Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan, Kontemporer

Diskusi Perbankan Syariah (bag. 3 Dan 4)

Berikut ini adalah kelanjutan diskusi sebelumnya antara ustadz Muhammad Arifin Badri dan UPPS. Diskusi ini semakin menarik, dan insya Allah semakin banyak ilmu pengetahuan yang dapat kita reguk dari diskusi ini. Bagi Anda yang belum membaca diskusi sebelumnya, kami anjurkan Anda untuk membaca dan mencermati diskusi sebelumnya. Silakan Anda membacanya pada link ini:

  1. Diskusi Perbankan Syariah (Bagian 01)
  2. Diskusi Perbankan Syariah (Bagian 02)

Selamat mengikuti, semoga bermanfaat.

DISKUSI PERBANKAN SYARIAH (Bag. 3)

[Komentar UPPS]
//
Ass. Wr. Wb

Terima kasih ustadz M. Arifin Badri atas nasehat dan petuahnya, jika berkenan ana (saya –ed) akan sedikit berikan penjelasan atas pendapat ana yang lalu sbb:

Ana sependapat dengan ustadz bahwa menjual sesuatu yang belum dimiliki (al bai fiimaa laa yumlak) adalah dilarang adanya, namun demikian yang dilakukan oleh bank syariah adalah mekanisme qabdh hukmy dengan instrumen PO seperti yang sudah ana jelaskan, dan bukan qabdh fi’ly sebagaimana yang dilakukan pedagang di sektor riil pada umumnya.

Kenapa demikian? Regulasi di Indonesia, yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI), serta peraturan perpajakan yang melatarbelakangi fatwa DSN akan bolehnya transaksi murabahah dengan wakalah.

Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank umum melarang seluruh bank umum untuk bertindak sebagaimana pedagang sektor riil (menyetok barang dan dijual). Artinya direct selling oleh bank dilarang oleh regulasi, karena bank adalah sektor intermediasi.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

Wa’alaikumussalam. UPPS, semoga Allah Ta’ala melimpahkan keberkahan kepada Anda dan keluarga.

Pertama saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya, karena Anda telah mengakui bahwa perbankan syariah yang ada telah menjual barang yang mereka beli sebelum terjadi qabdh fi’ly. Pengakuan ini secara tidak langsung adalah pengakuan bahwa perbankan telah melakukan hal yang nyata-nyata terlarang.

Karena dalam syariat Islam yang dimaksud dengan qabdh (serah terima) yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas dan lainny adalah al qabdh al fi’li (benar-benar diserah terimakan) karena saya yakin Anda mengetahui bahwa akad jual beli adalah akad yang mulzimah (mengikat) sehingga sekedar akad jual-beli selesai ditanda tangani, kepemilikan barang dan uang secara otomatis berpindah. Barang berpindah kepemilikan kepada pembeli dan uang dari pembeli menjadi milik penjual. Walau demikian adanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan kepada pembeli untuk menjual ulang barang itu (walaupun secara hukum telah menjadi miliknya). Yang demikian itu dikarenakan bila pembeli menjual ulang barang yang ia beli sebelum sepenuhnya diserah-terimakan, maka pembeli telah mendapatkan keuntungan dari barang yang belum menjadi tanggung jawabnya. Dan keuntungan semacam ini terlarang.

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصححه الألباني

“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-beli, juga tidak halal dua persyaratan dalam satu akad jual-beli, sebagaimana tidak halal keuntungan yang diperoleh dari barang yang belum menjadi tanggung jawab penjual, tidak pula menjual barang yang tidak ada (tidak engkau miliki) padamu.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Pendek kata, status barang yang telah menjadi milik perbankan belum cukup, akan tetapi harus benar-benar telah diserahterimakan oleh penjual kepada bank.

Masalah peraturan Bank Indonesia, maka itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melanggar ketentuan hukum Islam ini.

Apakah layak bagi seorang muslim untuk mengalahkan hukum Allah demi mematuhi peraturan manusia?

على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة، أخرجاه.

“Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menta’ati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menta’ati.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam memaksiati sang pencipta.” (Riwayat At Tirmizy)

Walau demikian, saya yakin Anda mengetahui bahwa peraturan PBI di atas masih bisa diakali alias disiasati, karena peraturan itu hanya urusan administrasi, sedangkan praktek di lapangan, sepenuhnya urusan operator.

