Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Umum

Organisasi: Antara Demokrasi Dan Syura

PENDAHULUAN

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Secara hukum asal, organisasi, atau badan serupa adalah halal alias boleh. Hanya saja yang perlu ditekankan sejak awal, ialah beberapa hal berikut:

1. Asas pergerakan organisasi.

Tidak diragukan bahwa asas dalam urusan apapun bagi setiap muslim ialah al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman salafus shalih. Dengan demikian, keputusan atau kegiatan apapun yang bertentangan dengan hukum syari’at secara otomatis batal atau tidak sah. Dan bilamana ketahuannya di kemudian hari maka kegiatan itu harus dihentikan.

2. Mekanisme pengambilan keputusan.

Syari’at Islam mengajarkan bahwa untuk pengambilan keputusan adalah dengan metode musyawarah. Untuk lebih jelasnya silahkan baca makalah terlampir.

3. Tujuan.

Tujuan organisasi juga sudah pasti harus selaras atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (asas organisasi), baik itu berupa tujuan yang bernilai ibadah, atau juga berupa tujuan dunia murni yang halal, semisal tujuan-tujuan profit atau komersial. Asalkan tidak ada maksud untuk menggiring anggota kepada fanatis golongan, keorganisasian atau yang serupa. Loyal anggota tidak boleh digiring untuk mengerucut kepada organisasi atau yang serupa.

Untuk struktur kepengurusan, bisa saja dengan membentuk semisal dewan syura’ yang memegang wewenang tertinggi. Dan selanjutnya untuk kegiatan praktisnya dilaksanakan oleh badan pelaksana. Wallahu a’alam bisshawab.

ANTARA DEMOKRASI DAN MUSYAWARAH

Prinsip pertama: Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا . الأحزاب 36

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mikmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al Ahzab: 36)

عن ميمون بن مهران قال: كان أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله، فإن وجد فيه ما يقضي به بينهم قضى به، وإن لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه و سلم في ذلك الأمر سنةً قضى به. فإن أعياه خرج فسأل المسلمين، وقال: أتاني كذا وكذا، فهل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في ذلك بقضاء؟ فربما اجتمع إليه النفر كلهم يذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم فيه قضاءا، فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ عن نبينا صلى الله عليه و سلم. فإن أعياه أن يجد فيه سنة من رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم، فإذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به. وكذلك فعل عمر الخطاب من بعده. رواه الدارمي والبيهقي وصحح الحافظ إسناده في الفتح.

Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: “Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan?’ Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Abu bakar berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.

Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diucapkan oleh Ulil Abshar Abdallah (seorang tokoh liberal Indonesia -ed) berikut ini: “Hukum pidana bisa saja tetap diterapkan pada saat ini dengan syarat ada konsensus politik, jika cara ini mampu menciptakan tata sosial yang lebih baik. Sebab yang mengikat itu adalah konsensus publik, bukan hukum Tuhan.” ([1])

Prinsip kedua: Kebenaran tidak diukur dengan jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.

عن أبي هريرة قال: لما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم واستخلف أبو بكر بعده، وكفر من كفر من العرب، قال عمر بن الخطاب لأبي بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا الله، فقد عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه، وحسابه على الله. فقال أبو بكر: والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة، فإن الزكاة حق المال، والله لو منعوني عقالا كانوا يؤدونه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم لقاتلتهم على منعه. فقال عمر بن الخطاب: فوالله ما هو إلا أن رأيت الله عز وجل قد شرح صدر أبي بكر للقتال، فعرفت أنه الحق . متفق عليه

Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan: Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar: “Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.’” Abu Bakar-pun menjawab: “Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya akan aku perangi karenanya.” Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: “Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam. Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau:

والله لا أحل عقدة عقدها رسول الله صلى الله عليه و سلم ، ولو أن الطير تخطفنا والسباع من حول المدينة، ولو أن الكلاب جرت بأرجل أمهات المؤمنين، لأجهزن جيش أسامة، وآمر الحرس يكونون حول المدينة.

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), aku tetap akan meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah. ([2])

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ([3])

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:

وما اختلفتم من شيء فحكمه إلى الله . الشورى 10

“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” (Qs. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan di antara manusia kepada Allah Ta’ala, dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah Ta’ala, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.

Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing. Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, memiliki hak untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.

