Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Sebelumnya, saya mohon maaf jika ada penyampaian saya yang kurang berkenan.
Ustadz, beberapa tahun lalu saya ikut asuransi untuk pendidikan anak saya. Alhamdulillah beberapa tahun kemudian saya mulai mengerti kalau itu salah. Sementara, polis asuransinya tidak boleh diklaim sebelum waktunya, atau bisa dijual tapi menunggu kalau ada yang mau membeli. Akhirnya saya memutuskan untuk meminjam uang asuransi dengan pengembalian bunga, yang lewat bunga tersebut saya maksudkan sebagai tabungan juga, agar jika kelak polis tersebut habis waktunya yang saya ambil adalah uang saya sendiri, dan bukan uang hasil pembungaan uang yang riba.
Sekarang saya sudah berpindah tempat tinggal. Di kota tempat tinggal saya yang baru, pihak kantor asuransi menyatakan bahwa ternyata polis bisa saya klaim, namun sesuai dengan harga yang tertera di balik polis. Jika saya klaim sekarang, jumlah uang yang saya terima masih jauh dari yang saya tabungkan.
Maaf, Ustadz. Sejak saya menyadari tentang asuransi ini, akhirnya saya meniatkan jika membayar preminya, saya niatkan untuk menabung. Bagaimana sebaiknya yang harus saya lakukan? Apakah saya melakukan klaim sekarang atau tetap menunggu sampai harga polis sesuai dengan uang yang saya setorkan? Hati saya menjadi tidak tenteram. Kalau saya klaim sekarang, berarti selama ini saya membayar bunga/riba atas pinjaman yang saya niatkan untuk mengganti riba yang kelak saya terima. Akan tetapi, kalau tidak saya klaim sekarang, hati saya pun juga tidak tenteram karena uang yang saya setorkan digunakan untuk pinjaman ribawi.
Saya mohon nasihat dari Ustadz, agar jalan saya menjadi lurus. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum.
Sudarmi
Jawaban:
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Saudari Sudarmi, semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan kepada Saudari dan juga kepada keluarga Saudari.
Asuransi yang telah dikenal oleh masyarakat, baik asuransi pendidikan atau lainnya, tidak ada bedanya. Berbagai bentuk asuransi itu tidak dapat dibenarkan dalam syariat, dengan beberapa alasan berikut:
Pertama: Asuransi adalah salah satu bentuk akad tukar-menukar barang dengan dasar “untung-untungan” atau spekulasi.
Dengan demikian, asuransi mengandung unsur ketidakjelasan/gharar yang begitu besar.
Pada saat akad, anda sebagai nasabah asuransi tidak dapat mengetahui jumlah uang yang harus anda setorkan dan jumlah klaim yang berhak anda terima. Bisa saja, anda baru menyetor premi sekali atau dua kali, kemudian terjadi kecelakaan, sehingga anda berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen perusahaan asuransi. Mungkin juga, seumur hidup anda, anda sama sekali tidak pernah mengalami kecelakaan, sehingga nasabah membayar seluruh premi, tanpa mendapatkan apa pun. Sebagaimana perusahaan asuransi juga tidak dapat menentukan jumlah klaim yang harus ia bayarkan kepada masing-masing nasabah.
Tidak diragukan lagi bahwa akad semacam ini terlarang dalam Islam.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli untung-untungan (gharar).” (Hr. Muslim)
Kedua: Asuransi adalah salah satu bentuk perjudian.
Dengan demikian, telah dianggap sebagai suatu hal yang wajar bila pada bisnis asuransi, salah satu pihak merugi tanpa ada imbal balik, atau dengan imbal balik yang tidak sebanding. Allah Ta’ala berfirman,
يَأَيُّها الَّذينَ آمَنُوا إِنَّما الخَمْرُ والمَيْسِرُ والأَنصَابُ والأزْلاَمُ رجسٌ مِنْ عَمَل الشَّيطَان فَاجْتَنِبُوه لَعَلَّكُم تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamer, perjudian, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Maidah: 90)
Tidak diragukan lagi, bahwa kenyataan semacam ini adalah perbuatan zalim yang diharamkan dalam agama.
Ketiga: Asuransi mengandung unsur riba, karena asas kerja asuransi dan “impian” setiap nasabah asuransi ialah mendapatkan kembalian yang lebih besar dibanding piutang (premi) yang telah ia berikan.