Sebagai contoh: Bisa saja operator suatu bank membeli barang terlebih dahulu, dengan pembayaran ditunda satu minggu (misal) tanpa dibuatkan surat pembelian atau penjualan. Selanjutnya dealer mengantarkan kendaraan ke Bank atau ke rumah nasabah. Setiba di rumah nasabah dan setelah petugas dari dealer pergi, segera petugas dari bank dan nasabah mengadakan akad jual beli. Setelah akad jual-beli antara bank dengan nasabah selesai ditandatangani, maka bank dapat membuat surat penjualan dan pembelian dengan dealer. Dengan demikian, tanggal penjualan antara Bank dan nasabah lebih dahulu dibanding tanggal pembelian dan penjualan antara bank dan dealer.

Dalam praktek perundang-undangan di negeri kita, manipulasi atau akal-akalan semacam ini biasa terjadi, dan itu telah menjadi rahasia umum. Mengapa para praktisi perbankan syariah kok ciut nyali, sehingga tunduk dan patuh seratus persen, sehingga melanggar ketentuan syariat ini?

Solusi ini selamat secara syariat dan secara peraturan BI. Hanya saja solusi ini memiliki resiko, misalnya nasabah ingkar janji, atau terjadi kerusakan pada barang setelah diserahkan oleh dealer, misal terjadi gempa, atau banjir, atau perampokan. Tapi resiko semacam ini adalah konsekuensi dari dunia perniagaan yang wajar. Karena kesiapan menanggung resiko semacam inilah, akad ini halal, dan menyelisihi akad hutang piutang atau riba. Demikianlah karakter dunia usaha yang tidak mungkin bisa dirubah. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وحسنه الألباني

“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizy, An Nasai dan dinyatakan hasan oleh Al Albani)

Dengan cara ini, apa yang di khawatirkan berupa peraturan BI dan repot menimbun barang dapat dihindari.

Bila solusi ini tidak bisa atau belum bisa diterapkan, mengapa kita memaksakan diri? Bukankah masih ada solusi lain selain perbankan, sehingga kita bisa menjalankan akad murabahah atau mudharabah yang sebenarnya. Misalnya dengan mendirikan perusahaan publik biasa, sehingga bebas membeli dan menjual. Dan benar-benar menggerakkan perekonomian umat.

Praktek perbankan syari’ah selama ini menurut hemat saya adalah solusi pemalas belaka. Betapa tidak, perbankan yang ada hanya menerima dana dan kemudian mencari para pengelola dari pihak ketiga. Seharusnya perbankan yang memiliki segudang tenaga handal, menerima dana dari masyarakat lalu ia kelola dalam sektor riil. Bukan malah masyarakat yang jelas memiliki banyak kekurangan diminta mengembangkan dana milik perbankan.

[Komentar UPPS]
//
Kendala kedua, isu double tax yang memberatkan industri. Ketika bank syariah harus membeli barang maka secara langsung masuk dalam buku kita sebagai aset bank dan menjadi obyek pajak. Kemudian bank menjual asetnya kepada nasabah, kondisi ini juga menjadi obyek pajak (Ppn), berdasarkan hal tersebut bank syariah menjadi tidak efisien karena over head costnya melambung tinggi.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS yang saya hormati, apa yang Anda khawatirkan berupa double tax, dapat disiasati, misalnya dengan cara yang saya gambarkan di atas. Atau dengan membeli barang dari agen besar atau PMT suatu merek dagang atau bahkan langsung ke perusahaan pemroduksi barang, dengan meminta agar bank mendapatkan harga yang jauh lebih murah dari yang berlaku umum di pasaran.

Karena pajak dan yang serupa hanya berlaku bila transaksi kita lakukan dengan formal; dibukukan, ada surat penjualan dan pembelian. Akan tetapi bila surat menyurat ditunda, atau penjualan antara dealer dengan pihak bank surat menyuratnya ditiadakan, maka tidak akan ada Ppn.

Saya yakin bila pihak operator perbankan syariat benar-benar serius mencari solusi yang sesuai syariat dan mengedepankan hukum agama dibanding undang-undang manusia, pasti ada celah yang bisa ditempuh.

[Komentar UPPS]
//
Ust, kami sedang berjuang untuk membebaskan diri dari pajak dengan loby kepada pemerintah agar treathment double tax bagi bank syariah dihapuskan, karena dalam jangka panjang sisi madharatnya lebih terlihat dari pada maslahatnya.

