Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan, Kontemporer

Pandangan Syariah Tentang Membalik Utang

Membalik Utang (bagian pertama dari dua tulisan)

Qalbu dain (membalik utang) adalah suatu hal yang haram, dengan kesepakatan ulama. Yang dimaksud dengan qalbu dain adalah menambahkan nilai utang yang menjadi tanggung jawab orang yang berutang, dengan cara apa pun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika jatuh tempo utang sudah tiba sedangkan orang yang berutang sedang dalam kondisi kesulitan membayar utangnya, maka tidak diperbolehkan membalik utang, baik dengan transaksi tertentu atau pun tanpa transaksi, dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin. Bahkan, wajib memberi penangguhan kepadanya. Jika orang yang berutang dalam kondisi mampu melunasi utangnya, maka dia berkewajiban untuk segera melunasi utangnya. Jadi, tidak ada alasan untuk membalik utang, baik orang yang berutang itu mampu melunasi utangnya atau pun sedang dalam kondisi kesulitan.” (Majmu` Fatawa: 29/419)

Terdapat dalam Mathalib Ulin Nuha Syarh Ghayah al-Muntaha: 3/62, sebuah buku fikih Hambali, “Dan pembalikan utang diharamkan sampai batas waktu tertentu terhadap orang yang kesulitan membayar utang, dan ulama sepakat dalam hal ini. Syaikh Taqiyuddin (yaitu Ibnu Taimiyah) mengatakan, ‘Orang yang mengutangi diharamkan untuk menolak memberikan tempo, jika orang yang berutang memang dalam kondisi sulit. Jika yang mengutangi memberikan ancaman, ‘Ada dua pilihan, melakukan pembalikan utang atau kulaporkan ke pengadilan,’ lalu orang yang berutang merasa takut jika dipenjara karena dia tidak memiliki bukti bahwa dirinya sedang mengalami kesulitan finansial untuk membayar utang (padahal sebenarnya dia memang dalam kondisi sulit). Akhirnya, dia memilih untuk melakukan pembalikan utang dengan alasan ini. Meski demikian, transaksi ini tetap haram dan tidak wajib dipenuhi, dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin.

Dalam hal ini, orang yang berutang berstatus sebagai orang yang dipaksa tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Barangsiapa yang mengatakan bahwa bolehnya membalik utang dengan trik adalah pendapat salah seorang imam, maka dia telah keliru dalam pernyataannya tersebut,’”

Syekh as-Sa’di mengatakan, “Bentuk riba yang paling parah adalah qalbu dain, baik dengan cara terang-terangan atau pun dengan trik, karena Allah mengetahui kalau itu hanya sekadar trik. Jika jatuh tempo utang sudah tiba, maka orang yang berutang berkewajiban untuk membayar utang, jika dia mampu. Jika dia tidak mampu, maka orang yang mengutangi berkewajiban memberi penangguhan waktu pembayaran.” (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 353)

Qalbu dain adalah istilah yang ada dalam Mazhab Hambali, sedangkan dalam Mazhab Maliki diistilahkan dengan “faskh dain bi dain” (pembatalan utang dengan utang).

Al-Qairawani al-Maliki mengatakan, “Tidak boleh membatalkan utang dengan utang. Misalnya, ada orang yang mempunyai utang, lalu utangnya ini diganti dengan utang yang lain yang bertempo.” (Al-Fawakih ad-Dawani: 2/101)

Bahkan, di halaman yang sama, beliau mengatakan, “Faskh dain itu lebih haram lagi, karena hal itu termasuk riba jahiliah.” Lebih jauh lagi, para ulama bermazhab Maliki menilainya sebagai bentuk yang paling parah untuk jual-beli utang dengan utang, yang hukumnya haram, dan ulama sepakat tentang hal ini.” (Lihat: Al-Fawakih ad-Dawani: 2/101)

Ada dua metode yang digunakan untuk melakukan qalbu dain

Yang pertama, dengan terang-terangan. Orang yang mengutangi berkata kepada orang yang berutang, “Ada dua pilihan, kau lunasi hari ini atau ada tambahan pembayaran.” Orang yang berutang lalu mengatakan, “Berilah aku tempo dan aku rela memberi tambahan.” Inilah riba jahiliah.

