ADAB-ADAB KREDITUR
Bila kita mengkaji berbagai dalil yang berkaitan dengan kreditur, yaitu orang diberi karunia kelebihan harta sehingga ia mampu menghutangi saudaranya, maka kita akan mendapatkan beberapa kesimpulan hukum. Dan bila kita merenungkan setiap hukum yang berkaitan dengan kreditur ini, niscaya kita akan dapatkan bahwa hukum tersebut benar-benar selaras dengan kemanusiaan dan akhlaq yang terpuji. Betapa tidak, hukum-hukum itu dapat melindungi kreditur dari sifat-sifat buruk, semisal, tamak, rakus, dan kejam.
Di antara hukum-hukum kreditur yang benar-benar mencerminkan akhlaq terpuji itu adalah sebagai berikut:
Adab pertama: Tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah.
Uluran tangan yang tanpa pamrih dan hanya mengharapkan balasan dari Allah Ta’ala adalah cerminan dari iman dan ketakwaan seseorang.
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Qs. Al Insan: 8-9)
Pada pertemuan yang telah lalu, dijelaskan bahwa utang piutang termasuk akad yang bertujuan memberikan uluran tangan. Karenanya uluran tangan tidak boleh dijadikan kedok untuk mengeruk keuntungan.
Pertolongan atau uluran tangan adalah perbuatan terpuji nan luhur, akan tetapi bila dibalik, pertolongan telah berhamburan kerikil-kerikil tajam, tentu itu tidak terpuji. Inilah yang mendasari orang-orang jawa untuk menjuluki perbuatan para rentenir dengan sebutan: “Nulung tapi mentung.”
Saudaraku! dalam hukum syari’ah perbuatan “nulung tapi mentung” yang diaplikasikan dalam bentuk piutang yang bertujuan mengeruk keuntungan, baik dalam bentuk materi atau non materi yang memiliki nilai materi, disebut dengan riba.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (al-Muhazzab oleh As Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211&213, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, as-Syarhul Mumthi’ 9/108-109)
Muhammad Nawawi Al Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi utang misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba [1]. Maksudnya setiap utang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi utang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh as-Syarbini 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli 4/231)
Saudaraku, para ulama’ tidak membedakan antara keuntungan yang bersifat fluktuatif alias berubah-ubah kadarnya dari yang tetap. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dari sekedar membaca kaedah yang sekaligus teks hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Adab kedua: Menunda tagihan bila debitur belum mampu melunasi utangnya.
Diantara hukum kreditur yang mencerminkan sifat mulia ialah menunda penagihan bila sang debitur belum mampu menunaikan kewajibannya atau sedang dalam kesulitan.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 280)
Berdasarkan ayat ini, para ulama’, terutama para penganut Mazhab As Syafi’i menjelaskan bahwa menunda piutang orang yang sedang kesulitan, sehingga belum mampu memenuhi kewajibannya adalah wajib hukumnya. (Al Muhazzab oleh As Syairozy 3/100, Al Haawi Al Kabir oleh Al Mawardi 15/868, & Fathul Bari oleh Ibni hajar 4/308)
Saudaraku! Anda ingin tahu seberapa besar keuntungan yang pasti anda peroleh bila anda menunda tagihan piutang anda?
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ . رواه البخاري ومسلم والترمذي واللفظ له
“Barang siapa yang menunda atau memaafkan utang orang yang kesusahan, niscaya Allah akan menaunginya di bawah arsy, kelak di hari yang padanya tidak ada naungan selain naungan-Nya.” (Riwayat Bukhari, Muslim, At Tirmizy dan ini adalah teks riwayat At Tirmizy)
Adab ketiga: Memaafkan sebagian atau seluruhnya.
Telah berkali-kali diutarakan bahwa piutang adalah salah satu bentuk perniagan yang seyogyanya menjadi ladang untuk menyemai benih-benih pahala dan keridhaan Allah Ta’ala. Karenanya, semakin besar pengorbanan yang anda lakukan dan semakin panjang anda mengulurkan tangan, maka semakin besar pula pahala dan keridhaan Allah yang anda tuai.
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al Baqarah: 280)
Dan pada hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang memaafkan utang saudaranya akan mendapatkan naungan di bawah ‘Arsy pada hari kiamat. Balasan yang sejenis: Sebagaimana tatkala di dunia seorang kreditur dengan piutangnya telah memberikan perlindungan kepada saudaranya dari kebangkrutan, kesusahan dan kelaparan, maka Allah membalasnya dengan yang setimpal. Allah memberikan perlindungan kepadanya dari petaka alam mahsyar.
Sebagaimana kreditur telah memudahkan tagihannya, dengan menunda atau memaafkannya, maka Allah Ta’ala-pun akan memudahkan tagihan-Nya (baca = hisab-Nya) pada yaumul hisab.