Dan info terbaru bahwa pemerintah AKAN menghapus regulasi tersebut bagi bank syariah, karena hal yang sama tidak diberlakukan bagi bank ribawi, dimana mereka berlindung di bawah UU tahun 1998, dimana aktifitas perbankan, asuransi, dan leasing bebas Ppn.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS yang terhormat, kembali saya ucapkan banyak terimakasih atas info yang sangat berharga ini. Betapa tidak, info bahwa para praktisi perbankan syariat diantaranya Anda yang berusaha meminta kebijaksanaan agar dapat terhindar dari double tax merupakan pengakuan bahwa praktek murabahah yang sekarang diterapkan belum selaras dengan syariat.  Karena kalau Anda sudah meyakini praktek perbankan syariat yang sekarang telah selaras dengan syariat, maka apa gunanya perjuangan meminta dibebaskan double tax semacam ini?

Upaya ini merupakan kilas dari kesadaran bahwa praktek murabahah yang ada belum selaras dengan syariat.

[Komentar UPPS]
//
Ust, sekalipun regulasi tersebut tidak lagi diberlakukan, dan bank syariah harus memiliki inventory dalam transaski murabahahnya, maka regulasi BI atau PBI tetap melarang bank untuk melakukan aktifitas direct selling.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS, pengakuan ini sangat berharga bagi saya, karena pengakuan ini artinya Anda menyadari bahwa akad yang dijalin antara bank dengan nasabah hanyalah berkutat pada kegiatan pembiayaan alias mudayanah dan bukan akad jual-beli. Karena andai murabahah yang dijalankan oleh perbankan syari’ah adalah benar-benar murabahah, niscaya dilarang oleh BI atau PBI. Saya yakin pihak BI dan PBI tidak sebodoh yang dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka tahu sepenuhnya apa perbedaan konsekuensi direct selling dari murabahah yang diterapkan oleh perbankan syariat.

Direct selling memiliki resiko untung rugi, barang rusak, dicuri dan resiko lain, sedangkan murabahah yang diterapkan perbankan syari’ah sama sekali tidak ada resiko di atas, sehingga tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh perbankan konvensional, sama-sama aman tanpa resiko. Bedanya hanya dasi, baju koko, dan sebutan, adapun hakekatnya kosong.

Tidak heran bila Singapura dan Inggris  mengibarkan bendera bahwa mereka sebagai kiblat perekonomian/perbankan syariat internasional. Lucu bukan? Masak negara semisal Singapura dan Inggris sudi menerapkan syariat Islam yang sebenarnya?

[Komentar UPPS]
//
Selain itu, kalau bank syariah harus menyetok barang, maka berapa banyak gudang yang harus dimiliki bank? Gedung, mobil, motor, mesin berat, rumah, dll, itu semua madharat bagi bank karena over head cost menjadi sangat tinggi dan tidak efisien.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

Saya yakin masalah gudang bukan masalah yang prinsipil, karena pihak perbankan bisa saja menjual barang tanpa harus memiliki gudang, yaitu dengan cara tidak membeli barang kecuali setelah ada nasabah yang janji akan membeli. Setelah membeli barang di dealer atau agen, maka barang bisa langsung dikirim ke rumah atau tempat calon pembeli, dan selanjutnya diadakan serah terima barang di sana, dan selanjutnya langsung diadakan akad jual beli antara perwakilan/pegawai bank nasabah pemesan.

Mudah bukan? Tidak perlu gudang, sehingga tidak ada pajak bangunan, sewa, gedung, satpam dan lainnya.

[Komentar UPPS]
//
Dulu Islamic Bank di Sudan awalnya menyetok barang, karena berupaya mengamalkan hadits-hadits Nabi, bahwa menjual barang yang belum dimiliki dilarang. Namun demikian sekarang mereka kembali ke konsep bank sebagai lembaga intermediasi karena tidak efisien dan over head cost yang besar.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS yang terhormat, kembali info ini adalah info yang sangat berharga bagi saya, betapa tidak info ini semakin menambah banyak data yang saya ketahui tentang perilaku perbankan syariat di negeri kita. Para praktisi perbankan syariat siap mengadakan study banding dengan perbankan yang ada di mana saja, sampaipun yang ada di benua afrika, akan tetapi saya heran kenapa mereka terkesan menutup mata dari praktek perbankan Islam yang ada di Saudi Arabia.

