah merajalela di Kantor Pajak Pratama. Hal ini saya
dapati saat mengikuti kerja magang di Kantor Pajak Pratama Wilayah
Gorontalo. Saat masuk ke dalam kantornya dan mengikuti proses
pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), saya langsung sadar bahwa
hampir semua aktivitas yang terkait dengan PBB juga melibatkan software, dalam hal ini SISMIOP (Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak) dan SIG (Sistem Informasi Geografis). Tanpa kedua software ini,
saya sudah tahu apa yang akan terjadi di kantor pajak; mereka akan mati
suri atau kembali ke metode lama, yakni menggunakan mesin tik. Dan itu
baru untuk pengelolaan PBB. Untuk pajak-pajak lainnya, ternyata hal yang
sama juga terjadi, perangkat lunaklah yang menentukan atau
mengendalikan. Secara tidak langsung, bolehlah kita menuliskan kalimat: Software is eating the government.
Peluang Bisnis
Bagi Anda para programmer atau developer,
keadaan ini seharusnya bisa menjadi peluang besar yang bisa Anda
manfaatkan. Bila Anda bisa membuat sistem informasi, Anda harusnya mampu
menjadi penyedia atau vendor (baca: ISV alias Independent
Software Vendor) bagi kantor, dinas, atau institusi pemerintahan
tersebut, karena hampir semua lembaga tersebut pasti membutuhkan sistem
informasi yang berbasis komputer. Menariknya, berbisnis dengan
pemerintah itu hampir pasti bisa mendatangkan uang dalam jumlah yang
lebih besar ketimbang saat Anda berbisnis dengan konsumen rumahan atau
eceran. Maklumlah, uang negara kan lebih besar ketimbang uang rakyat.
Tertarik? (PM)
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial