Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Fikih Pengusaha Muslim, Muamalah

Utang Sejuta Dibayar Sejuta saat Nilai Inflasi Tinggi adalah Kezaliman

inflasi

السؤال

أود الاستفسار عن كيفية رد الحقوق إلى أصحابها بعد تغير الأسعار ونزول قيمة العملة . فهل ترد الديون والمسروقات بنفس قدرها وقت الدين أو السرقة أم بحسب قيمتها الآن ؟ لأن قيمة العملة تغيرت كثيرا ، يعني مثلا :أن 100 دينار في عام 1970 ، تساوي 1000 دينار الآن.

Pertanyaan:

Saya ingin menanyakan bagaimana cara mengembalikan hak kepada pemiliknya setelah terjadi perubahan harga dan turunnya nilai mata uang. Haruskah utang dan barang curian dikembalikan dengan nilai yang sama pada saat terjadinya utang piutang atau pencurian tersebut, ataukah dikembalikan sesuai dengan nilainya sekarang? Karena nilai mata uang sudah berubah secara signifikan, contoh: 100 dinar pada tahun 1970 sama dengan 1000 dinar pada zaman sekarang.

الجواب

الحمد لله.

أولاً :

إذا كان الدَّين الثابت في الذمَّة من الأشياء العينية التي لها قيمة ذاتية ولها ما يماثلها ، كالأشياء التي تُقدَّر بالكيل أو الوزن ، والذهب والفضة : فالذي عليه عامة العلماء وجوب رد المثل دون نظرٍ لتغير القيمة والسعر بين يوم الدين ويوم السداد .

قال ابن قدامة : ” الْمُسْتَقْرِض يَرُدُّ الْمِثْلَ فِي الْمِثْلِيَّاتِ ، سَوَاءٌ رَخُصَ سِعْرُهُ أَوْ غَلَا ، أَوْ كَانَ بِحَالِهِ” انتهى من ” المغني” (6/441) .

وقال : ” وَيَجِبُ رَدُّ الْمِثْلِ فِي الْمَكِيلِ وَالْمَوْزُونِ ، لَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا ” انتهى من ” المغني” (6/434).

Jawaban:

Alhamdulillah. Pertama, jika pinjaman yang melekat dalam tanggungan seseorang adalah sesuatu yang mempunyai nilai intrinsik dan ada yang semisal (sama) dengannya, misalnya sesuatu yang bisa ditakar atau ditimbang, atau emas dan perak, maka yang menjadi pendapat seluruh ulama adalah wajibnya mengembalikan pinjaman yang semisal tanpa mempedulikan perubahan nilai atau harga antara hari saat meminjam dengan hari saat pelunasan. 

Ibnu Qudamah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa debitur (peminjam) harus mengembalikan sesuatu yang serupa dalam sifat-sifatnya, baik harganya sedang murah atau mahal, atau saat harganya sama. Selesai kutipan dari al-Mughni (6/441). Beliau juga berkata, “Wajib mengembalikan yang serupa dalam takaran dan timbangan. 

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu. Selesai kutipan dari al-Mughni (6/434).

وكذلك الحكم فيما يتعلق بالأعيان المسروقة والمغصوبة ، فإنَّه يرد مثلها دون اعتبار لتغيُّر الأسعار عند جمهور العلماء.

وذهب الإمام أبو ثور والإمام أحمد في رواية اختارها شيخ الإسلام ابن تيمية : أن الواجب على الغاصب في حال رخص السعر : ضمان نقص السعر .

جاء في “الموسوعة الفقهية” (25/10) : ” ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْغَاصِبِ ضَمَانُ نَقْصِ قِيمَةِ الْعَيْنِ بِسَبَبِ تَغَيُّرِ الأْسْعَارِ.

وَحُكِيَ عَنْ أَبِي ثَوْرٍ أَنَّهُ يَضْمَنُ النَّقْصَ ؛ لأِنَّهُ يَضْمَنُ النَّقْصَ إِذَا تَلِفَتِ الْعَيْنُ الْمَغْصُوبَةُ ، فَكَذَلِكَ يَضْمَنُهُ إِذَا رَدَّ الْعَيْنَ الْمَغْصُوبَةَ بَعْدَمَا نَقَصَ سِعْرُهَا” انتهى

Begitu pula dengan hukum barang-barang yang dicuri atau dirampas, harus dikembalikan yang semisalnya tanpa mempedulikan perubahan harga, menurut mayoritas ulama. Imam Abu Tsaur dan Imam Ahmad —Semoga Allah Merahmati mereka— mengatakan dalam salah satu riwayatnya, yang juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— bahwa saat harga sedang turun, orang yang mencuri wajib menanggung berkurangnya harga tersebut. 

Disebutkan dalam al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (25/10) bahwa mayoritas ahli fikih berpandangan bahwa perampas tidak wajib mengganti rugi atas turunnya nilai harta benda akibat perubahan harga. Diriwayatkan dari Abu Tsaur bahwa dia harus memberi ganti rugi, karena dia memberi ganti rugi jika barang yang dirampas itu rusak, begitu pula dia harus memberi ganti rugi jika dia mengembalikan barang yang dirampas itu setelah harganya turun. Selesai kutipan.

وقال المرداوي : ” وَإِنْ نَقَصَتْ قِيمَةُ الْعَيْنِ ؛ لِتَغَيُّرِ الْأَسْعَارِ : لَمْ يَضْمَنْ [ أي الغاصب] ، نَصَّ عَلَيْهِ ، وَهُوَ الْمَذْهَبُ ، وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ.

وعَنْهُ [ يعني : الإمام أحمد] : يَضْمَنُ ، اخْتَارَهُ ابْنُ أَبِي مُوسَى ، وَالشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ ابن تيمية رَحِمَهُ اللَّهُ ” انتهى من “الإنصاف” (6/ 155)

وقال الشيخ ابن عثيمين : ” والصواب أن ما نقص بالسعر فهو مضمون ؛ وذلك لأن هذه السلعة كانت تساوي خمسين ألفاً ، والآن لا تساوي إلا أربعين ، فهو قد حال بين صاحبها وبين هذه الزيادة ، فيلزمه النقص … فالصواب أن ما نقص بالسعر فهو مضمون كالذي ينقص بالعين أو الوصف ، وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله “. انتهى من “تعليقات ابن عثيمين على الكافي” (5/343، بترقيم الشاملة آليا).

Al-Mardawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika nilai suatu benda berkurang karena terjadi perubahan harga, maka dia (si perampas) tidak bertanggung jawab. Hal ini yang beliau katakan dan menjadi pendapat yang dikukuhkan dalam mazhab ini, serta menjadi pendapat mayoritas sahabat-sahabat kami. 

Ada juga riwayat dari beliau (yakni Imam Ahmad) bahwa dia bertanggung jawab. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Abi Musa dan syekh Taqiyudin Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmati mereka—. Selesai kutipan dari al-Inshāf (6/155). 

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Yang benar bahwa dia menanggung penurunan harga yang terjadi, karena barang itu yang tadinya bernilai lima puluh ribu, dan sekarang hanya bernilai empat puluh ribu, sementara dia yang menghalangi pemiliknya dari kenaikan tersebut, maka dia wajib mengganti kerugian penurunan itu. Jadi, yang tepat bahwa dia menanggung penurunan harga yang terjadi, seperti orang yang telah mengurangi suatu benda atau sifatnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya—.” Selesai kutipan dari Taʿlīqāt Ibni ʿUtsaimīn ʿalā al-Kāfī (5/343 dengan nomor otomatis Maktabah Syamilah).

ثانياً :

أما إذا كان الدين الثابت في الذمة بإحدى العملات الورقية الجاري التعامل بها في هذا الزمن ، ثم نقص سعرها قبل السداد : فإذا كان النقص في قيمة العملة يسيراً لا يبلغ ثلث قيمة الدَّين ، فالواجب رد مثل النقود التي أخذها عدداً ، دون زيادة ولا نقصان .

وتعد هذه الحال مندرجةً تحت “قرار مجمع الفقه الإسلامي” رقم: (42) ، ( 4/5) : ” العبرة في وفاء الديون الثابتة بعملة ما هي بالمثل وليس بالقيمة ؛ لأن الديون تقضى بأمثالها ، فلا يجوز ربط الديون الثابتة في الذمة أيا كان مصدرها بمستوى الأسعار ” . انتهى

Kedua, jika pinjaman yang melekat dalam tanggungan seseorang adalah dengan salah satu mata uang kertas yang dipakai dalam transaksi di zaman sekarang ini, lalu harganya turun sebelum pembayaran dilakukan, maka jika penurunan nilai mata uang tersebut kecil dan tidak mencapai sepertiga dari nilai utangnya, maka harus dikembalikan dengan uang yang serupa dan sama jumlahnya dengan yang diterimanya, tanpa boleh ada penambahan atau pengurangan. 

Masalah ini termasuk turunan dari keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Islāmī (Akademi Fikih Islam Internasional) nomor (42) (4/5) bahwa standar dalam pembayaran utang yang telah terjadi adalah dengan mata uang yang serupa, bukan dengan nilainya, karena utang diharuskan dibayar dengan yang semisal, maka tidak diperbolehkan menghubungkan utang yang telah menjadi tanggung jawab seseorang dengan nilai tukar mata uang, apapun asal mata uangnya. Selesai kutipan.

ثالثاً :

وأما إذا كان التغير في قيمة العملة كثيراً ، فقد اختلف العلماء المعاصرون في الواجب سداده على المدين في حال انخفاض قيمة العملة انخفاضاً شديداً ، هل يرد المثل أم القيمة ؟.

وسبب الخلاف : أن النقود الورقية والعملات الجاري التعامل بها في هذا الزمن ليس لها قيمة ذاتية ، وإنما تكتسب قيمتها الاعتبارية من تعامل الناس بها واعتراف الدول والتزامهم بقبولها .

وقد بحث “مجمع الفقه الإسلامي” هذه المسألة في أكثر من دورة ( الثالثة ، والخامسة ، والثامنة ، والتاسعة ، والثانية عشرة) ، وكانت مجمل الآراء في المسألة ترجع إلى ثلاثة أقوال :

Ketiga, jika perubahan nilai mata uang tersebut signifikan, para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai apa yang menjadi kewajiban peminjam saat terjadi penurunan nilai mata uang yang parah. 

Apakah dia mengembalikan dengan yang semisal atau dikembalikan nilainya? 

Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan uang kertas dan mata uang yang digunakan untuk transaksi di era sekarang tidak mempunyai nilai intrinsik, melainkan berdasarkan nilai ekstrinsik yang diperoleh dari transaksi masyarakat yang berinteraksi dengan uang tersebut, pengakuan negara, dan keharusan menerima sebagai mata uang. Akademi Fiqih Islam Dunia telah membahas masalah ini dalam banyak sidangnya, (sidang yang ketiga, kelima, kedelapan, kesembilan, dan kedua belas), yang mana secara umum pendapat-pendapat mengenai masalah ini terbagi menjadi tiga pendapat:

الأول : التمسك بالأصل من وجوب رد المثل ، مهما كان حجم الانخفاض في قيمة العملة ما دام التعامل بهذه العملة جارياً بين الناس .

وقد اختار هذا القول كثير من العلماء المعاصرين ، منهم : الشيخ ابن باز ، والشيخ ابن عثيمين ، والشيخ الصديق محمد الأمين الضرير ، والشيخ علي السالوس ، وعليه فتوى اللجنة الدائمة.

قال علماء اللجنة الدائمة للإفتاء : “يجب على المقترض أن يدفع الجنيهات التي اقترضها وقت طلب صاحبها ، ولا أثر لاختلاف القيمة الشرائية ، زادت أو نقصت” انتهى من ” فتاوى اللجنة الدائمة ” (14/146) .

  • Pendapat pertama, berpegang dengan prinsip dasar wajibnya mengembalikan dengan yang semisal, terlepas dari sebesar apa pun penurunan nilai mata uang tersebut, selama mata uang tersebut masih dipakai transaksi oleh masyarakat. Pendapat ini banyak dipilih oleh para ulama kontemporer, di antara mereka adalah syekh Bin Baz, syekh Ibnu Utsaimin, syekh ash-Shiddiq Muhammad al-Amin aḏ-Ḏarīr, dan Syekh Ali as-Salus, dan ini pula yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Dāʾimah (Komite Tetap Bidang Fatwa Kerajaan Arab Saudi). Al-Lajnah ad-Dāʾimah mengeluarkan fatwa bahwa yang meminjam harus mengembalikan uang yang dipinjamnya pada saat diminta oleh pemiliknya. Tidak ada pengaruh dalam perbedaan harganya, baik bertambah atau berkurang. Selesai kutipan dari Fatāwā al-Lajnah ad-Dāʾimah (14/146).

وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله تعالى: ” إذا كانت الفلوس قد ألغيت واستبدلت بعملة أخرى : فله أن يطالب بقيمتها في ذلك الوقت أو بقيمتها حين ألغيت ، وأما إذا بقيت العملة على ما هي عليه فليس للمُقرض إلا هذه العملة سواء زادت أم نقصت … [ كما] لو أقرضه صاعاً من البر قبل سنوات وكان الصاع يساوي خمسة ريالات ثم نزل إلى ريالين مثلاً ، فهل يقول أعطه الصاع وأعطه ثلاثة ريالات ، لا ليس له إلا الصاع ، فالأشياء المثلية لا يلزم فيها إلا رد المثل، وكذلك النقود ما لم تلغ المعاملة بها” انتهى من “لقاء الباب المفتوح” (72/9، بترقيم الشاملة آليا) .

Syekh Ibnu Utsaimin —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika uang sudah tidak berlaku dan diganti dengan mata uang lain, maka dia berhak meminta nilainya pada saat itu atau pada saat uang itu tidak berlaku lagi. Adapun jika mata uangnya masih berlaku sebagaimana sebelumnya, maka si pemberi pinjaman tidak berhak menerima apa pun selain mata uang tersebut, baik nilainya bertambah atau berkurang. … (Demikian pula) jika dia meminjami satu Ṣhaʿ gandum bertahun-tahun yang lalu saat satu Ṣhaʿ sama dengan lima riyal, lalu turun harganya menjadi dua riyal, misalnya, lantas apakah dikatakan bahwa dia harus mengembalikannya satu Ṣhaʿ ditambah tiga riyal? Tidak, dia hanya berhak menerima satu Ṣhaʿ itu saja. Sesuatu yang semisal, tidak dikembalikan kecuali yang semisal juga. Hukum yang sama berlaku untuk uang, kecuali jika uangnya tidak berlaku lagi untuk bertransaksi. Selesai kutipan akhir dari Liqāʾ Bāb al-Maftūẖ (72/9, dengan nomor otomatis Maktabah Syamilah).

القول الثاني : وجوب رد قيمة العملة وقت نشوء الالتزام [أي : وقت أخذ الدين] ( إما من خلال مراعاة القوة الشرائية للنقود ، أو مراعاة قيمة النقود بالذهب وقت الدين).

وقال بهذا القول كثير من العلماء والباحثين المعاصرين ، ومنهم : الشيخ الألباني ، والشيخ مصطفى الزرقا ، والشيخ عبد الله البسام ، والشيخ محمد سليمان الأشقر ، والشيخ عبد الرحمن البراك ، والشيخ محمد المختار السلامي ، والشيخ علي القرة داغي ، والشيخ وهبة الزحيلي .

ينظر : ” مجلة مجمع الفقه الإسلامي” الأعداد ( 3 ، 5، 8، 9 ، 12) .

  • Pendapat kedua, wajibnya mengembalikan nilai mata uang tersebut pada saat tetapnya tanggung jawab tersebut (yakni pada saat terjadi akad utang piutang), baik dengan memperhitungkan harga beli uang tersebut atau mempertimbangkan nilai uangnya dalam emas pada saat utang terjadi. Banyak ulama dan peneliti kontemporer memilih pendapat ini, antara lain: Syekh al-Albani, Syekh Mustafa az-Zarqa, Syekh Abdullah al-Bassam, Syekh Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Syekh Abdul Rahman al-Barrak, Syekh Muhammad al-Mukhtar as-Salami, Syekh Ali al-Qarrah Daghi, dan syekh Wahbah az-Zuhaili. Lihat Jurnal Majmaʿ al-Fiqhi al-Islāmī edisi III, VI. VIII, IX, dan XII.

قال الشيخ الألباني رحمه الله تعالى : “لو أنك أقرضتني مائة دينار قبل سنة ، واليوم المائة دينار تساوي خمسين دينارا ، الخمسون دينارا لا يشتري ما كنت أشتريه بالمائة دينار اليوم ، من القمح والشعير واللبن والأشياء الضرورية من ضروريات الحياة ، فضلاً عن غيرها ، فلا يجوز لي أن أكون شكلياً ظاهرياً ، فأوفيك مائة دينار ، وأقول لك : يا أخي أنا هذا الذي استقرضته منك ، وهذا هو أنقده لك نقدا”.

وقال : ” وإنما يرد له الدينار بقوته الشرائية يوم استقرضه “. انتهى من ” سلسلة الهدى والنور” شريط رقم (285) ما بعد الدقيقة (57) .

Syekh al-Albani —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa jika Anda meminjamkan kepada saya seratus dinar setahun yang lalu, dan hari ini seratus dinar bernilai lima puluh dinar, di mana lima puluh dinar ini tidak akan bisa dipakai untuk membeli apa yang biasa saya beli dengan seratus dinar pada hari ini, seperti untuk beli gandum, jelai, susu, dan kebutuhan primer lainnya, apalagi kebutuhan selain itu, maka tidak mungkin saya bersikap kaku dan tekstual. Saya akan membayar kepada Anda seratus dinar dan berkata kepada Anda, “Wahai saudaraku, ini yang aku pinjam darimu dan ini tambahan tunai dariku untukmu.” Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— juga berkata, “Dinar itu dikembalikan kepadanya berdasarkan harga beli mata uang itu pada hari dia meminjamnya.” Selesai dari kaset Silsilah al-Hudā wa an-Nūr No. (285) setelah Menit (57).

القول ‌الثالث: أن يؤخذ في مثل هذه الحالات بمبدأ الصلح الواجب ، بعد تقدير أضرار الطرفين (الدائن والمدين) ، أي : يتم التراضي بينهما على مبلغ يدفعه المدين .

ومن توصيات “الندوة الفقهية الاقتصادية لدراسة قضايا التضخم” التي عقدها مجمع الفقه الإسلامي بجدة بالتعاون مع مصرف فيصل الإسلامي بالبحرين في عام (1420 هـ ، 1999م) :

” إن كان التضخم عند التعاقد غير متوقع الحدوث وحدث، فإما أن يكون وقت السداد كثيرًا أو يسيرًا ، وضابط التضخم الكثير أن يبلغ ثلث مقدار الدين الآجل :

  • Pendapat ketiga menyatakan bahwa dalam keadaan seperti ini harus ditempuh jalur mediasi (aṣh-Ṣhulẖ), setelah memperkirakan kerugian kedua belah pihak (kreditur dan debitur). Artinya, dibuat kesepakatan atas dasar saling rela mengenai jumlah yang dibayar oleh debitur. Di antara rekomendasi dalam Simposium Fikih Ekonomi untuk Kajian Masalah Inflasi, yang diselenggarakan oleh Akademi Fikih Islam di Jeddah bekerjasama dengan Faisal Islamic Bank di Bahrain pada tahun (1420 H atau 1999 M) adalah jika inflasi pada saat terjadi akad tidaklah terprediksi dan ternyata terjadi, maka inflasi yang terjadi saat jatuh tempo bisa jadi tinggi dan rendah. Standar inflasi tinggi adalah jika nilainya mencapai sepertiga dari jumlah utang yang telah ditetapkan jatuh temponya.

1- إذا كان التضخم يسيرًا فإنه لا يعتبر مسوغًا لتعديل الديون الآجلة ؛ لأن الأصل وفاء الديون بأمثالها ، واليسير في نظائر ذلك من الجهالة أو الغرر أو الغَبْن مغتفر شرعًا .

2- وإذا كان التضخم كثيرًا ، فإن وفاء الدين الآجل حينئذ بالمثل ( صورةً ) يُلحق ضررًا كثيرًا بالدائن يجب رفعه ، تطبيقًا للقاعدة الكلية ( الضرر يزال ) .

والحل لمعالجة ذلك هو اللجوء إلى : الصلح .

وذلك باتفاق الطرفين على توزيع الفرق الناشئ عن التضخم بين المدين والدائن بأي نسبةٍ يتراضيان عليها ” انتهى من ” مجلة مجمع الفقه الإسلامي” (12/4/286) بتصرف يسير .

  1. Jika inflasi rendah, maka itu tidak bisa dijadikan dasar untuk mengakomodasi utang yang telah jatuh tempo, karena prinsip dasarnya adalah melunasi hutang dengan yang semisal. Inflasi rendah ini serupa dengan adanya sedikit Jahālah (ketidaktahuan), Gharar (ketidakpastian), atau Ghaban (Kekurangan) yang dimaafkan secara syariat.
  2. Jika inflasi tinggi, utang yang telah jatuh tempo jika dibayar dengan sesuatu yang sama akan menimbulkan kerugian besar bagi kreditur, sehingga kerugian itu harus dihilangkan, dalam rangka menerapkan kaidah umum, “aḏ-Ḏararu Yuzāl (Bahaya/Kerugian harus dihilangkan)”.

Solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan mediasi. Hal itu dilakukan dengan cara kedua belah pihak bersepakat untuk membagi selisih yang timbul di antara debitur dan kreditur karena inflasi tersebut, berapa pun persentasenya asalkan atas dasar saling rela. Selesai kutipan dari Jurnal Akademi Fikih Islam (12/4/286) dengan sedikit penyesuaian.

والذي يظهر – والله أعلم – أن أقرب الأقوال في هذه المسألة هو القول بوجوب رد القيمة أو الصلح بين الطرفين إذا كان التغير كثيراً يصل إلى الثلث .

وتم اعتماد الثلث فاصلاً بين اليسير والكثير ؛ لأن الشرع اعتبره في كثير من المسائل حداً فارقاً بين القلَّة والكثرة .

قال ابن قدامة : ” وَالثُّلُثُ قَدْ رَأَيْنَا الشَّرْعَ اعْتَبَرَهُ فِي مَوَاضِعَ : مِنْهَا ؛ الْوَصِيَّةُ ، وَعَطَايَا الْمَرِيضِ ، وَتَسَاوِي جِرَاحِ الْمَرْأَةِ جِرَاحَ الرَّجُلِ إلَى الثُّلُثِ.

قَالَ الْأَثْرَمُ : قَالَ أَحْمَدُ : إنَّهُمْ يَسْتَعْمِلُونَ الثُّلُثَ فِي سَبْعَ عَشَرَةَ مَسْأَلَةً .

وَلِأَنَّ الثُّلُثَ فِي حَدِّ الْكَثْرَةِ ، وَمَا دُونَهُ فِي حَدِّ الْقِلَّةِ ، بِدَلِيلِ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْوَصِيَّةِ : (الثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ) ، فَيَدُلُّ هَذَا عَلَى أَنَّهُ آخِرُ حَدِّ الْكَثْرَةِ ، فَلِهَذَا قُدِّرَ بِهِ ” انتهى من ” المغني” (6/179) .

Pendapat yang lebih tepat —Allāhuaʿlam— dari pendapat-pendapat yang ada mengenai persoalan ini adalah pendapat yang menyatakan wajibnya mengembalikan nilainya atau mediasi antara kedua belah pihak, jika memang inflasinya tinggi mencapai sepertiga (jumlah utang). Penggunaan patokan ‘sepertiga’ untuk membedakan antara inflasi rendah dan tinggi adalah karena syariat ini juga menggunakan patokan ini sebagai pembedaan antara sesuatu yang sedikit dan yang banyak dalam banyak masalah. 

Ibnu Qudamah berkata, “Kami memperhatikan bahwa syariat menjadikan sepertiga sebagai patokan dalam banyak masalah, di antaranya masalah wasiat, hadiah orang yang sakit parah, dan denda atas luka seorang wanita yang setara dengan sepertiga denda atas luka seorang laki-laki.” 

Al-Atsram berkata bahwa Ahmad berkata, “Mereka menggunakan patokan sepertiga dalam tujuh belas permasalahan.” Hal ini karena sepertiga itu dianggap batasan banyak, dan yang kurang dari itu dianggap batasan sedikit, dengan dalil sabda Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tentang wasiat, “Sepertiga, karena sepertiga sudah banyak.” Ini menunjukkan bahwa sepertiga adalah batasan banyak, oleh karena itu dijadikan patokan. Selesai kutipan dari al-Mughni (6/179).

رابعاً :

القول برد القيمة أو الصلح بين الطرفين لتوزيع الأضرار يتوافق مع عمومات النصوص الشرعية الآمرة بالعدل والإنصاف ، ورفع الضرر ، والنهي عن الظلم .

وأما القول برد المثل مع وجود التغير الكبير في قيمة العملة فيشكل عليه :

1= أن فيه ضرراً على الدائن ، ويخالف مقتضى العدل وما جاءت به الشريعة من دفع الضرر ورفعه .

2= أن فيه مراعاة للصورة الظاهرة الشكلية للنقود ، دون اعتبار للمعنى الحقيقي لها ، فالمثلية الحقيقية لا تتحقق في هذه النقود إلا بتماثل قوتها الشرائية ، وهذا متعذر في حال تغير قيمة العملة تغيراً كثيراً .

Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa pinjaman harus dikembalikan nilainya atau harus ada mediasi antara kedua belah pihak untuk membagi kerugian selaras dengan keumuman teks-teks syariat yang memerintahkan keadilan dan moderasi, menghilangkan kerugian, dan melarang ketidakadilan. Adapun pendapat yang menyatakan harus dikembalikan dengan nominal yang sama padahal terjadi perubahan nilai mata uang yang besar memiliki beberapa masalah:

  1. Menimbulkan kerugian bagi pemberi pinjaman, melanggar perintah untuk menegakkan keadilan dan prinsip yang ada dalam syariat bahwa kerugian harus dicegah dan dihilangkan.
  2. Pendapat ini berpegang dengan nilai ekstrinsik yang ada pada mata uang, tanpa memperhatikan esensi yang sebenarnya dalam uang itu. Kesamaan yang sebenarnya dalam mata uang tidak dapat terpenuhi kecuali dengan menyamakan nilai belinya, yang mana ini mustahil terwujud jika nilainya mata uangnya berubah sangat drastis.

قال شيخ الإسلام ابن تيمية في شرح المحرر : ” إذا أقرضه أو غصبه طعاماً ، فنقصت قيمته فهو نقص النوع ، فلا يجبر على أخذه ناقصاً فيرجع إلى القيمة ، وهذا هو العدل ، فإن المالين إنما يتماثلان إذا استوت قيمتهما ، وأما مع اختلاف القيمة : فلا تماثل “. انتهى ، نقله عنه البهوتي في “المنح الشافيات” صـ 443 .

وقال الشيخ عبد الله بن عبد الرحمن أبا بُطَيْن مفتى الديار النجدية في عهده : ” وأما رخص السعر، فكلام الشيخ صريح في أنه يوجب رد القيمة أيضاً ; وهو أقوى ، فإذا رُفع إلينا مثل ذلك ، وسطنا بالصلح بحسب الإمكان ” انتهى من ” الدرر السنية ” (6/206)..

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata dalam Syarah al-Muharrar bahwa jika seseorang meminjamkan atau merampas makanan dari seseorang, lalu harganya turun, maka itu adalah penurunan mutu, maka dia tidak boleh dipaksa untuk menerima yang telah berkurang itu dan harus dikembalikan sesuai nilainya. Inilah keadilan, karena dua harta dianggap sama jika sama nilainya. Adapun jika nilainya berbeda, maka itu tidak ada kesamaan.” Selesai kutipan. 

Pendapat ini dinukil oleh al-Bahuti dalam al-Minaẖ asy-Syafiyāt halaman 443. Syekh Abdullah bin Abdurrahman Abu Buthain, Mufti negeri Najed di zamannya mengatakan, “Mengenai penurunan harga, maka pendapat Syekh sudah jelas bahwa beliau mengharuskan pengembalian nilainya. Inilah pendapat yang lebih kuat. Jika ada kasus seperti ini disampaikan kepada kami, maka sebisa mungkin kami akan menengahinya dengan mediasi semaksimal mungkin.” Selesai kutipan dari ad-Durar as-Saniyyah (6/206).

وكذا قال الشيخ حسن بن حسين آل الشيخ عن قول شيخ الإسلام : “وهو المعتمد لدينا في الفتوى” انتهى من ” الدرر السنية” (7/212).

وقال الشيخ عبد الله البسام رحمه الله تعالى : ” واختار الشيخ تقي الدين وشمس الدين ابن القيم وبعض علماء الدعوة النجدية السلفية : أن النقد إذا غلا أو رخص أو كسد ، فإن للدائن القيمة كما لو حرَّمها ولي الأمر ، وألحق الشيخ تقي الدين سائر الديون بالقرض وتابعه كثير من الأصحاب” انتهى نقلا من ” مجلة مجمع الفقه الإسلامي” (9/2/443).

Demikian pula Syekh Hasan bin Husein Alu Syaikh —Semoga Allah Merahmatinya— berkata tentang perkataan Syaikhul Islam, “Inilah pendapat yang kami kukuhkan untuk menjadi sandaran fatwa.” Selesai kutipan dari ad-Durar as-Saniyah (7/212). 

Syekh Abdullah al-Bassam —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa syekh Taqiyudin, Syamsudin Ibnul Qayyim, dan sebagian ulama dakwah ber-manhaj Salaf negeri Najed —Semoga Allah Merahmati mereka— memilih pendapat yang menyatakan bahwa jika suatu mata uang naik atau turun drastis atau tidak laku lagi, maka si kreditur berhak mendapatkan nilainya, demikian juga kalau mata uang itu dilarang oleh penguasa. Syekh Taqiyudin mengadopsi hukum ini juga terhadap semua jenis pinjaman, yang juga diikuti oleh para sahabat-sahabatnya. Selesai kutipan dari Jurnal Akademi Fikih Islam Dunia (9/2/443).

وقال الشيخ عبد الرحمن البراك حفظه الله تعالى : ” أما إذا كسدت وبلغ من كسادها ما يكون سبباً في الإجحاف بمال المقرض ، فحينئذ لا يجزئ السداد بها ، بل يجب تقويمها يوم الإقراض ، فتجب معادلة الجنيه بالدولار يوم الاقتراض، وإيفاء القرض على هذا الأساس، أو الاصطلاح مع المقرض”.

3= لا يصح قياس العملات الورقية على ما ذكره العلماء من وجوب رد المثل في الذهب والفضة ؛ لأن الدنانير الذهبية والدراهم الفضية لا تبطل قيمتها بحال ، وقد ترخص بنسبة معينة لكنها لا تفقد قيمتها ، ولذا لا ضرر في ردها بالمثل ، بخلاف العملات الورقية فهي مجرد أوراق لا قيمة لها في ذاتها لولا اعتراف الدول بها .

Syekh Abdurrahman al-Barrak —Semoga Allah Menjaganya— mengatakan bahwa jika mata uang sudah tidak laku sedemikian rupa sehingga menyebabkan ketidakadilan terhadap si kreditur, maka saat itu dikembalikan nominal uangnya saja tidak cukup, melainkan harus disamakan nilainya dengan nilai pada hari peminjaman. Jadi, pound harus disamakan dengan nilai tukarnya terhadap dolar pada hari peminjaman. Pelunasan pinjaman harus didasarkan dengan cara ini atau diadakan mediasi dengan si kreditur.