Saya yakin Anda mengetahui bahwa Ar Rajhi Bank yang ada di Saudi Arabia menyelisihi praktek perbankan syari’ah yang ada di indonesia. Ar Rajhi Bank memiliki banyak gudang bahan bangunan, gudang kendaraan, dan alat-alat berat. Bahkan saya beberapa kali mendapatkan info dari penduduk saudi bahwa Ar Rajhi Bank mengadakan lelang kendaraan-kendaraannya yang kurang laku jual, dan telah berlalu beberapa tahun dari pembeliannya.

Di antara faktor yang menjadikan perbankan syariat di negeri kita tidak siap untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh Ar Rajhi Bank ialah karena perbankan syari’ah di negeri kita memiliki kewajiban atau komitmen untuk memberikan “bagi hasil” kepada setiap nasabah yang menyimpan dana di tempatnya. Walaupun pada kenyataannya dana nasabah tersebut belum disalurkan kepada pihak ketiga. Oleh karena itu kita sering mendengar berita bahwa perbankan syariat mengalami over likuiditas, sehingga akhirnya dananya yang melimpah itu disalurkan ke Sertifikat Bank Indonesia.

Sedangkan di Ar Rajhi Bank, kewajiban ini tidak ada, sehingga walaupun seorang nasabah menabungkan puluhan juta real atau bahkan mungkin miliaran real, pihak Ar Rajhi Bank tidak akan pernah memberinya fee atau bagi hasil walau hanya 1 real saja, bila ia tidak menginvestasikannya dalam proyek-proyek yang dijalankan oleh Ar Rajhi. Dengan demikian, walaupun Bank Ar Rajhi belum atau tidak bisa menyalurkan sebagian dana nasabahnya, tidak menjadi masalah baginya.

Fakta ini menjadikan kita meragukan status “bagi hasil” yang diberikan oleh perbankan syariat yang ada di negri kita. Bagi hasil kok diberikan kepada setiap nasabah, tanpa ada beda, nasabah yang dananya telah disalurkan dalam unit usaha dari nasabah yang dananya masih macet di bank.

[Komentar UPPS]
//
Ada investor besar dari timteng (tumur tengah –ed) yang akan invest bank syariah di Indonesia, namun karena adanya regulasi double tax tersebut, mereka mundur dengan pasti. Inilah ijtihad DSN MUI sampai hari ini, tidak menutup kemungkinan akan ada fatwa baru yang disesuaikan dengan hajat, dan kami berupaya loby secara mudawamah kepada regulator agar regulasi tersebut dihapuskan.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

Semoga perubahan fatwa yang akan datang berdasarkan dalil dan bukan berdasarkan hajat (kebutuhan). Saya yakin pembaca mengetahui perbedaan antara perubahan fatwa karena hajat dari perubahan fatwa karena dalil.

[Komentar UPPS]
//
Bank syariah di Indonesia terhitung baru, dan inilah upaya kita untuk membumikan nash-nash langit ke dalam bisnis bank, walaupun kendala regulasi mengharuskan kita untuk melakukan ijtihad semampu kami.

Semoga prinsip taghayyur ahkam bitaghayyuri azman yang dimaknai positif tidak disalahgunakan dalam prakteknya.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

Kembali saya kritisi istilah membumikan  nash-nash langit, dan saya mengusulkan agar diganti melangitkan praktek-praktek bumi. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui bahwa hukum syariah adalah baku, sedangkan yang harus dirubah dan disesuaikan adalah praktek masyarakat dan bukan nash-nash Al Qur’an dan As sunnah. Oleh karena itu, kalaupun di kemudian hari terjadi perubahan ijtihad, maka perubahan itu berdasarkan dalil dan bukan karena perubahan praktek dan tuntutan masyarakat.

Adapun kaedah yang Anda sebutkan: “taghayyur ahkam bitaghayyuri azman” maka perlu dicatat, bahwa ahkam yang dimaksudkan dalam kaedah ini ialah ahkam yang berdasarkan adat istiadat, semisal hukum yang berkaitan dengan kadar nafkah seorang suami untuk istrinya, ahkam yang berkaitan dengan bahasa, semisal hukum yang ada pada kata-kata nikah, talak, sumpah dan yang serupa.

Adapun hukum yang berdasarkan dalil, maka tidak dapat diubah-ubah walaupun zaman dan daerah telah berubah. Dengan demikian prinsip-prinsip perniagaan yang telah digariskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak boleh diubah untuk selama-lamanya.