Para ulama ahli fikih telah menyatakan, “Oleh karena itu, dinyatakan dalam satu kaidah yang amat terkenal dalam ilmu fikih:
كُلُّ قَرْضِ جَرٍّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan adalah riba.”
Keempat: Adanya pembodohan terhadap masyarakat secara umum dan nasabah secara khusus.
Suatu asuransi tidaklah dapat laku di masyarakat, kecuali setelah masyarakat dibodohi dan dihantui dengan masa depannya sendiri. Perusahaan-perusahaan asuransi berlomba-lomba menanamkan “kesan” atau persepsi bahwa masa depannya suram, ekonomi seret, penghasilan sedikit, anak cucu sengsara, dan tidak mendapatkan lapangan pekerjaan. Bukankah demikian saudaraku?
Saudaraku! Coba anda ingat kembali alasan mengapa anda menjadi tertarik untuk menjadi nasabah perusahaan asuransi?
Kekawatiran anda terhadap hari tua, khawatir tidak mampu membiayai sekolah anak, bila sakit tidak mampu membiayai pengobatan, dan lain sebagainya. Terkesan bahwa Allah telah mencabut jatah rezeki dari anda dan juga anak cucu anda. Bukankah demikian, Saudaraku?
Saudaraku, percayalah bahwa masa depan Saudara tidak sesuram itu! Percayalah, bahwa tidak ada satu makhluk hidup pun yang terlahir dan selanjutnya hidup di dunia ini, melainkan dia akan senantiasa menenteng jatah rezekinya masing-masing, kemana pun ia pergi.
Ketahuilah, Saudaraku! Persepsi buruk tentang masa depan semacam ini adalah salah satu biang suramnya masa depan anda. Betapa tidak, bila persepsi buruk dan suram ini telah menguasai diri anda, niscaya anda menjadi penakut, lemah semangat, ciut hati, batin anda tertekan, dan akal sehat anda terganggu.
Anda bisa bayangkan, bila pola pikir semacam ini telah menguasai seluruh lapisan masyarakat, kira-kira akan seperti apa masa depan masyarakat tersebut? Penakut, tidak berani berinovasi apalagi melakukan berbagai eksperiman, pesimis, kecil hati, lemah semangat, dan seterusnya.
Coba anda bandingkan orang yang telah terbelenggu oleh propaganda perusahaan asuransi dengan orang yang senantiasa menatap masa depannya dengan penuh optimisme dan kepercayaan kepada janji-janji Allah.
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan kepada orang-orang yang mengerjakan amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Sungguh, Dia pun akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan suatu apa pun. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Qs. an-Nur: 55)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman (hadits qudsi),
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي
“Aku berkuasa untuk melakukan apa pun yang menjadi persepsi hamba-Ku tentang Aku.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Maksud hadits qudsi ini ialah: Allah senantiasa memperlakukan hamba-hamba-nya selaras dengan keimanan dan persepsi mereka tentang Allah. Allah pun senantiasa mewujudkan persepsi mereka tentang Allah.
Karenanya, bila anda yakin dan optimis bahwa Allah akan menjadikan masa depan anda cerah, maka Allah pun benar-benar akan mewujudkan masa depan anda yang cerah dan penuh dengan kesuksesan. Sebaliknya, bila anda mengira bahwa Allah akan menjadikan masa depan anda suram, dan sarat dengan bencana dan kesengsaraan, maka Allah pun benar-benar akan mewujudkan garis hidup untuk yang selaras dengan persepsi anda sendiri.
Bagaimana dengan perspesi dan gambaran masa depan anda saat ini, wahai Saudaraku? Semoga gambaran masa depan yang ada di benak anda terang-benderang dan secerah sinar mentari.
Saudaraku, besarkanlah harapan anda, karena Allah telah memberi anda “asuransi rezeki”, maka terimalah “asuransi rezeki” anda dengan hati yang lapang dan penuh dengan keimanan.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْساْ لَنْ تَمُوَت حَتىَّ تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرَمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walau pun terlambat datangnya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan yang halal dalam mencari rezeki, dan tinggalkan yang haram.” (Hr. Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, serta dinyatakan sebagai hadits shahih oleh al-Albani)
Saudaraku, coba anda renungkan baik-baik mengenai “kesan” dan prediksi ini. Lalu, bandingkan dengan sejarah kehidupan keluarga dan juga masyarakat secara umum.
Bila anda membandingkan kehidupan masyarakat zaman dahulu dengan kehidupan masyarakat zaman sekarang, niscaya anda dapatkan kekayaan lebih melimpah di zaman sekarang dibandingkan zaman dahulu. Bukankah demikian, Saudaraku?
Hanya saja, yang membuat masyarakat sekarang lebih sengsara dibandingkan zaman dahulu ialah ambisi dan gaya hidup mereka sendiri. Kebutuhan hidup masyarakat zaman sekarang ditentukan dan dipengaruhi oleh propaganda berbagai perusahaan, sedangkan zaman dahulu, kebutuhan masyarakat lebih realistis, selaras dengan penghasilan dan keadaan masing-masing.
إذَا كنْتَ ذَا قَلْبٍ قَنُوعٍ، فَأَنْتَ وَصَاحِبُ الدُّنْيَا سَوَاءٌ
“Bila engkau memiliki hati yang qana’ah (batin yang puas), maka dirimu sama dengan pemilik dunia (konglomerat).”
اَلْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لاَ يَفْنى
“Sifat qana’ah (kepuasan batin) adalah harta karun yang tidak akan pernah sirna.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keadaan orang yang dikaruniai sifat qana’ah dengan sabdanya,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِناً فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَومِهِ ؛ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا
“Barangsiapa di antara kalian yang merasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia beserta isinya telah dikumpulkan untuknya.” (Hr. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, at-Thabrani, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah barangsiapa yang terkumpul padanya kesehatan badan, rasa aman di jiwanya kemana pun ia pergi, kebutuhannya hari tersebut telah tercukupi, dan keluarganya dalam keadaan selamat, maka sungguh Allah telah mengumpulkan untuknya seluruh jenis kenikmatan, yang siapa pun berhasil menguasai dunia tidaklah akan mendapatkan kecuali hal tersebut.”
Pendek kata: Asuransi ialah bentuk penjajahan ideologi dan psikologis. Karenanya, sudah tiba saatnya anda membebaskan diri anda dari penjajahan keji ini. Nikmatilah hidup merdeka: kemerdekaan fisik, batin, dan psikologis anda! Juga, temukanlah kelapangan rahmat Allah kepada diri anda dan juga anak keturunan anda. Selamat berjuang mencapai kemerdekaan anda yang dijajah oleh perusahaan-perusahaan asuransi! Semoga berhasil!
Kembali pada pertanyaan Saudari. Bila memungkinkan bagi anda untuk mengajukan klaim sekarang juga dan menarik kembali dana yang telah anda setorkan secara utuh, maka inilah yang seyogyanya Saudari lakukan. Bila tidak, maka tidak mengapa jika Saudari menanti hingga batas waktu tertentu sehingga Saudari bisa menarik kembali dana Saudari dengan utuh.
Adapun bila ada kelebihan dana pembayaran yang telah Saudari berikan, maka kelebihan tersebut hendaknya anda salurkan ke amal bakti sosial, misalnya kepada anak yatim, fakir miskin, dan lainnya. Akan tetapi, hendaklah Saudari ketahui, penyaluran kelebihan dana ini tidak dengan niat sedekah, tetapi melepaskan diri dari harta haram atau riba.
Satu catatan yang perlu Saudari ingat: Bersegeralah memutus mata rantai riba dan perbuatan dosa lainnya, karena Saudari tidak tahu kapan ajal menjemput. Saudari bisa bayangkan, betapa merugi dan besar penderitaan Saudari bila ajal menjemput, sedangkan Saudari masih terbelenggu oleh rantai dosa dan riba. Ingatlah selalu sabda shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
“Daging (seseorang) yang tumbuh dari harta haram tidak akan masuk surga.” (Hr. at-Tirmidzi, Ibnu Hibban; oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits shahih)
Semoga Allah Ta’ala memudahkan jalan keluar bagi Saudari agar terbebas dari berbagai belenggu dosa dan perangkap kemaksiatan kepada Allah.
Wallahu Ta’ala a’lam.
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel: www.pengusahamuslim.com