  1. Tidak benar menyamakan masalah mata uang kertas dengan keharusan mengembalikan pinjaman emas dan perak dengan yang semisal yang telah disebutkan oleh para ulama, karena dinar emas dan dirham perak tidak kehilangan nilainya sampai sekarang. Terkadang memang turun beberapa persen tapi itu tidak menghilangkan nilainya, sehingga tidak jadi masalah jika dikembalikan dengan yang semisal, tidak seperti mata uang kertas, yang memang hanyalah kertas yang tidak mempunyai nilai jika tidak ada pengakuan dari negara. 

خامساً :

إذا كان الحق ثابتاً في الذمة بسبب غصبٍ أو سرقةٍ أو مماطلةٍ في أداء الدين ، فيتوجب القول برد القيمة ؛ لأن الغاصب والسارق والمماطل معتدٍ ، فيتحمل كامل الضرر الناتج عن اعتدائه .

فـ ” الغاصب يضمن الأوراق النقدية بقيمتها إذا طرأ تضخم نقدي أو زادت نسبته ، إذا كان تضخماً يَلْحق الأوراق النقدية فيه نقصٌ لا يتسامح الناس بالتغابن في مثله عادة “. انتهى من كتاب “التضخم النقدي” للشيخ خالد المصلح (صـ 222).

Kelima, apabila hak yang melekat pada tanggungan seseorang itu disebabkan oleh perampasan, pencurian, atau penundaan pembayaran utang, maka pendapat yang mengharuskan mengembalikan dengan nilainya wajib diterapkan, karena orang yang merampas, mencuri, dan menunda-nunda pelunasan adalah orang yang zalim, sehingga ia harus menanggung seluruh kerugian akibat kezalimannya. “Jadi, perampas harus memberi ganti rugi atas nilai uang kertas jika terjadi inflasi moneter atau semakin tinggi persentasenya, sampai pada level yang mengakibatkan uang kertas mengalami penurunan nilai yang secara umum masyarakat tidak mau menerima kerugian jika dikembalikan dengan yang semisal. Selesai kutipan dari at-Taḏhakhum an-Naqdī karya Syekh Khalid al-Mushlih (hlm. 222).

وأما إذا كان الحق الثابت في الذمة ناشئاً عن معاملة تراضى عليها الطرفان كالقرض الحسن ، وثمن المبيع ، والمهر المؤجل ، فيتأكد القول بوجوب المصالحة بين الطرفين ، بتوزيع الضرر عليهما بالنسبة التي يتراضيان عليها ؛ لأن المدين لا ذنب له في التغير الفاحش الذي طرأ على العملة .

ولأن الإلزام بدفع المثل فيه ضرر بيِّن على الدائن ، والإلزام بدفع القيمة فيه ضرر بيِّن على المدين ، والعدل يقتضي أن لا يُخص أحدهما بالضرر ، بل يتوزع الضرر عليهما بالصلح .

والصلح وإن كان في أصله مندوباً ليس واجباً ، لكن قد يَعرض له من العوارض ما يجعله واجباً متحتماً على كلا الطرفين .

قال ابن عرفة : ” وَهُوَ – أَيْ : الصُّلْحُ – مِنْ حَيْثُ ذَاتُهُ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ ، وَقَدْ يَعْرِضُ وُجُوبُهُ عِنْدَ تَعْيِينِ مَصْلَحَةٍ “. نقله عنه في “مواهب الجليل” (5/80).

Namun apabila hak yang melekat pada tanggungan seseorang itu ada karena suatu transaksi yang disepakati kedua belah pihak, misalnya pinjaman yang baik (tanpa riba), jual beli barang, atau mahar yang ditangguhkan, maka harus dikukuhkan pendapat yang menyatakan bahwa harus ada mediasi antara kedua belah pihak dengan membagi kerugian kepada masing-masing mereka sesuai dengan persentase yang mereka sepakati; karena si debitur tidak punya salah atas perubahan yang parah yang terjadi pada mata uang tersebut. Mengharuskan pelunasan utang dengan yang serupa jelas-jelas merugikan si kreditur, pun mengharuskan dilunasi dengan nilainya juga jelas-jelas merugikan si debitur, maka yang adil adalah tidak menimpakan kerugian itu pada satu pihak saja, melainkan dibagi-bagi kepada masing-masing mereka dengan mediasi. Mediasi ini pada asalnya hanya bersifat anjuran, bukan kewajiban. Namun mungkin saja ada suatu kondisi yang menjadikannya suatu kewajiban dan keharusan bagi kedua belah pihak. Ibnu Arafah berkata bahwa mediasi itu secara zatnya hanya anjuran, tetapi bisa jadi wajib jika ada maslahat tertentu. Hal ini dikutip darinya dalam Mawāhib al-Jalīl (5/80).

سادساً :

في الحال التي قيل فيها بوجوب السداد بحسب قيمة الدين يوم ثبوته في الذمة ، فالواجب أن يكون السداد بعملة أخرى درءاً للوقوع في صورة الربا من سداد القرض بأكثر منه عدداً من جنسه.