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : أُتِىَ اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِى الدُّنْيَا – قَالَ وَلاَ يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا – قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِى مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ خُلُقِى الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ. فَقَالَ اللَّهُ أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِى. متفق عليه
“Sahabat Huzaifah radhiallahu ‘anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Didatangkan kepada Allah salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah berfirman kepadanya: Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ ‘Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian.’ (Surat An Nisa 42). Iapun menjawab: ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan dahulu aku berjual-beli dengan orang lain, dan dahulu kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan, dahulu aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian Allah berfirman: ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.'” (Muttafaqun ‘alaih)
Luar biasa, balasan yang setimpal, perlindungan dibalas dengan perlindungan, memudahkan dibalas dengan memudahkan.
هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلاَّ الإِحْسَانُ
“Dan adakah balasan bagi kebajikan selain kebajikan pula.” (Qs. Ar Rahman: 60)
Dinyatakan dalam salah satu atsar (riwayat) dari ulama’ terdahulu:
البِرُّ لاَ يَبْلَى وَالإِثْمُ لاَ يُنْسَى وَالدَّيَّانُ لاَ يَمُوتُ فَكُنْ كَمَا شِئْتَ كَمَا تَدِيْنُ تُدَانُ
“Kebajikan itu takkan pernah lekang, dosa tak kan pernah terlupakan, dan Allah Yang Maha Kuasa takkan pernah mati, karenanya berlaku sesukamu, karena sebagaimana engkau berperilaku, maka demikian pulalah engkau akan diperlakukan.”
ADAB-ADAB DEBITUR
Syariat Islam juga telah mengajarkan kepada pihak yang menerima uluran tangan dan pertolongan, untuk berperilaku yang mencerminkan akhlaq yang terpuji nan luhur. Sehingga dengan berperilaku luhur, ia tetap dapat menjaga keluhuran martabatnya dan membalas uluran tangan saudaranya dengan cara-cara yang luhur pula.
Berikut beberapa adab yang semestinya anda indahkan bila anda menjadi seorang debitur:
Adab pertama: Tidak berhutang melainkan bila merasa mampu untuk melunasinya.
Diantara syari’at yang diajarkan kepada umatnya agar mereka dapat berlaku baik pada piutangnya ialah bersikap proporsional (sedang-sedang) dalam kehidupannya. Hidup sederhana, dan tidak berlebih-lebihan, dan senantiasa membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, kita tidak membelanjakan harta kekayaan kita dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan, sebagaimana kita juga akan terhindar dari sikap “besar pasak daripada tiang.”
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Qs. Al Furqan: 67)
Al Qurtuby Al Maliky berkata: “Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:
Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan, dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim An Nakha’i.
Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib.”
Selanjutnya Al Qurtuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata: “Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailet. Pendek kata, menyisihkan sebagian harta itu lebih utama.”
Adapun maksud dari: “Tidak kikir dalam membelanjakan harta”, maka para ulama’ tafsir memiliki dua penafsiran:
Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.
Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan, sebagaiaman halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan sholat. (Ahkamul Qur’an oleh Al Qurtuby 3/452)
Bila anda telah menempuh hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta, juga tidak kikir, niscaya anda akan terhindar dari lilitan hutang yang memberatkan.
Saudaraku! bila anda amati kebanyakan orang yang terlilit piutang dan ia tidak kuasa untuk melunasinya, biasanya akibat dari sikapnya yang tidak proporsional dalam membelanjakan harta bendanya. Ia membeli berbagai keperluan yang tidak penting dan dengan harga mahal, bahkan tidak jarang ia membelanjakan hartanya dalam hal-hal haram. Bahkan bila merasa keuangannya tidak mencukupi, ia tidak canggung untuk berhutang kepada orang lain, tanpa memikirkan bagaimana caranya mengembalikan utangnya tersebut.
Tentu pola pembelajaan harta benda semacam ini tidak dibenarkan dalam Islam. Sikap seperti ini menurut sebagian ulama’ adalah salah satu bentuk upaya merusak harta orang lain, dan pelakunya diancam dengan kebinasaan.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
“Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Bukhari)
Karena itu, hendaknya kita tidaklah berhutang kecuali bila benar-benar membutuhkan dan merasa mampu untuk melunasinya. Karena piutang, terasa manis pada saat menerimanya akan tetapi pahit dan berat pada saat hendak melunasinya. Dahulu para ulama’ salaf menyatakan:
مَا دَخَلَ هَمُّ الدَّيْنِ قَلْباً إِلاَّ أَذْهَبَ مِنَ الْعَقْلِ مَا لاَ يَعُوْدُ
“Tidaklah kegundahan karena memikirkan piutang menghampiri hati seseorang, melainkan akan menyirnakan sebagian dari akal sehatnya dan tidak akan pernah pulih kembali.”
