Umar bin Khattab pernah menolak gaji yang menjadi haknya untuk diserahkan kepada orang miskin. Lalu Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menyuruhnya mengambil gajinya, baru dia sedekahkan. Pesan ini mengandung sejuta makna tentang cara bersedekah dan membayar zakat yang baik.
Sungguh begitu banyak mutiara kebajikan bertabur. Semuanya sudah ditunjukkan jenis, tempat dan waktu keberadaannya. Alangkah gembiranya bila kita semua mampu mengutip semua muatiara itu. Dengan menyelam sepenuh kemampuan ke dasar lautan perjuangan hidup. Salah satu jenis mutiara tersebut adalah mutiara sedekah. Marilah kita ikut berpartisipasi mendulangnya.
Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu pernah memanggil seorang pegawainya untuk ditanya. Beliau mendengar pekerjanya menolak upah sebagai imbalan atas pekerjaannya. Pegawainya itu mengatakan, ia memiliki banyak kuda dan hamba sahaya. Ia merasa berkecukupan, sehingga menganggap alangkah baiknya gajinya itu tetap menjadi kas negara untuk disedekahkan kepada para fakir miskin.
Umar bin Khattab Radhiyallahu anhumenyuruh pegawainya agar tidak bersikap seperti itu. “Dahulu aku juga berprinsip seperti dirimu. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan suatu pemberian untukku, namun aku tolak sambil mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, serahkan saja harta ini untuk orang miskin yang lebih butuh daripada diriku. Akan tetapi, Rasulullah berkata lain. Beliau bersabda:
‘Ambillah hai, Umar. Gunakan untukmu sendiri atau silakan kamu sedekahkan pada orang lain! Jika ada harta datang padamu tanpa kamu memintanya, maka ambillah, namun jika ia tidak menghampirimu, maka jangan engkau penuhi hasratmu terhadapnya.’”(HR. Bukhari, No. 6744)
Jika kita perhatikan, sungguh tersirat pelajaran berharga dalam nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu. Berikut di antaranya:
1. Rasulullah mengajak Umar bin Khattab bersedekah dengan hartanya; bukan hanya dengan ucapannya.
Memang sekilas terlihat sikap Umar Radhiyallahu anhuyang menolak pemberian harta didasari alasan mulia. Umar ingin harta tersebut dimanfaatkan orang-orang fakir, karena beliau sudah merasa cukup. Sikap Umar dinamakan itsar, yakni mendahulukan orang lain daripada diri sendiri untuk mendapatkan sesuatu.
Dalam peristiwa tersebut, Umar bin Khattab Radhiyallahu anhutelah menunjukkan keikutsertaannya dalam sedekah berbentuk anjuran dan ucapan. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan, ada sikap yang lebih baik daripada itu. Beliau mengajak Umar bin Khattab, bila ingin bersedekah, pilihlah jalan yang lebih utama. Yaitu ikut bersedekah dengan harta sendiri; bukan hanya dengan anjuran dan kata-kata belaka.
Tidak dipungkiri, menganjurkan orang bersedekah adalah perbuatan mulia. Menunjukkan orang lain tempat penyaluran sedekah, infak atau sedekah adalah pekerjaan terpuji. Namun, mengeluarkan sedekah dari kantong sendiri, lebih terpuji.
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammengajak Umar bin Khattab untuk melawan sifat kikir dalam dirinya.
Kita mungkin sepakat, harta yang belum masuk kantong kita rasanya lebih mudah untuk dilepaskan. Barangkali karena masih ada kesan, itu harta umat, atau uang lembaga, atau kas yayasan. Namun, ini berbeda bila harta itu menjadi hak kita dan sudah masuk ke rekening kita. Kira-kira, mudahkah harta tersebut keluar menuju ke para fakir miskin?
Anda dapat membayangkan hal ini bila Anda pegawai yang rutin menerima gaji setiap bulan. Biasanya, dalam slip gaji tertulis “potongan untuk dana sosial Rp 20.000. Uang sebesar ini dipotong dari gaji Anda. Mungkin ringan menurut Anda. Namun, bayangkan bila tidak ada pemotongan gaji untuk dana sosial. Apakah Anda secara rutin akan menyumbang Rp 20.000 dari gaji Anda?
