Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan, Muamalah

Pengertian Akad

Dalam bahasa Arab istilah akad memiliki beberapa pengertian namun semuanya memiliki kesamaan makna yaitu mengikat dua hal. Dua hal tersebut bisa konkret, bisa pula abstrak semisal akad jual beli.

Sedangkan secara istilah akad adalah menghubungkan suatu kehendak suatu pihak dengan pihak lain dalam suatu bentuk yang menyebabkan adanya kewajiban untuk melakukan suatu hal. Contohnya adalah akad jual beli.

Di samping itu, akad juga memiliki makna luas yaitu kemantapan hati seseorang untuk harus melakukan sesuatu baik untuk dirinya sendiri ataupun orang lain. Berdasarkan makna luas ini maka nadzar dan sumpah termasuk akad.

Akad dengan makna luas inilah yang Allah inginkan dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs. al Maidah: 1)

Rukun Akad

Ada tiga rukun akad yaitu dua pihak yang mengadakan transaksi, objek transaksi dan shighah/pernyataan resmi adanya transaksi.

Dua pihak yang mengadakan transaksi adalah dua pihak yang secara langsung menangani sebuah transaksi. Agar sebuah akad atau transaksi itu sah maka pihak yang mengadakan transaksi haruslah orang yang dalam sudut pandang fiqh memiliki kapasitas untuk melakukan transaksi.

Dalam sudut pandang fiqh, orang yang memiliki kapasitas untuk mengadakan transaksi adalah orang yang memenuhi kriteria berikut:

Pertama, rusyd yaitu kemampuan untuk membelanjakan harta dengan baik. Kemampuan ini dimiliki oleh orang yang baligh, bukan anak kecil, dan berakal, bukan orang gila.Di samping itu orang tersebut juga tidak sedang di-hajr. Hajr dalam hal ini adalah hukuman yang tetapkan oleh hakim terhadap seseorang berupa tidak boleh mengadakan transaksi. Hal ini disebabkan orang tersebut sedang terlilit hutang atau dinilai tidak bisa memegang uang dengan baik.

Kedua, tidak dipaksa. Oleh karena itu transaksi yang diadakan oleh orang yang dalam kondisi dipaksa itu tidak sah kecuali jika pemaksaan yang dilakukan dalam hal ini memang bisa dibenarkan secara hukum syariat. Contohnya adalah penghutang yang menunda-nunda untuk melunasi hutangnya tanpa alasan atau orang yang pailit dipaksa oleh pihak pengadilan untuk menjual hartanya dalam rangka melunasi hutang yang menjadi kewajibannya.

Sebuah transaksi itu bersifat mengikat yaitu tidak bisa lagi dibatalkan jika tidak mengandung khiyar. Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh dua belah pihak yang mengadakan transaksi untuk melanjutkan transaksi ataukah membatalkannya.

Objek Transaksi

Yang dimaksud dengan objek transaksi adalah semisal barang yang hendak diperjualbelikan dalam transaksi jual beli dan barang yang hendak disewakan dalam transaksi sewa.

Agar sebuah transaksi sah maka objek transaksi harus memenuhi criteria berikut ini:

  1. Barang tersebut adalah barang yang suci (bukan najis) atau terkena najis namun masih memungkinkan untuk dibersihkan. Oleh karena itu, transaksi dengan objek benda najis semisal bangkai tidaklah sah. Demikian pula, jika benda tersebut berlumuran najis dan tidak mungkin untuk dibersihkan semisal susu atau cuka atau benda cair yang lain ketika bercampur dengan najis. Jika memungkinkan untuk dipisahkan maka benda tersebut boleh menjadi objek transaksi.
  2. Benda tersebut bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang diizinkan oleh syariat. Bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang diizinkan oleh syariat adalah asas untuk menilai suatu benda itu termasuk harta ataukah tidak dan memiliki nilai ataukah tidak. Oleh karena itu benda-benda yang tidak ada manfaatnya semisal benda-benda remeh yang tidak dilirik orang tidaklah sah jika dijadikan sebagai objek transaksi. Demikian pula, jika manfaat benda tersebut adalah manfaat yang haram semisal manfaat yang terkandung pada khamr dan semacamnya tidaklah sah dijadikan sebagai objek transaksi. Namun perlu diingat baik-baik bahwa status suatu benda bisa dimanfaatkan ataukah tidak itu bisa berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Di masa silam barang rongsokan termasuk kategori benda tidak bernilai sehingga tidak sah jika dijadikan sebagai objek transaksi. Sedangkan di zaman sekarang barang rongsokan termasuk benda yang memiliki nilai jual.
  3. Bisa diserahkan. Oleh karenanya, benda yang tidak ada tidaklah dijadikan objek transaksi. Demikian pula benda yang ada namun tidak bisa diserahkan. Benda-benda ini tidak sah dijadikan sebagai objek transaksi karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Sedangkan setiap transaksi yang mengandung gharar itu terlarang dalam syariat.
  4. Telah dimiliki dengan sempurna oleh orang yang mengadakan transaksi. Karenanya, benda yang tidak bisa dimiliki tidaklah sah dijadikan sebagai objek transaksi.
  5. Benda tersebut diketahui dengan jelas oleh orang yang mengadakan transaksi dalam transaksi langsung. Atau benda tersebut diketahui kadar, jenis dan bentuknya dalam transaksi tidak langsung. Jadi dalam transaksi jual beli langsung, benda yang menjadi objek transaksi disyaratkan bendanya telah diketahui secara jelas semisal jual beli mobil tertentu atau rumah tertentu. Akan tetapi jika transaksinya tidak langsung semisal transaksi salam maka disyaratkan benda yang akan diterima oleh pembeli itu diketahui kadar, jenis dan bentuknya. Transaksi salam adalah seorang penjual yang menjual barang yang sudah jelas ciri-cirinya namun barang ini baru bisa diterima oleh pembeli setelah transaksi diadakan sesuai dengan waktu yang telah disepakati.

Jika persyaratan diatas telah terpenuhi maka transaksi pada objek tersebut bersifat mengikat (baca:tidak bisa dibatalkan) jika tidak ada pada benda objek transaksi hal-hal yang menyebabkan munculnya hak khiyar semisal cacat pada barang.

Shighah

Yang dimaksud dengan shighah di sini adalah ungkapan yang digunakan oleh pihak yang mengadakan transaksi untuk mengekspresikan keinginannya. Ungkapan ini berbentuk kalimat-kalimat yang menunjukkan terjadinya transaksi. Shighah itu terdiri dari ijab dan qobul.

Manurut mayoritas ulama yang dimaksud dengan ijab adalah kalimat yang menunjukkan pemindahan kepemilikan. Sedangkan qobul adalah kalimat yang menunjukkan sikap menerima pemindahan kepemilikan. Sehingga yang menjadi tolak ukur ijab adalah jika yang mengeluarkan pernyataan tersebut adalah orang yang bisa memindahkan kepemilikan objek akad semisal penjual, orang yang menyewakan dan wali penganten perempuan. Suatu kalimat bernilai qobul jika dikeluarkan orang pemilik baru objek akad semisal pembeli, penyewa dan penganten laki-laki.

Jadi yang menjadi parameter bukanlah siapa yang pertama kali mengeluarkan pernyataan dan siapa yang nomer dua namun siapa pihak yang memindahkan kepemilikan dan siapa pihak yang menerima pemindahan kepemilikan.

Berbeda dengan pendapat para ulama hanafiyah yang mengatakan bahwa siapa yang mengeluarkan pernyataan pertama kali maka itulah orang yang melakukan ijab. Sedangkan pernyataan kedua adalah qobul apapun isi pernyataan tersebut.

***

Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber Artikel: http://ustadzaris.com/seputar-akad

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28