Saudaraku, inilah hikmah dari sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering sekali berlindung dari lilitan utang:
مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. متفق عليه
“Ya Rasulullah, betapa sering engkau berlindung dari utang yang melilit nan memberatkan?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya seseorang bila telah terlilit oleh utang yang memberatkan, bila berbicara, ia berdusta, dan bila berjanji, ia ingkar.” (Muttafaqun ‘alaih)
Adab kedua: Bertekad bulat untuk melunasi utang dengan sepenuhnya dan tidak menunda-nunda pembayaran.
Syari’at Islam adalah agama yang luhur dan senantiasa mengajarkan setiap hal yang luhur pula. Sebagaimana Islam juga memerangi setiap hal yang dapat merusak keluhuran jiwa umatnya.
Diantara hal yang dilarang dalam syari’at Islam karena hal itu merupakan cerminan dari jiwa tercela, ialah membalas susu dengan air tuba. Bila saudara anda telah mengulurkan tangannya dengan memberikan utang kepada anda, maka tidak layak bagi anda untuk mengkhianati kepercayaannya dengan mengingkari atau menunda-nunda pembayaran haknya, padahal anda telah mampu untuk menunaikannya.
Mungkin saja anda beralasan bahwa: mumpung ada peluang bisnis yang sangat menguntungkan, sedangkan kreditur belum membutuhkan kepada dana ini, maka lebih baik saya investasikan dahulu, agar lebih banyak mendatangkan keuntungan.
Saudaraku! ini adalah bisikan setan, agar anda semakin hari semakin terjebak dan merasa berat untuk melunasi utang anda. Karena bisikan semacam ini akan terus dibisikkan kepada anda dan tidak ada hentinya. Setiap hari peluang bisnis pasti ada yang baru, dan menggiurkan anda. Bila bisikan ini anda turuti, maka tidak menutup kemungkinan kesusahan akan kembali menghampiri anda. Ulah anda yang kurang terpuji ini mungkin saja menjadi alasan bagi Allah untuk menimpakan kembali kesusahan kepada anda.
مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه
“Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihanmu dipindahkan kepada orang yang berkecukupan, maka hendaknya iapun menurutinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Begitu tercelanya perilaku ini, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai tindak kejahatan yang pelakunya layak untuk dihukumi, baik dengan hukuman fisik atau lainnya.
لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ. رواه البخاري
“Penundaan orang yang telah berkelapangan adalah tindak kezhaliman yang menjadikan pelakunya layak untuk dihukumi (fisiknya) dan dilanggar kehormatannya.” (Riwayat Al Bukhari)
Hukuman fisik berupa dipenjara, hingga didera dengan cambuk hingga ia menunaikan tanggungan utangnya.
Pelangaran kehormatan dengan cara menyampaikan perilakunya ini kepada pihak yang berwenang atau orang lain yang mampu memberikan tekanan kepadanya sehingga pada akhirnya ia menunaikan tanggungan piutangnya. (Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 5/62)
Bila anda telah mengetahui bahwa penundaaan adalah perbuatan zhalim, maka waspadalah, jangan sampai kezhaliman ini menjadi penyebab seretnya rizqi anda:
إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقُ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ. رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim dll)
Bahkan bila penunda pelunasan piutang disertai dengan niat tidak baik, maka dosa dan hukumannyapun semakin berat. Masa depan yang suram di dunia dan akhirat akan menjadi bagiannya.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
“Barang siapa yang mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk menunaikannya, niscaya Allah akan memudahkannya dalam menunaikan harta tersebut, dan barang siapa mengambil harta oranga lain sedangkan ia berniat untuk merusaknya, niscaya Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Bukhari)
Saudaraku, ketahuilah bahwa bila anda bertekad bulat untuk melunasi utang anda kepada yang berhak menerimanya, niscaya anda mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas, dan juga pada hadits berikut:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ. رواه ابن ماجة والدارمي والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah senantiasa menyertai orang yang berhutang hingga ia melunasi utangnya, selama utangnya itu tidak dibenci Allah.” (Riwayat Ibnu Majah, Ad Darimy, Al Hakim, Al Baihaqi dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Masihkah ada alasan untuk menunda-nunda pembayaran utang?
Adab ketiga: Bersikap baik dalam pelunasan utang.
Bila anda telah menyadari bahwa saudara anda sang kreditur telah memberikan uluran tangannya, maka sudah sepantasnyalah bila anda berperilaku baik tatkala melunasi utang. Perilaku baik dalam proses pelunasan utang dapat diwujudkan dalam beberapa hal:
1. Tepat waktu dan tidak menunda-nunda, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2. Memberi tambahan, baik tambahan sejenis dengan utang atau dalam bentuk lain. Tambahan ini bila tidak dipersyaratkan pada saat akad hutang-piutang berlangsung, dan atas dasar inisiatif debitur sendiri, maka ini adalah sikap yang terpuji dan tidak termasuk riba.