[Komentar UPPS]
//
Prinsip fiqh sebagaimana diketahui bersama banyak khilafiyah di dalamnya, bahkan ada persoalan baru yang belum pernah dibahas oleh para fuqaha dan ulama kita, yang mengharuskan kita melakukan ijtijad semampunya sesuai dhuruf dan hal.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS, saya yakin khilaf ulama’ yang ada bukanlah masalah yang harus dirisaukan, karena kita beragama bukan dengan agama satu ulama’ tertentu, akan tetapi kita beragama dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dengan demikian, pendapat siapapun yang selaras dengan kedua dasar hukum Islam ini, maka itulah yang wajib di amalkan.

Oleh karena itu, dahulu ulama’ salaf kita senantiasa menekankan agar kita meninggalkan pendapat mereka yang terbukti salah dan menyelisihi dalil.

لَيْسَ أَحَدٌ إِلاَّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُدَعّ غَيْرَ النَّبي صلى الله عليه و سلم.

“Tidaklah ada seorangpun, melainkan pendapatnya bisa diambil dan juga bisa ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 11/339, dari sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)  dan dinyatakan oleh Al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah. (Majma’ Az Zawaid 1/179). Walaupun yang masyhur, ini adalah ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah.)

Imam As Syafi’i juga berpesan:

إِذَا صَحَّ الحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِي، وَإِذَا صَحَّ الحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَولِي الحَائِطَ.

“Bila ada hadits yang shohih, maka itulah pendapat (mazhab)ku, dan bila suatu hadits telah terbukti keshahihannya, maka campakkanlah pendapatku ke dinding.” (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Adz Zahaby 10/35, dan Qaulul Imam Al Muthalliby: Idza Shohhal Hadits Fahuwa Madzhaby)

Pada riwayat lain beliau menyatakan:

أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه و سلم لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَولِ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ

“Para ulama’ telah sepakat bahwa apabila telah terbukti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seseorang, maka tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan sunnah itu hanya karena ucapan seseorang.”

Penjelasan ini bukan berarti seruan untuk tidak menjaga kehormatan mereka. Ahlussunnah adalah orang yang paling hormat dan paling santun terhadap para ulama’. Betapa tidak, mereka adalah para penerus atau ahli waris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mewarisi ilmu dan teladan beliau.

Terlebih dari itu, walaupun banyak permasalahan kontemporer yang belum pernah disebut oleh ulama’ kita, akan tetapi permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan keluar dari kaedah dan prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh para ulama’ berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

Benar bila kita berkutat seputar perubahan nama, maka kita akan kebingungan, akan tetapi bila kita berpedoman pada hakikat dari setiap permasalahan, niscaya semuanya menjadi gamblang.

Bila Anda berpegangan pada nama besar “Bank Syariah” maka saya yakin Anda akan kebingungan. Akan tetapi bila Andamelepaskan nama besar “Bank Syariah” kemudian mengkaji masalah akad “murabahah” berdasarkan dalil-dalil yang ada, dan kaedah-kaedah yang telah digariskan oleh para ulama’ niscaya akan gamblang semuanya. Nyata-nyata menjual barang yang belum dimiliki, nyata-nyata tidak siap menanggung resiko perdagangan, maka jelaslah bahwa yang terjadi bukanlah jual-beli murabahah, akan tetapi hutang-piutang atau permainan istilah atau nama belaka.

[Komentar UPPS]
//
Kehadiran Bank Syariah di indonesia sedikit banyak memberikan maslahat bagi umat, dan bukankah kewajiban menegakkan syariah berlaku bagi setiap individu muslim, karena jika syariah tidak ditegakkan maka dosa kolektif yang akan diperoleh.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

Saya tidak begitu paham akan maksud dari ucapan Anda ini, apakah maksudnya bila umat Islam tidak mendirikan bank maka seluruh umat akan dosa? Bila ini maksud Anda, maka itu jelas-jelas tidak benar, karena seluruh kegiatan yang dilakukan oleh perbankan adalah amalan-amalan mubah, dan bukan amalan ibadah mahdhah, apalagi fardhu ‘ain atau kifayah, sehingga tidak ada dosa. Yang berdosa ialah yang menghalalkan riba, melanggar prinsip perniagaan yang diajarkan dalam Syariat hanya karena mengikuti trend dan kehendak masyarakat. Atau mengharamkan yang halal. Adapun amalan mubah, jual-beli, hutang-piutang, transfer dana, atau yang serupa maka itu sepenuhnya terserah kepada masing-masing individu. Dengan demikian, umat tidak berdosa apabila tidak ada bank, atau tidak ada pabrik.