Musyawarah dan Voting

Ada satu persepsi yang perlu diluruskan. Sering kali sebagian orang memahami bahwa musyawarah itu berarti anti voting. Persepsi ini tidak sepenuhnya benar. Karena musyawarah itu dilakukan guna mencari solusi atau kebenaran dalam setiap urusan yang belum jelas. Dan bisa saja dalam proses musyawarah, tidak ditemukan bukti atau alasan yang benar-benar kuat, sehingga beberapa pendapat dan opsi tetap saja mengemuka. Dalam keadaan semacam ini, dibenarkan untuk diadakan voting, sehingga suara terbanyaklah yang akhirnya diambil. Kejadian semacam ini pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada saat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan sahabatnya dalam hal sikap mereka menghadapi pasukan Quraisy yang datang dan menyerang  kota Madinah. Beliau mengutarakan dua opsi: bertahan di dalam kota atau menghadang musuh di luar kota? Pada awal musyawarah, Nabi rmelontarkan usulan beliau dengan bersabda:

لَوْ أَنَّا أَقَمْنَا بِالْمَدِينَةِ فَإِنْ دَخَلُوا عَلَيْنَا فِيهَا قَاتَلْنَاهُمْ

“Alangkah baiknya bila kita tetap bertahan di dalam kota Madinah, bila mereka datang menyerbu kita, maka kita akan menghadapi mereka.”

Menanggapi usulan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, para sahabat, terutama kaum Anshar menyampaikan pendapatnya dengan berkata:

فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا دُخِلَ عَلَيْنَا فِيهَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَكَيْفَ يُدْخَلُ عَلَيْنَا فِيهَا فِى الإِسْلاَمِ

Ya Rasulullah! Sungguh demi Allah, dahulu semasa jahiliyah kami, tidak pernah ada musuh yang berani menyerang kami di dalam kota Madinah, akankah setelah kami masuk islam kita membiarkan musuh menyerang kami di dalamnya?

شَأْنَكُمْ إِذاً. قَالَ فَلَبِسَ لأْمَتَهُ.

Mendengar alasan sahabatnya ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terserah kalian, bila demikian halnya.” Dan beliaupun segera mengenakan baju perangnya.

فَقَالَتِ الأَنْصَارُ رَدَدْنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ rرَأْيَهُ، فَجَاءُوا فَقَالُوا يَا نَبِىَّ اللَّهِ شَأْنَكَ إِذاً.

Selang beberapa saat, kaum Anshar menyesali sikap mereka, dan berkata: “Kita telah menolak pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian merekapun menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta agar beliau lebih mendahulukan pendapat beliau sendiri.

فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ لِنَبِىٍّ إِذَا لَبِسَ لأْمَتَهُ أَنْ يَضَعَهَا حَتَّى يُقَاتِلَ. رواه احمد والدارمي وصححه الألباني

Menanggapi penyesalan sahabatnya ini, beliau bersabda: “Sesungguhnya tidak pantas bagi seorang nabi bila telah mengenakan pakaian perangnya untuk melepaskannya kembali hingga ia berperang.” (Riwayat Ahmad, Ad Darimi dan oleh Al Albani dinyatakan sebagai hadits shahih)

Berdasarkan kisah ini, Imam Bukhari menyimpulkan bahwa musyawarah hanyalah dilakukan sebelum terjadinya kebulatan tekad. Adapun bila telah dicapai kebulatan tekad, maka telah selesailah tahapan musyawarah, dan digantikan oleh tahapan tawakkal, sebagaimana di tegaskan pada firman Allah Ta’ala berikut:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ . آل عمران 159

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran: 159)

Pada kisah di atas, dengan jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mendahulukan suara kebanyakan sahabatnya dengan alasan yang mereka utarakan. Dan walaupun setelah beberapa saat sahabat beliau menyesali sikap mereka yang terkesan menolak pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi karena itu terjadi dalam proses musyawarah, maka itu tidak dianggap sebagai perbuatan dosa.

Sebagai konsekwensi musyawarah, beliaupun menjalankan hasil musyawarah itu dengan tekad yang bulat. Dan bila telah tercapai kebulatan tekad, maka sikap selanjutnya ialah bertawakkal kepada Allah Ta’ala.

Singkat kata, metode voting sah-sah saja untuk digunakan, bila dari proses musyawarah tidak dapat dicapai kata sepakat. Wallahu Ta’ala a’alam.

Footnote:

[1] ) Islam Liberal & Fundamental, hal: 246.

[2] ) Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308.

[3] ) Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28