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
“Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Melunasi piutang sesegera mungkin, walaupun belum jatuh tempo.
4. Dan tidak lupa bila anda tidak kuasa untuk melakukan ketiga hal di atas, maka saya yakin anda kuasa untuk melakukan hal ini, yaitu mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikan untuknya:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ. رواه أحمد وأبو داود وصححه الألباني
“Barang siapa yang telah berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikannya, bila engkau tidak memiliki sesuatu yang dapat digunakan untuk membalas kebaikannya, maka doakanlah kebaikan untuknya hingga engkau merasa telah cukup membalas kebaikannya tersebut.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)
Mungkinkah anda merasa susah untuk memanjatkan doa kebaikan bagi orang-orang yang telah berjasa dengan mengulurkan tangannya untuk anda?
Adab keempat: Mohon pertolongan kepada Allah Ta’ala untuk dapat melunasi utang.
Saudaraku! sebagai bagian dari keimanan anda kepada Allah Ta’ala ialah meyakini bahwa Allah Maha Kuasa. Tiada daya dan upaya selain apa yang Allah karuniakan kepada anda. Segala yang Allah kehendaki untuk terjadi pasti terlaksana dan segala yang tidak Ia kehendaki pasti tidak akan terlaksana. Demikianlah ikrar yang senantiasa anda ucapkan melalui bacaan:
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Tiada upaya dan tiada daya selain atas karunia Allah.”
Keimanan ini sudah sepantasnya untuk menyertai setiap aktifitas kita selama hidup di dunia ini. Betapa tidak, kita hidup dalam kerajaan Allah dan kekuasaan-Nya, sehingga tidak mungkin kita kuasa untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Oleh karena itu, diantara doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah:
اللَهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً
“Ya Allah, tiada kemudahan selain yang Engkau jadikan mudah, dan Engkau berkuasa untuk menjadikan yang kesusahan menjadi mudah.”
Saudaraku, bila keimanan ini telah menyatu dengan denyut nadi kita, maka tentu kitapun senantiasa merasa butuh kepada pertolongan Allah Ta’ala. Kalaulah bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya segala urusan kita menjadi susah.
Inilah yang mendasari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan kepada umatnya agar memohon pertolongan kepada Allah dalam upayanya melunasi tanggungan utangnya:
أَتَى عَلِيًّا رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّى عَجَزْتُ عَنْ مُكَاتَبَتِى فَأَعِنِّى. فَقَالَ عَلِىٌّ أَلاَ أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ صِيرٍ دَنَانِيرَ لأَدَّاهُ اللَّهُ عَنْكَ؟ قُلِ: اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ رواه أحمد والترمذي وحسنه الألباني
Pada suatu hari seorang budak laki-laki mendatangi sahabat Ali bin Abi Thalib, lalu ia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya aku merasa keberatan untuk membayar tebusan diriku, makanya aku mohon bantuan kepadamu.” Mendengar keluhan ini sahabat Ali berkata kepadanya: “Sudikah engkau aku ajari bacaan doa yang pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, yang dengan doa ini, andai engkau menanggung piutang sebesar gunung Shiir niscaya Allah akan memudahkanmu untuk melunasinya. Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah, limpahkanlah kecukupan kepada kami dengan rizqi-Mu yang halal dari memakan harta yang Engkau haramkan, dan cukupkanlah kami dengan kemurahan-Mu dari mengharapkan uluran tangan selain-Mu.” (Riwayat Ahmad, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Al Albani)
Demikianlah etika seorang muslim yang benar-benar mencerminkan keimanan dan ketakwaannya; bijak dalam membelanjakan hartanya, menghormati hak saudaranya, membalas uluran tangan saudaranya dengan yang serupa atau lebih baik, dan bertawakkal seerta memohon bantuan kepada Allah Ta’ala.
Inilah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan mohon maaf bila ada khilaf dan kesalahan, wallahu a’alam bisshowab.
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين. والله أعلم بالصَّواب، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, Israfil, Dzat Yang telah Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui hal yang gaib dan yang nampak, Engkau mengadili antara hamba-hambamu dalam segala yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami –atas izin-Mu- kepada kebenaran dalam setiap hal yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau-lah Yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki menuju kepada jalan yang lurus. Shalawat dan salam dari Allah semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Dan Allah-lah Yang Lebih Mengetahui kebenaran, dan akhir dari setiap doa kami adalah: “Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam.” Amin.
Footnotes:
[1] Ucapan Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334)
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com
***
Bagian pertama dari artikel ini dapat Anda baca pada link ini: Bersikap Baik dalam Utang Piutang (bag. 1)