Metode kedua adalah dengan beberapa trik licik. Di sinilah para pemakan riba berkreasi. Mereka menggunakan transaksi yang sekilas tampak halal, dalam rangka melakukan qalbu dain.

Ada beberapa trik yang biasa digunakan:

Trik pertama. B memiliki utang kepada A sampai jangka waktu tertentu. Ketika telah jatuh tempo, B tidak memiliki uang untuk membayar utangnya. A lalu mengatakan, “Kuberi utang padamu untuk melunasi utangmu yang pertama.” Lalu, B menerima uang dari A untuk melunasi utangnya yang pertama kepada A. Namun, konsekuensinya ada tambahan (riba) untuk pelunasan utang kedua. Perbuatan ini termasuk riba, bahkan termasuk dalam firman Allah di surat Ali Imran: 130. Perbuatan ini termasuk perbuatan jahiliah.

Dalam riba jahiliah, saat utang telah jatuh tempo, orang yang mengutangi berkata, “Ada dua pilihan, kau lunasi sekarang juga atau ada tambahan pembayaran.” Bedanya, dalam riba jahiliah, mereka memberikan tambahan kepada utang dengan terus terang tanpa trik, sedangkan dalam perbuatan di atas terdapat penambahan riba pada utang dengan menggunakan trik. (Risalah Mudayanah, karya Ibnu Utsaimin, hlm. 14–15)

Trik kedua. B mempunyai utang kepada A. Ketika jatuh tempo tiba, A berkata kepada B, “Engkau punya dua pilihan, lunasi utangmu saat ini juga atau kau pergi ke tempat C. C akan mengutangimu. Uang yang kau terima dari C bisa kau gunakan untuk melunasi utangmu kepadaku.” Sementara itu, sudah ada kesepakatan terlebih dahulu antara A dan C, bahwa masing-masing dari keduanya akan memberi utang baru kepada orang yang terlibat utang dengan salah satu dari keduanya. Dengan utang baru tersebut, orang yang berutang bisa melunasi utang lamanya. Pada akhirnya, orang yang berutang kembali memiliki utang yang wajib dia lunasi kepada pemberi utang yang baru.

Boleh jadi pula, A berkata kepada B, “Temuilah C, mintalah pinjaman uang (utang) kepadanya.” Padahal, sudah ada kesepakatan, atau semi kesepakatan, antara A dan C, agar C memberi utang kepada B. Jika B telah melunasi utangnya kepada A, maka dilakukanlah qalbu dain, sehingga B memiliki kewajiban untuk melunasi utangnya kepada C. Inilah trik dalam qalbu dain dengan menggunakan tiga pihak (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 350 dan Risalah Mudayanah, hlm. 15–16). Berdasarkan definisi qalbu dain di atas, maka dalam trik ini pada utang yang kedua tentu terdapat penambahan.

Trik ketiga. Ada orang yang mempunyai utang 100 ribu ketika jatuh tempo tiba, sedangkan orang yang berutang belum memiliki uang untuk melunasi utangnya. Pemberi utang ingin memberi utang sebesar 100 ribu, agar orang yang berutang bisa melunasi utangnya yang pertama. Akan tetapi, bunga (riba) seratus ribu yang kedua lebih tinggi daripada bunga seratus ribu yang pertama. Misalnya, riba untuk seratus ribu yang pertama adalah 2 persen, maka riba untuk seratus ribu yang kedua adalah 4 persen, karena menimbang nilai seratus ribu yang kedua. Orang yang berutang menerima hal ini karena terpaksa. (Al-Fatawa as-Sa’diyyah, hlm. 352)

Trik keempat. B memiliki utang kepada A. Ketika jatuh tempo tiba dan A datang menagih utang, ternyata B tidak mampu melunasi utangnya sama sekali. Akan tetapi, B memiliki barang yang sebenarnya tidak senilai dengan utangnya. A lalu mengambil barang tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk pelunasan utang B. Setelah itu, barang tersebut kembali dijual oleh A kepada B, dengan harga yang lebih besar daripada nilai utang B. Hal ini adalah sesuatu yang tidak boleh, karena barang yang diterima A lalu dijual kembali kepada B dinilai tidak ada fungsinya. Hakikat transaksi ini adalah pembatalan utang pertama dengan adanya utang kedua, dan utang kedua ini nilainya lebih besar. Sehingga, ini adalah riba jahiliah. (Al-Fawakih ad-Dani: 2/102)

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28