Dan kalau yang dimaksud ialah menegakkan syariat dengan menjalankan transaksi melalui bank syariat, maka itupun juga tidak benar. Karena tidak ada dalil  yang mengharuskan agar umat Islam menjalankan transaksi perniagannya melalui bank syariah. Mereka bebas menjalankan transaksinya dengan cara apa saja, asalkan tidak melanggar syariat. Sehingga orang yang tidak bertransaksi dengan bank syariah sama sekali tidak akan pernah berdosa karenanya. Betapa banyak umat Islam yang sampai mati ia tidak penah membutuhkan kepada jasa perbankan sama sekali, sebagaimana yang dialami oleh banyak dari penduduk desa.

Terlebih-lebih syariat Islam dalam hal muamalah dapat ditegakkan tanpa harus melalui badan keuangan semisal bank. Syariat muamalah dapat diterapkan di pasar tradisional, perusahaan, organisasi atau lainnya.

Jadi saya harap Anda tidak hidup dalam daun kelor, akan tetapi hiduplah dalam alam nyata. Umat manusia bisa hidup dan bisa menjalankan syariat agamanya walau tanpa menggunakan jasa perbankan syariat, terlebih-lebih yang ekonomi rendah, sehingga tidak butuh terhadap layanan perbankan sama sekali.

Kalo yang dimaksud ialah menegakkan syariat dalam artian “mendirikan negara Islam, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar” maka itu bisa ditempuh walau tanpa melalui jalur perbankan.

Dengan demikian, komentar Anda di atas harus diklarifikasi ulang agar jelas maksud dan arahnya. Semoga Anda berkenan melakukannya.

[Komentar UPPS]
//
Ustadz Dr. Al Ushaimy (guru besar ekonomi syariah di Jamiah Muhammad Ibnu Saud Riyadh pernah mengatakan kepada saya dalam konteks bank syariah saat ini:

Ayyuhuma afdhal min an namsyia ‘uryaanan awa namsyi ‘ala tsaubin muraqa’?

Sungguh ini akan menjadi amal shalih bagi umat Islam jika lembaga keuangan syariah dijadikan pusat transaksi umat Islam di seluruh dunia. Sementara itu dulu ust jawaban dari kami, semoga mafhum muqtadha al hal dapat dipraktekan dengan baik.

Wallahu a’lam

Akhukum fillah
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS, ucapan Dr. Al Ushaimy di atas saya rasa hanya tepat diterapkan pada masyarakat, dan hanya dari satu sisi pandang. Bagi masyarakat, memang lebih baik baik bertransaksi dengan orang yang pelanggarannya 70% dibanding dengan orang yang pelanggarannya 100%

Akan tetapi dari sisi lain, yaitu dari sisi operator perbankan, itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk menempuh filsafat lilin, menerangi orang lain, akan tetapi diri sendiri luluh terbakar. Mungkin orang lain menjadi nyaman, karena dananya dijaga sehingga tidak dicuri, mudah bertransaksi, dan lainnya, akan tetapi itu tidak cukup untuk menghapus dosa-dosa pelanggaran syariat yang dilakukan oleh operator perbankan.

Masing-masing dari kita akan mempertanggung jawabkan amalan kita sendiri di hadapan Allah.

لاَ تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ. رواه الترمذي والطبراني وصححه الألباني

“Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga dipertanyai tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?, ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya?, harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan?, badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?” (Riwayat At Tirmizy, At Thabrany dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albani)

Sebagaimana perbuatan Anda menukil ucapan Dr. Al Ushaimy yang menggambarkan konteks perbankan Islam yang ada sebagai seseorang yang mengenakan pakaian bertambal sulam layaknya seroang gembel. Penukilan ini bagi saya sebagai pengakuan terselubung bahwa perbankan syariat yang ada gambarannya bagaikan baju tambalan, bolong sana-sini, compang-camping, layaknya gembel, dan bahkan sangat dimungkinkan terdapat banyak robekan yang belum atau tidak kuasa ditambal karena begitu luasnya robekan yang ada. Dalam pepatah arab disebutkan:

اتسعت الرقعة على الراقعي

“Apa daya bila robekan baju telah terlalu lebar untuk ditambal” atau dalam pepatah indonesia: Maksud hati memeluk gunung apa daya bila tangan tak sampai.

Pertanyaannya: Seberapa luas dan seberapa banyakkah robekan yang ada di baju yang Anda kenakan? Inilah yang menjadi inti permasalahan dan tema diskusi kita.

Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan, sungguh tiada maksud sedikitpun di hati untuk menggunakan kata-kata yang tidak layak atau tidak santun. Wallahu a’alam.

[][][]

DISKUSI PERBANKAN SYARIAH (Bag. 4)

Pada diskusi keempat ini, saudara AH, seorang anggota milis Pengusaha Muslim, membuka diskusi dengan mengomentari komentar UPPS yang ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri di atas.

[Komentar AH]

Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Ihwan wa ahwat fillah member milis pengusaha muslim (yang semoga dirahmati Allah), ikutilah orang karea dia benar, dan Janganlah mengikuti kebenaran karena orang, carilah kebenaran itu niscaya engkau akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Insya Allah saya merasa yakin bagi siapa yang telah menyimak dan memahami dan berusaha kuat agar mencari kebenaran disertai doa ….maka akan bisa memilah/memilih pendapat yang benar/mendekati kebenaran di antara 2 pendapat yang ada. Begitu pula dari diskusi ini ….tanyakan pada hati nurani anda sebagai tempat masuknya Taufik Hidayah sehingga menjadikan ia berjiwa Haniif… lapang menerima kebenaran dari siapapun dan kapanpun kebenaran itu sampai maka ia bergegas meninggalkan hawa nafsu & kesalahannya menuju pengampunan Allah.

Semoga Allah memudahkan kita agar lapang menerima kebenaran meskipun pahit bertolak belakang dengan hawa nafsunya. Semoga kita termasuk hamba yang berusaha keras untuk mengamalkan DALIL dan bukan men-DALIL amal.
Baarokallaahu fiikum….

NB: afwan ahsannya ucapan salam tidak disingkat!?

[][][]

Komentar AH di atas kemudian dijawab oleh UPPS, dan jawaban UPPS tersebut ditanggapi oleh ustadz Muhammad Arifin Badri. Silakan menyimak diskusinya berikut ini:

[Komentar UPPS Buat AH]
//
Kita semua sepakat bahwa kita berislam harus menggunakan rujukan atau dalil, dan ketika dalil yang dicari tidak ditemukan maka peranan ijtihad lah yang mengambil alih, terlebih lagi untuk transaksi muamalah kontemporer yang belum diakomodir dalam fiqh dan ijtihad ulama zaman dahulu, hujiyatu ijtihad sangat kuat. Kita bukan men-DALIL kan amalan, akan tetapi berupaya membentuk maslahat dengan ijtihad.

Dalam hal fiqh, selama memiliki acuan baik naqly, aqly, dan hissy, serta landasan ijtihad insya Allah ahlan wa sahlan, dan dalam hal fiqh terlebih lagi umur khilafiyah tidak ada yang berhak mengklaim mana yang benar dan mana yang salah. Yang benar adalah yang membawa maslahat bagi semua sesuai dengan dhuruf (muqtadha al hal).

Bersikaplah mature dalam menyikapi perbedaan, dengan tidak saling menyalahkan, INGAT para imam mujtahid muthlaq saja saling ta’dhim terhadap persoalan yang mereka berbeda pendapat, sementara orang sekarang yang realitanya memiliki jaudah ilmiyah munkhafidhah mengekpresikan sikap al bathar dan ghamthu naas, bukankah hal demikian madzmum dalam syariah ini.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS yang terhormat, saya kurang setuju dengan ucapan ustadz di atas. Betapa banyak para ulama menyalahkan sebagian lainnya dalam urusan ijtihadiyah.

Sebagai contoh misalnya dalam masalah hukum jual-beli ‘inah (A menjaul barang kepada B dengan pembayaran terhutang, selanjutnya B menjual kembali barang itu kepada A dengan pembayaran kontan dan lebih murah dari harga pertama). Simaklah ucapan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:

أَخْبِرِي زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إلَّا أَنْ يَتُوبَ

“Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa ia telah menggugurkan nilai jihadnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ia tidak bertobat.” (Riwayat Ad Daraquthni dan Al Baihaqi)

Bila Anda kurang percaya, silahkan buka kitab Al Umm karya imam As Syafi’i. Padanya Anda akan dapatkan, bagaimana imam As Syafi’i membantah gurunya sendiri yaitu Imam Malik, begitu juga Abu Hanifah, Al Laits Bin Sa’ad dan lainnya.

