Anak Yatim yang Terlantar
Oleh: Ustadz Said Yai Ardiansyah, Lc, MA
Anak yatim, begitu mendengar kata ini, seharusnya terbayang dibenak kita ‘seandainya waktu kecil dulu saya adalah anak yang ditakdirkan menjadi anak yatim, bagaimana kehidupan yang saya jalani?’. Memiliki kedua orang tua yang mengasuh, mendidik dan menaungi adalah suatu kenikmatan yang sangat indah.
Perasaan seperti itu tidak dirasakan oleh anak yatim. Rata-rata mereka hidup sendiri, jauh dari asuhan dan didikan orang lain, apalagi perlindungan orang lain. Sungguh malang nasib anak yatim yang sekarang ini banyak ditelantarkan.
Akibatnya, mereka tidak dapat menjaga dan merawat diri mereka sendiri. Banyak anak yatim yang terkesan kumuh, kotor, dekil dan menjijikkan. Rata-rata pendidikan mereka terbelakang, bodoh dan terkesan nakal.
Belum lagi dengan usia mereka yang sangat dini mereka harus “membanting tulang” untuk menghidupi diri sendiri. Mereka banyak dihina, dilecehkan bahkan banyak yang menjadi korban pelecehan seksual.
Itulah mereka. Banyak di antara mereka yang putus asa atau tidak memiliki harapan. Seolah hidup ini adalah “neraka” untuk mereka yang mereka harus bertarung di dalamnya. Mereka sangat kesepian. Mereka selalu menangis di hati-hati kecil mereka.
Yang paling fatal dari itu semua, mereka tidak mengenal Islam dengan baik, apalagi beribadah. Mereka cenderung bersama teman-teman mereka yang lain yang berada di jalanan. Lebih parahnya lagi mereka terlibat dengan perbuatan keji, munkar dan dosa besar bahkan bisa sampai kepada perbuatan yang kufur. Na’udzu billahi min dzalika.
Islam adalah agama yang mulia yang memuliakan bani Adam dari semua makhluk Allah. Islam juga mengangkat derajat anak yatim. Allah menyuruh kita untuk menghormati semua manusia, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
{وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا}
Artinya: “Dan kami telah memuliakan anak keturunan Adam, memberikan tunggangan kepada mereka di darat dan di laut, memberi rezki kepada mereka dari yang baik-baik dan mengutamakan mereka dari banyak makhluk yang telah kami ciptakan dengan suatu keutamaan.” (QS Al-sra’ : 70)
Islam sudah memberi jawaban untuk semua permasalahan sosial yang dihadapi manusia. Allah telah memberi keutamaan yang sangat besar untuk orang-orang yang menanggung kehidupan anak yatim. Keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah itu sebanding dengan rasa susah yang dialami ketika mendidik anak yatim tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di dalam haditsnya telah menyebutkan salah satu keutamaan memelihara dan merawat anak yatim
عن سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا )) وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى.
Artinya: Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Rasulullah bersabda, “Saya dan penanggung kehidupan anak yatim di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan dua jarinya: jari telunjuk dan jari tengah.[1]
Orang yang menanggung kehidupan anak yatim akan bersama dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di surga. Ganjaran ini banyak orang melalaikannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah seperti itu juga dengan tambahan:
(( كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ ))
Artinya: “Penanggung kehidupan anak yatim, baik dari kalangan kerabatnya atau selainnya.”[2]
Dalam tambahan hadits di atas kita dapat menarik faidah bahwa menanggung anak yatim tidak dikhususkan pada kaum kerabat saja, tetapi juga anak yatim dari orang lain.
Makna Anak Yatim
Di dalam bahasa Arab, siapakah yang dinamakan anak yatim itu?
Disebutkan di dalam Al-Mu’jam Al-Washith sebagai berikut:
( اليَتِيْم ) الصَغِيْر الفَاقِدُ الأَب مِنَ الْإنْسَانِ وَالْأُمّ مِنَ الْحَيْوَان .
Artinya: (Yatim) adalah anak kecil dari manusia yang kehilangan bapaknya. Sedangkan pada hewan adalah anak hewan yang masih kecil yang kehilangan ibunya.[3]
Para ulama mengatakan bahwa seorang anak yang sudah mencapai usia baligh tidak lagi dikatakan yatim, berdasarkan hadits yang diriwayatkan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ ، وَلاَ صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ.))
Artinya: “Tidak dikatakan yatim setelah mencapai usia baligh dan tidak boleh diam (tidak berbicara) seharian sampai waktu malam.”[4]
Akan tetapi, bukan berarti ketika kita mengasuh anak yatim sejak dia kecil, kemudian dia baligh, kita biarkan dia terlantar begitu saja. Selama mereka belum memiliki kemampuan untuk bekerja dan berpenghasilan sendiri, maka kita tetap disyariatkan untuk memberikan bantuan kepadanya. Apalagi di zaman sekarang ini, anak-anak dituntut untuk menyelesaikan pendidikannya, minimal SMA atau setingkatnya. Jika bisa kita menyekolahkannya sampai tingkat yang lebih tinggi lagi maka itu lebih baik.