Kita telah dihiasi Allah Ta’ala rasa cinta terhadap harta. Baik berupa emas, perak, kendaraan berupa kuda tunggangan, pertanian maupun peternakan. Inilah bentuk cinta, yang merupakan fitrah manusia terhadap dunia.
Dalam jiwa kita juga sudah tertanam sifat kikir, mau menang sendiri, mengutamakan diri sendiri. Akan tetapi, orang yang bisa mengekang sifat-sifat itu ialah orang yang beruntung. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sebenarnya manusia itu menurut tabiatnya punya sifat kikir.” (QS. An-Nisa: 128). Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah semaksimal kemampuanmu dan dengarlah serta taatlah kepada-Nya; dan nafkahkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghabun: 16)
Salah satu contoh cara melawan tabiat kikir adalah seperti yang dinasihatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu. Dengan mempersilakan dahulu harta yang memang secara sah kita miliki dan masuk ke dalam pundi simpanan kita. Kemudian kita “paksa” ia keluar kembali untuk disedekahkan dengan cara mengcongkelnya agar tidak melekat erat di dasar bejana nafsu akibat sifat kikir yang berkarat.
BAYAR ZAKAT DENGAN GUGURKAN UTANG, BOLEH?
Ada sebuah permasalahan dalam fikih zakat yang berhubungan dengan hal ini. Bolehkah menggugurkan utang untuk kemudian diniatkan sebagai pembayaran zakat?
Begini ilustrasinya. Setelah menghitung kewajiban zakat hartanya, A menyimpulkan, kewajiban zakat yang harus dia keluarkan sebesar Rp 2 juta. Kebetulan A pernah meminjamkan uang Rp 2 juta kepada B. Ia seorang fakir miskin. Serta merta A mengatakan kepada B, “Tidak usahlah kau melunasi utangmu karena pembayaran utangmu anggap saja zakatku untuk pelunasan utangmu.”
Menurut mayoritas ulama, zakat model seperti itu tidak sah (lihat: Nawawi, Majmu’: 6/210-211, dan Utsaimin, Syarh Mumti’: 6/237). Hal tersebut karena:
1. Zakat harus diserahkan oleh pemberi zakat dan diambil oleh penerima zakat. Allah Ta’alaberfirman, yang artinya, “Ambillah zakat dari hartaharta mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Sedangkan dalam kasus itu tidak ada serah terima. Karena pemberi zakat bukan memberikan harta miliknya; melainkan hanya menggugurkan utang orang lain.
2. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Janganlah kamu memilih yang buruk-buruk untuk kamu nafkahkan.” (QS. Al-Baqarah: 267). Hubungannya dengan kasus ini adalah, zakat yang diserahkan masih berbentuk utang. Kita akui bahwa lirikan hati terhadap utang berbeda jauh jika dibandingkan dengan hasratnya terhadap harta miliknya.
3. Biasanya, orang akan gampang menggugurkan utang atau memperpanjang tempo pelunasannya. Lain halnya dengan uang miliknya. Akan terasa berat bagi hati melepaskannya. Oleh karena itu, utang itu terhitung harta yang buruk, jika dibandingkan dengan harta tabungan.
4. Biasanya orang melakukan hal itu bila sudah putus asa karena yang berutang tidak mampu melunasi uangnya. Akhirnya ia memutuskan menganggap pelunasan utang sebagai pembayaran zakat dari pemberi utang. Hakikatnya ia hanya ingin menjaga hartanya yang diutangkan dan sulit dilunasi, dan mencari jalan aman agar tidak mengeluarkan zakat. Allahu a’lam. [Majalah Cetak Pengusaha Muslim]
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting, Penyedia Software Akuntansi Indonesia.
Anda juga dapat menjadi sponsor, silakan hubungi: [email protected] / Telp: 081326333328