Perlu dibedakan antara menyalahkan dengan menghormati. Urusan salah dan benar itu urusan dalil, mana yang terbukti dalilnya lebih kuat maka itulah yang benar dan sebaliknya adalah yang salah. Adapun urusan menghormati itu urusan harga diri seorang muslim. Dengan demikian tidak sepantasnya dicampuradukkan. Makanya dalam diskusi ini, walaupun saya menganggap pendapat Anda kurang benar akan tetapi saya tetap menghormati dan menghargai Anda sebagai seorang muslim yang berilmu.

[Komentar UPPS Buat AH]
//
Kalau yang diminta dalil yang termasuk dalam dairah ijtihad pasti tidak ada, sebab jika ada dalil atau nash runtuh atau tidak berlaku ijtihad.

Model transaksi kontemporer yang belum ada rujukannya zaman salaf shalih pasti metode ijtihad yang digunakan, bahwa hal tersebut adalah ijtihad DSN, dengan mengambil ijma ulama tentang bolehnya wakalah dalam melakukan perkara.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

UPPS, ucapan Anda ini menurut hemat saya sangat rancu. Betapa tidak, Anda mengesankan bahwa pada masalah ijtihadiyah tidak ada dalil secara mutlak. Padahal nyatanya tidak demikian.

Benar, bila yang Anda maksudkan dengan dalil ialah dalil yang dikategorikan sebagai (nash atau shorih), akan tetapi bila yang dimaksudkan ialah dalil secara mutlak, maka itu tidak benar. Karena itu artinya mengesankan ulama’ berijtihad tanpa dasar dalil sama sekali.

Saya yakin Anda mengetahui sepenuhnya bahwa dalam masalah-masalah ijithadiyah yang tidak ada dalil nash/sharih para ulama’ berusaha berpegang atau berusaha menerapkan dalil-dalil umum atau kaedah umum dalam syariat. Karena ijtihad menurut ulama’ terbagi menjadi dua:

  1. Ijtihad fi fahmi an nash (ijtihad dalam memahami dalil). Ijithad jenis ini pasti ada dalilnya.
  2. Ijtihad fi tathbiq an nash (penerapan ijtihad jenis pertama pada kejadian yang ada di masyarakat). Pada ijtihad jenis ini pun pasti ada dalilnya, baik dalil yang sharih atau keumuman suatu dalil dan yang serupa dengannya.

[Komentar UPPS Buat AH]
//
Dalil-dalil yang dinukil ust Badri itu sangat tepat diterapkan 100% dalam sektor riil atau person to person. Namun ketika dijalankan pada industri bank syariah khususnya di Indonesia berpotensi adanya constraint. Langkah ijtihad adalah solusi.
//

[Tanggapan Ustadz Muhammad Arifin Badri]

Saya tidak mempermasalahkan diperlukannya ijtihad dalam menyesuaikan aplikasi perbankan dan undang-undang yang ada agar selaras dengan syariat. Akan tetapi, itu tidak berarti ada kebebasan bagi kita untuk keluar dari ketentuan dan prisnip-prinsip perniagaan yang telah digariskan pada dalil-dalil yang ada.

Karenanya, bila peraturan dan aplikasi perbankan yang ada tidak bisa disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada, maka yang harus dirombak adalah perbankannya, kalo perlu dibuat badan usaha lain selain perbankan yang lebih bisa bebas dan leluasa mengembangkan perekonomian umat tanpa melanggar syariat. Misalnya dengan mendirikan perusahaan investasi, atau perusahaan multinasional yang bergerak dalam berbagai sektor perdagangan, industri, pemasaran, jasa dan lainnya.

Dan komentar ustadz ini menurt saya juga sebagai pengakuan lain bahwa praktek perbankan syariat yang ada masih sangat layak untuk dikritisi, bahkan disalahkan. Betapa tidak, perbankan yang ada hanyalah sebatas produk ijtihad segelintir orang saja. Tentunya produk ijitihad mereka masih menyisakan peluang untuk itu.

Oleh karena itu pada kesempatan ini saya menyeru kepada saudara-saudaraku sekalian untuk bersama-sama mengkritisi dan mengawasi hasil ijtihad beberapa saudara kita di perbankan syariat agar tidak terjadi kesalahan. Bila tidak, bisa-bisa terjadi pergeseran pemahaman terhadap syariat Islam, terutama yang berkaitan dengan berbagai akad dan unit usaha perbankan syariat. Wallahu a’alam bisshowab.

***

Artikel www.pengusahamuslim.com

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28