Oleh Ustadz Kholid Syamhudi
PENGERTIAN UANG MUKA
Panjar (Down of Payment) dalam bahasa Arab adalah ‘urbuun. Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, al-urbaan, ‘al-urbaan dan al-urbuun [1]. Secara bahasa artinya, kata jadi transaksi dalam jual beli [2].
Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang dibayarkan di muka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan mengatakan : “ Apabila saya ambil barang tersebut, maka (uang muka/ down payment) ini sebagai bagian dari nilai harga. Dan bila saya membatalkannya (tidak jadi membelinya) maka uang ini menjadi milik anda (penjual)” [3]
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP) tersebut untukmu. Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila sipembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.
Jelas disini system jual beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. Wallahu A’lam.
Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:
[1]. Yang berpendapat jual-beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah.
Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah.
Al Khathabi mengatakan : Para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya jual beli ini, Malik, Syafi’I menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits[5] dan karena terdapat syarat fasad (rusak) dan Al-gharar (spekulasi)[6], Juga, jual-beli seperti ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian juga Ash-habul Ra’yu (madzhab Abu Hanifah, -pen) menilainya tidak sah” [7]
Ibnu Qudamah mengatakan, demikianlah pendapat Imam Maalik, As-Syafi’i dan Ash-hab Ra’yu dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri [8]
Yang menjadi argumentasi pendapat ini, di antaranya sebagaimana berikut ini.
a. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik berkata : “Dan inilah adalah yang kita lihat –wallahu A’lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian berkata, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau tidak jadi menyewanya, maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu” [9]
b. Jenis jual beli dengan uang muka, termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan oleh si penjual tanpa ada kompensasinya [10]. Adapun memakan harta orang lain, hukumnya haram sebagaimana firman Allah:
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’ [An Nisaa’ : 29]
c. Dalam jual beli dengan sistem uang muka tersebut, terdapat dua syarat batil: syarat yang menunjukkan kebatilannya. Pertama, syarat memberikan uang panjar. Kedua, syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. [11]
Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (khiyaar al-majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya mempunyai hak memilih. (Terserah) kapan saya ingin mengembalikan dengan tanpa dikembalikan uang pembayarannya” [12]. Menurut Ibnu Qudamah, demikian ini menunjukkan Qiyas (analogi) [13].
Pendapat ini dirajihkan As-Syaukani sebagaimana pernyataan beliau : “Yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama, karena dalam hadits ‘Amru bin Syu’aib terdapat beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena dalam jual-beli seperti ini terdapat larangan, dan hadits yang mengandung larangan lebih rajih dari yang menunjukkan bolehnya, sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh. Yang menjadi illat (sebab hukum) larangan ini ialah, jual-beli seperti ini mengandung dua syarat yang fasid. Pertama, syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli batal membelinya. Kedua, syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila si pembeli tidak ada keinginan untuk membelinya.[14]
[2]. Pendapat Yang Menyatakan Jual Beli Dengan Uang Muka Diperbolehkan.
Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah. Dan diriwayatkan bolehnya jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.[15]
Al Khathabi mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar.
Imam Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan. Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini pendapat Umar Radhiyallahu ‘anhu yaitu bolehanya jual-beli dengan uang muka. Ahmad juga melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual-beli yang seperti ini, disebabkan terputus. [16]
Argumentasi pendapat yang membolehkan ini, yaitu sebagaimana berikut ini.
a. Atsar yang artinya :
Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.
Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: “Apakah Anda berpendapat demikian?” Beliau menjawab: “Apa yang harus kukatakan? Ini Umar Radhiyallahu ‘anhu (telah berpendapat demikian)” [17]
b. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli dengan sistem uang muak ini.
c. Uang muka adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Dengan demikian, maka tidaklah benar pandangan yang mengatakan, bahwa uang muka telah dijadikan syarat oleh penjual tanpa ada imbalannya.
d. Tidak sahnya qiyas (analogi) jual beli ini dengan al-khiyar al majhul (hak pilih terhadap barang yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya uang muka ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batal analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.
PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya : Bagaimana hukum melaksanakan jual beli sistem panjar (al-urbun) apabila belum sempurna jual belinya?. Bentuknya yaitu, dua orang melakukan transaksi jual beli, Apabila jual beli sempurna maka pembeli melunasi nilai pembayarannya dan bila pembeli batal melakukan pembelian, maka si penjual mengambil DP (uang muka) tersebut dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?
Pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah sebagai berikut : Tidak mengapa mengambil DP (uang muka) tersebut, menurut pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama. Apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak disempurnakan)” [18]
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (Komite Tetap Untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa) Kerajaan Saudi Arania, menyebutkan dalam fatwanya sebagai berikut.
