Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Pemasaran, Research and Development

Berkembang Tanpa Iklan Ala Google

Oleh Wim Permana, S. Kom*)

Waktu saya SMA dan mulai mengenal Internet (tahun 2000), hanya beberapa situs yang selalu saya buka ketika berselancar di Internet. Yakni Google, Yahoo! dan detik.com. Meski akrab dengan ketiga situs itu, tapi waktu itu saya tidak pernah sekejap pun melihat iklan mengenai ketiga situs itu. Termasuk di RCTI, SCTV, atau Indosiar. Rasanya saya tidak pernah satu kali pun mendeteksi adanya iklan Yahoo Mail atau detik sport di Kompas, Republika atau Koran Tempo.

Ya, karena ketiga situs itu diiklankan dengan cara klasik: dari mulut ke mulut, getok tular alias word-of-mouth marketing. Dari tiga situs itu, kalau dipaksa memilih satu yang paling lengket dengan kehidupan maya saya, saya memilih Google. Sampai hari ini, 11 tahun kemudian.

Saya tahu Google dari teman saya yang lebih dulu mengenal Internet. Informasi tentang Google pun, sadar atau tidak, menyebar juga ke teman saya yang ingin belajar menggunakan Internet dari saya. Jadi, info tentang Google menyebar dari satu pengguna ke pengguna lain; dari Amerika Serikat ke seluruh dunia, tanpa bantuan iklan sedikit pun. Dengan kata lain, Larry Page dan Sergey Brin mungkin hanya menghabiskan Rp 0 untuk belanja iklan mesin pencari yang lahir dari kampus Stanford University di tahun-tahun awal Google berdiri.

Hei, ini sungguh menarik. Kenapa?

Karena bagi beberapa perusahaan, belanja iklan sangat penting demi eksistensi dan nama baik brand atau merk produk-produk mereka. Unilever, Nike, Microsoft, Adidas, Nestle, Toyota dan Honda adalah contoh korporasi besar yang menganggarkan ratusan juta dolar AS per tahun untuk mengenalkan atau mempertahankan citra produk mereka di hati dan kepala konsumen.

Perusahaan-perusahaan besar mencoba mencuri perhatian konsumen melalui media beragam. Iklan-iklan mereka ditayangkan di TV nasional dan TV berbayar. Diperdengarkan via radio. Ditampilkan di surat kabar dan majalah—baik konvensional maupun digital. Hingga disebar ke berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook, YouTube, dan Twitter. Dengan bantuan konsultan pemasaran yang upahnya tidak murah.

Tapi Google tidak melakukan apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar tadi. Dengan cek US$ 100 ribu dari Andy Bechtolsheim—salah satu pendiri Sun Microsystem—pada Agustus 1998, tampaknya agak mustahil bagi The Google Guy—julukan duo founder Google—untuk membeli space dan slot iklan di media-media besar AS seperti New York Times, Wall Street Journal, Time, CNN, HBO, atau sejenisnya. Alih-alih menghamburkan uang untuk iklan, kedua pria yang saat itu mahasiswa S-3 itu justru memfokuskan diri ke yang lebih penting dan tidak langsung membantu terciptanya proses marketing gratis berskala global. Apa itu?

Garasi Google dengan Biaya Sewa US$ 1.700/Bulan

Untuk membangun dan mengembangkan perusahaan yang sangat tergantung pada kualitas dan keandalan perangkat keras serta jaringan seperti Google, Anda harus punya kantor sendiri. Meminjam ruangan di kampus elite seperti Stanford memang ide bagus. Tapi tampaknya itu tidak bisa Anda lakukan terus-menerus. Apalagi jika pihak univesitas menjuluki Anda si pemakan bandwith.

Solusinya, pada September 1998 Larry dan Sergey menyewa kantor, tepatnya garasi, yang mereka paksa menjadi kantor milik seorang teman bernama Susan Wojcicki di Menlo Park, California. Selain garasi, layanan pencarian yang dulunya sempat dinamai BackRub itu juga mulai melakukan perekrutan. Tapi mereka tidak merekrut seseorang yang berlatar belakang manajemen, akuntansi, bisnis, komunikasi atau periklanan, Noupe. Alih-alih merekrut orang non-teknis, duo pendiri Google justru merekrut Craig Silverstein yang statusnya sama seperti mereka: mahasiswa program S3 jurusan ilmu komputer di kampus yang sama, Stanford University.

Kenapa harus Craig? Karena teman mereka ini ternyata doyan data mining dan teknik pengambilan data dari sumber berskala besar seperti AltaVista, mesin pencari yang sering disebut-sebut terbaik ketika itu.

Di garasi kecil dan melalui perekrutan itu, keinginan Sergey dan Larry semakin jelas: menyempurnakan Google secara teknis. Dengan kata lain, keduanya ingin mengindeks halaman web lebih banyak lagi. Juga ingin mampu menyajikan hasil pencarian untuk para pengguna Google dengan lebih baik dan lebih baik lagi. Well …

Iklan Gratis dari PC Magazine

….. and they made it right. Dengan jutaan halaman terindeks plus desain halaman awal yang sangat revolusioner kala itu, Google secara tidak langsung “sudah mulai berani berbicara”. Pada Desember 1998, majalah yang menjadi salah satu barometer berita dunia teknologi informasi di AS—yakni PC Magazine—memasukkan Google ke dalam “Top 100 Websites in 2008”. Sungguh, ini sangat fenomenal bagi duo Google pada masa itu. Sampai-sampai keduanya hanya mencantumkan peristiwa tersebut dalam daftar kejadian bersejarah Google pada Desember 1998. Hanya tentang itu. Tidak ada lagi yang lain.

Dan yang dilakukan dua pendiri Google itu pun masuk akal. Bagi beberapa pengusaha di industri teknologi informasi, dimasukkan ke dalam katalog situs-situs bermutu oleh media ternama seperti PC Magazine “—yang kebetulan” memiliki edisi internasional—laksana iklan gratis, yang kalau harus dibayar, mungkin jumlahnya mencapai ribuan dolar AS.

Ketika Google Jadi Virus

Sejak PC Magazine memuat Google, mesin pencari hasil kreasi mahasiswa doktoral ilmu komputer Stanford itu mulai mendapatkan perhatian khalayak ramai. Tapi tentu saja itu tidak terjadi begitu saja. Proses terkenalnya Google layaknya tersebarnya virus. Yup, sesuatu yang menular. Cepat!

Sama seperti virus yang perlu inang pemicu, Google pun demikian. Tapi dalam kasus terkenalnya Google, inang pemicunya kemungkinan besar adalah rekan-rekan Larry Page dan Sergey Brin di Kampus Stanford yang sudah akrab dengan Google bahkan sejak mesin pencari ini masih bernama Backrub.

Review positif oleh PC Magazine pada Desember 1998 tampaknya menjadi keniscayaan yang wajar dan natural. Anda tahu sendiri bukan? Para pengguna awal Backrub/Google adalah para mahasiswa Stanford, sebuah kelompok khusus yang memiliki citra “cerdas” di mata orang AS. Lalu apa alasan majalah cerdas seperti PC Magazine tidak memasukkan mesin pencari baru yang digandrungi anak-anak Stanford?

All Virus are not Created Equal

Untuk menjadi wabah, virus harus benar-benar kuat. Bila tidak, ada banyak faktor yang bisa menghancurkannya. Entah datang dari proses internal di tubuh inangnya. Atau dari kondisi eksternal seperti cuaca, bakteri atau virus lain, dan sejenisnya. Sebagai virus, Google termasuk virus powerful, bila tidak boleh dikatakan super.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun, kinerja Google sebagai mesin pencari bukan malah menurun seperti kebanyakan situs sejenis. Tetapi justru terus meningkat. Setiap hari, jumlah halaman web yang terindeks terus bertambah. Jumlah server dan pegawainya semakin banyak. Dan Google pun leluasa menambah sumberdayanya karena suntikan dana dari dua investor ternama di lembah Silikon: Sequoia Capital dan Kleiner Perkins—US$ 25 juta.

Suntikan dana yang hanya berjarak enam bulan dari investasi US$ 100 ribu pertama ini membuat Google semakin perkasa. Hasil pencarian yang diberikan Google tidak hanya bertambah baik. Tapi juga bertambah cepat. Pada Juni 2000, Google menjadi mesin pencari terbesar di dunia. Koleksinya 1 miliar halaman web terindeks. Tidak hanya itu. Algoritma Google juga dipakai oleh Yahoo!, sang primadona Internet di seluruh dunia pada era 1990-an. Pencapaian-pencapaian itu termasuk faktor yang membuat virus Google menyebar sangat cepat.

Google Menyediakan yang Dibutuhkan

Saat ini, 13 tahun setelah Google lahir, perusahaan yang namanya resmi menjadi kata kerja atau verb di kamus-kamus terkenal ini sudah tidak lagi berurusan dengan persoalan pencarian. Untuk mereka yang butuh e-mail, Google menyediakan GMail. Untuk yang doyan berbagi foto, ada Picasa. Bagi yang senang nonton video, ada YouTube. Yang hobi melacak berita, disediakan Google News. Yang memerlukan cek statistik situs, ada Analytics. Yang membutuhkan jejaring sosial bernuansa berbeda dengan Facebook dan Twitter, ada Google+. Butuh peta, disediakan Google Maps. Oh ya, jangan lupa yang satu ini: kalau Anda ingin selalu membawa Google kemana pun pergi, sudah disediakan Android.

Duhai, kalau sudah begini, untuk apa beriklan? Untuk apa mengiklankan produk yang sudah menjadi kebutuhan primer banyak orang di seluruh dunia?

Ingin seperti Google? Menyebarlah ke seluruh dunia laiknya virus tanpa biaya dan bertahan dalam jangka waktu yang belum terpikirkan! Begini caranya:

  1. Fokuslah ke pengembangan dan perbaikan produk bisnis Anda.
  2. Jadikanlah produk bisnis Anda sebagai leader di kelasnya.
  3. Kalau sudah sukses dengan poin (2), mulailah melebarkan sayap bisnis Anda ke bidang atau produk yang lain.
  4. Jangan lupakan poin (1) dan (2).

Selamat mencoba. Semoga sukses. Insya Allah. Amiin.***

*)  Penulis adalah sarjana Ilmu Komputer  Universitas Gadjah Mada. Salah satu cita-citanya ingin masuk surga dengan bantuan teknologi informasi

Boks: Bisnis Sukses Cara Google

Jika bisnis Anda ingin berkembang tanpa iklan seperti Google, menyebarlah ke seluruh dunia layaknya virus tanpa biaya dan bertahan dalam jangka waktu yang belum terpikirkan! Caranya:

  1. Fokuslah ke pengembangan dan perbaikan produk bisnis Anda.
  2. Jadikanlah produk bisnis Anda sebagai leader di kelasnya.
  3. Kalau sudah sukses dengan poin (2), mulailah melebarkan sayap bisnis Anda ke bidang atau produk yang lain.
  4. Jangan lupakan poin (1) dan (2).

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28