قال المرداوي : ” قَوْلُهُ ( فَيَكُونُ لَهُ الْقِيمَةُ ) اعْلَمْ أَنَّهُ إذَا كَانَ مِمَّا يَجْرِي فِيهِ رِبَا الْفَضْلِ ، فَإِنَّهُ يُعْطِي مِمَّا لَا يَجْرِي فِيهِ الرِّبَا ، فَلَوْ أَقْرَضَهُ دَرَاهِمَ مُكَسَّرَةً [ أي من الفضة ] ، فَحَرَّمَهَا السُّلْطَانُ : أَعْطَى قِيمَتَهَا ذَهَبًا ، وَعَكْسُهُ بِعَكْسِهِ.

صَرَّحَ بِهِ فِي الْإِرْشَادِ، وَالْمُبْهِجِ ، وَهُوَ وَاضِحٌ.

Keenam, dalam keadaan di mana pelunasan harus dilakukan sesuai dengan nilai utang pada hari transaksi itu terjadi, maka pelunasan itu harus menggunakan mata uang lain agar tidak terjerumus ke dalam bentuk riba dengan melunasi utang tersebut dengan jenis yang sama dengan jumlah yang lebih banyak. Al-Mardawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa perkataan beliau “dia berhak mendapatkan nilainya, …” maka ketahuilah jika utang itu berupa komoditas yang berlaku padanya riba Faḏhl (riba karena ada tambahan saat pelunasan, pent.), maka dia diberi dengan sesuatu yang lain agar tidak terjadi riba. Jika seseorang meminjamkan pecahan dirham (dari perak), lalu penguasa melarangnya, maka dia diberi nilainya dengan emas, demikian pula sebaliknya. Beliau menyatakan ini dalam kitab al-Irsyād dan al-Mubhij, dan ini jelas.

قَالَ فِي الْفُرُوعِ: فَلَهُ الْقِيمَةُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ “. انتهى من “الإنصاف” (5/127).

وقال البهوتي : ” وله الطلب بقيمة ذلك يوم القرض ، وتكون من غير جنس النقد إن أفضى إلى ربا الفضل ، فإذا كان دراهم أعطى عنها دنانير ، وبالعكس ؛ لئلا يؤدي إلى الربا “. انتهى من ” المنح الشافيات بشرح مفردات الإمام أحمد” (1/439).

Beliau berkata dalam al-Furūʿ bahwa dia (kreditur) berhak mendapatkan nilainya dengan yang berbeda jenisnya. Selesai kutipan dari al-Inshaf (5/127). Al-Bahuti berkata bahwa dia (kreditur) berhak menuntut nilainya sesuai nilainya pada hari peminjaman, tapi harus dengan uang yang berbeda jenisnya jika menyebabkan riba Faḏhl. Jika pinjamannya berupa dirham, maka diberikan kepadanya dinar, begitu pun sebaliknya, agar tidak terjadi riba. Selesai kutipan dari al-Minaẖ asy-Syāfiyāt bi Syarẖ Mufradāt Imām Aẖmad (1/439).

والحاصل :

أن الواجب على الغاصب والسارق رد العملة بحسب قيمتها يوم الغصب والسرقة ، وإن كان المسروق من الأشياء العينية فإنه يضمن ما طرأ عليها من نقص في السعر.

وأما الديون الأخرى ، فيفرق فيها بين التغير اليسير والتغير الكثير في قيمة العملة : فإن كان التغير يسيراً لا يصل إلى ثلث الدين : فالواجب رد المثل ، ولا ينظر إلى القيمة .

Kesimpulannya, bahwa wajib bagi perampas dan pencuri untuk mengembalikan uang sesuai nilainya pada hari dia melakukan perampasan dan pencurian. Jika barang yang dicuri itu adalah barang tertentu, maka ia bertanggung jawab atas segala penurunan harga yang terjadi padanya. Adapun tanggungan utang piutang yang lain, maka harus dibedakan antara perubahan yang sedikit atau banyak dalam nilai mata uangnya. Jika perubahannya hanya sedikit, yang tidak mencapai sepertiga dari utangnya, maka wajib dikembalikan yang dengan yang sama, tanpa melihat nilainya.

وأما إذا كان التغير كثيراً يصل إلى الثلث فأكثر : فالواجب الصلح بينهما بتوزيع الضرر على الطرفين .

وفي حال الرجوع للقيمة : يتم تقديرها بحسب سعر الذهب وقت الدين أو بحسب قوة النقد الشرائية في ذلك الوقت ، ويكون السداد بعملة مختلفة عن العملة التي تم بها القرض .

وينظر للفائدة جواب السؤال (99642) .

والله أعلم

Adapun jika perubahannya signifikan, yang mencapai sepertiga nilai utang atau lebih, maka harus ada mediasi dengan membagi kerugian kepada kedua belah pihak. Berkenaan dengan patokan nilainya, maka diperkirakan dengan harga emas pada saat berutang atau menurut harga beli uang tersebut pada saat itu, dan pelunasannya harus dilakukan dalam mata uang yang berbeda dengan mata uang yang dipakai saat utang piutang dilakukan. Untuk faedah tambahan, silakan lihat jawaban pertanyaan nomor 99642. Allah Yang lebih Mengetahui.

Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/220839/هل-يرد-الدين-والمسروقات-بمثلها-يوم-الدين-ام-بقيمتها-اليوم

PDF sumber artikel.

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28