[1]. Fatwa no. 9388
Pertanyaan : Bolehkah seorang penjual mengambil uang muka (‘Urbuun) dari pembeli? Dan jika pembeli batal membelinya atau mengembalikan pembeliannya, apakah secara hukum syari’at si penjual berhak mengambil uang muka tersebut untuk dirinya tanpa mengembalikannya kepada si pembeli?
Jawaban: Apabila keadaannya demikian, maka dibolehkan bagi si penjual untuk memiliki uang muka tersebut untuk dirinya dan tidak mengembalikannya kepada pembeli –menurut pendapat yang rojih- apabila keduanya telah sepakat untuk itu.[19]
[2]. Fatwa no. 1963:
Pertanyaan : Al ‘Urbuun sudah dikenal dengan (penyebutan) uang muka sedikit, yang diserahkan pada waktu membeli berfungsi sebagai tanda jadi, sehingga menjadikan barang dagangan tersebut tergantung. Apa hukum jual beli tersebut? Banyak dari para penjual yang mengambil harta urbuun (uang mukar) ketika pelunasan pembayaran gagal, bagaimana hukumnya?
Jawaban: Jual beli dengan DP (‘urbuun) diperbolehkan. Jual-beli ini dengan membawa seorang pembeli kepada penjual atau agennya (wakilnya) sejumlah uang yang lebih sedikit dari harga barang tersebut setelah selesai transaksi, sebagai jaminan barang. Ini dilakukan agar selain pembeli tersebut tidak mengambilnya dengan ketentuan apabila pembeli tersebut mengambilnya maka uang muka tersebut terhitung dalam bagian pembayaran dan bila tidak mengambilnya maka penjual berhak mengambil uang muka tersebut dan memilikinya.
Jual beli dengan uang muka (‘urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya. Dan secara syar’i, penjual memiliki hak menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Dibolehkannya jual beli ‘urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khathab. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli seperti ini boleh. dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma juga membolehkannya. Sa’id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan: “Diperbolehkan bila ia tidak ingin, untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.”.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang “Artinya : (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka) Adalah hadits yang lemah (dhaif), Imam Ahmad dan selainnya telah mendhaifkannya, sehingga (hadits ini) tidak bisa dijadikan sandaran. [20]
Majlis Fikih Islam, dalam seminar ke-8 berkesimpulan dibolehkannya jual beli dengan uang muka. Berikut ini ketetapan-ketetapan yang telah disepakati.
Pertama: Yang dimaksud dengan jual beli dengan uang muka adalah, menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila pembeli jadi mengambil barang tersebut, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau si pembeli tidak jadi jadi membelinya, maka sejumlah uang (muka yang dibayarkan) tersebut menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas.
Di antara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem uang muka adalah jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli as-salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.
Kedua: Jual beli dengan uang muka dibolehkan bila waktu menunggunya dibatasi secara pasti, Uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas. Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.[21]
Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, maka itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya”
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena menegtahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan si penjual menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).[22]
Demikian permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Diambil dari catatan penulis dari penjelasan Syaikh DR. Abdulqayum As-Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Authar di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam Al Mughni Ibnu Qudamah (6/331).
[2]. Lihat Al Qaamus Al-Muhith Karya Al_Fairuz Abadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum. As-Sahibaani
[4]. Al Mughni 6/ 331
[5]. Yaitu hadits Amru bin Syu’aib berikutnya (penulis)
[6]. Tentang al-gharar, lihat penjelasannya pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah Edisi:04/X/1427H/2006M
[7]. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8]. Al Mughni 6/331.
[9]. HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhaif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhaif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami’ Al Shoghir 6060
[10]. Lihat Al Mughni 6/331
[11]. Lihat Shahih Fiqhus Sunnah 4/411
[12]. IIid
[13]. Ibid
[14]. Nailul Authar 6/289.
[15]. Lihat Al Mughni 6/331
[16]. Ma’alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud (3/768)
[17]. Diriwayatkan oleh Al-Atsram dengan sanadnya. Lihat Al-Mughni (6/331)
[18]. Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud, hal.291, dinukil dari Shahih Fiqhus Sunnah (4/412)
[19]. Fatawa Lajnah Daimah (13/132) yang ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Abdur Razaq Afifi dan Abdullah bin Ghadayan
[20]. Ibid. (13/133-134)
[21]. Ketetapan no. 72, Lihat majalah Al-Majma edisi 8 dan kitab Ma La Yasa’u Yasa’u At-Tajira Jahluhu, Prof Dr Abdullah.Al-Mushlih dan Prof. Dr Shalah Ash-Shawi. Telah diindonesiakan dengan judul Fiqih Ekonomi Keungan Islam, Penerbit Darul Haq, Edisi terjemah, hal. 134
[22]. Lihat Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud (9/237)
***