Keutamaan Memelihara Anak Yatim
Keutamaan memelihara anak yatim sangat banyak, berikut penulis sebutkan beberapa di antaranya:
عن أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى أَخِيْكَ الْمُؤْمِنِ سُرُوْرًا أَوْ تَقْضِيَ عَنْهُ دَيْنًا أَوْ تُطْعِمَهٌ خُبْزًا.))
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seafdal-afdal amalan adalah engkau membuat seorang mukmin bahagia, engkau membayarkan hutangnya atau engkau memberikan makan dia sebuah roti.”[5]
‘Membuat seorang mukmin bahagia’, Bukankah mengasuh anak yatim termasuk di dalamnya. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang bersemangat untuk mengasuh anak yatim.
Keutamaan yang lainnya:
عن أَبِى هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ : (( إِنْ أَرَدْتَ أَنْ يَلِينَ قَلْبُكَ فَأَطْعِمِ الْمَسَاكِينَ وَامْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ )).
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang datang ke Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeluh kekerasan hatinya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Jika engkau ingin hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang-orang miskin dan usaplah kepala anak yatim!”[6]
Hadits ini dengan jelas menerangkan bahwa memberi makan orang-orang miskin dan mengusap kepala anak yatim dapat melunakkan hati. Kalau kita melihat dua amalan tersebut, maka kita akan mendapatkan bahwa orang yang sombong, pelit dan kasar tidak akan mampu melaksanakan kedua amalan itu. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melatihnya untuk mendekati orang-orang miskin dan anak yatim agar dapat merasakan apa yang mereka rasakan sehingga hatinya tidak lagi menjadi keras. Subhanahu wa ta’ala, ini adalah sebuah petunjuk yang penuh hikmah yang diajarkan oleh Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras perbuatan zalim kepada anak yatim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ : الْيَتِيمِ ، وَالْمَرْأَةِ.
“Ya Allah! Sesungguhnya saya menyatakan haram (kepada umat Muhammad untuk melalaikan) hak dua orang yang lemah: anak yatim dan wanita.”[7]
Para sahabat adalah orang-orang yang paling cepat dan bersegera dalam mengamalkan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara bukti nyata yang menunjukkan hal itu adalah apa yang dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab yang diabadikan di dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad, sebagai berikut:
عن أَبُي بَكْرِ بْنُ حَفْصٍ ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ كَانَ لاَ يَأْكُلُ طَعَامًا إِلاَّ وَعَلَى خِوَانِهِ يَتِيمٌ.
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Bakar bin Hafsh bahwasanya dia berkata, “‘Abdullah (bin ‘Umar bin Al-Khaththab) radhiallahu ‘anhuma tidak pernah makan kecuali di samping piringnya ada anak yatim.”[8]
Bagi Anda Yang Memiliki Kelebihan Harta
Orang yang memiliki kelebihan harta sudah sepantasnya menginfakkannya kepada anak-anak yatim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةً وَنِعْمَ صَاحِبُ الْمُسْلِمِ هُوَ لِمَنْ أَعْطَى مِنْهُ الْيَتِيمَ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya harta itu berwarna hijau (enak dipandang) dan manis (dirasakan). Sebaik-baik sahabat muslim adalah yang memberikan harta tersebut untuk anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan).”[9]
Setelah membaca tulisan ini, sungguh menarik bukan, jika kita bisa menjadi pemerhati-pemerhati dan penanggung kehidupan anak yatim. Mudah-mudahan dengan demikian kita bisa mendapatkan ganjaran seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amin.
Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat.
PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial
Daftar Pustaka:
- Abu Muslim. Mahmud bin Ahmad.Tuhfatul-Yatim wa Al-Laqith.
- Abu Thayyib Muhammad Syamsul-Haq Al-‘Adzhim Abadi. ‘Aunul-Ma’bud. Al-Madinah Al-Munawwarah: Al-Maktabah As-Salafiyah.
- Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. 1409 H/1989 M. Al-Adab Al-Mufrad. Bairut: Darul-Basyair Al-Islamiyah.
- Al-Mubarakfuri. Shafiyur-Rahman. 1425 H/2004 M. Ar-Rahiq Al-Makhtum. Riyadh: Dar Al-Muayyad. As-Sadhan, ‘Abdullah bin Nashir. Fadhlu Kafalatil-Yatim.
- Dan lain-lain, sebagian besar telah tercantum di footnotes.
Keterangan:
[1] HR Al-Bukhari no. 6005
[2] HR Muslim no. 7660
[3]Lihat Al-Mu’jam Al-Washith hal. 1063.
[4]HR. Abu Dawud no. 2873 dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
[5] HR Ibnu Abi Dunya di kitab Qadhail-Hawaij hal. 98 dan Ad-Dailami Jilid I hal. 123, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di Ash-Shahihah no. 1494 (Takhrij ini dinukil dari Ash-Shahihah)
[6] HR Al-Baihaqi di As-Sunan Al-kubra no. 7345 dan Syu’abul-iman no. 11034, di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Ash-Shahihah no. 2290.
[7]HR Ibnu Majah no. 3678 dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1015.
[8] HR Al-Bukhari di Adabul-Mufrad no. 136 , di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Adabul-Mufrad no. 102
[9]HR Ahmad no. 11865. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dkk berkata, “Isnadnya shahih sesuai syarat Syaikhain.”