Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Fikih Ibadah

Cara Praktis Menghitung Zakat Maal

Segala puji hanya milik Allah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya, amiin.

Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan adalah untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allah Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, meninggalkan putranya yaitu Nabi Ismail ‘alaihissalaam di sekitar puing-puing Ka’bah, beliau berdoa:

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs. Ibrahiim: 37)

Inilah hikmah diturunkannya rizqi kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka, dan siksa baginya.

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34} يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَـذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (Qs. At Taubah: 34-35)

Ibnu Katsir berkata: “Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada menaati keridhaan Allah, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, maka kelak di hari kiyamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaannya. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak di hari kiyamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka.”(1)

Ibnu Hajar Al Asqalaani berkata: “Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allah (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebaginnya saja, adalah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci.”(2)

Dengan kata singkat, zakat adalah persyaratan dari Allah Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.

Nishab Zakat Emas dan Perak

Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia, dan dengannyalah harta benda lainnya di nilai. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.

عن علي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إذا كانت لك مائتا درهم وحال عليها الحول، ففيها خمسة دراهم، وليس عليك شيء يعني في الذهب حتى يكون لك عشرون دينارا، فإذا كان لك عشرون دينارا، وحال عليها الحول ففيها نصف دينار، فما زاد فبحساب ذلك. رواه أبو داود وصححه الألباني

Dari sahabat Ali radliyallaahu ‘anhu, ia meriwayatkan dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Bila engkau memiliki dua ratus dirham, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.” (Riwayat Abu Dawud, Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albani)

عن أبي سَعِيدٍ رضي الله عنه يقول: قال النبي صلى الله عليه و سلم: ليس فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ. متفق عليه

Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu dinyatakan:

.وفي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْر. رواه البخاري

“Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperempat puluh (2,5 %).” (Riwayat Al Bukhari)

Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:

  1. Nishab adalah batas minimal dari harta zakat yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu pada hadits riwayat Ali radliyallaahu ‘anhu di atas, Nabi shallallaahu alaihi wa sallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”

  2. Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat  gram emas.(3)

  3. Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) uqiyah, atau seberat 595 gram.(4)

  4. Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5 %.

  5. Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat).(5) Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:

Cara pertama: Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.

Cara kedua: Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negrinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.

Sebagai contoh: Bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran adalah Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.

Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Aku berpendapat bahwa tidak mengapa bagi seseorang untuk membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya orang fakir bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas, atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”(6)

Catatan penting pertama:

Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, kita membeli tiap 1gram seharga Rp 100.000, dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp 200.000, atau sebaliknya, pada saat beli 1 gram emas berharga Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp 100.000. Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat beli (7)

Nishab Zakat Uang Kertas

Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai macam cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan dari mereka menggunakan cara barter, yaitu tukar menukar barang. Akan tetapi tatkala mereka menyadari bahwa cara ini kurang praktis, -terlebih-lebih bila kebutuhannya dalam sekala besar- mereka berupaya mencari alternatif lain. Hingga pada akhirnya mereka mendapatkan bahwa emas dan perak, barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antara mereka, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.

Dan beberapa waktu silam, umat manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, merekapun kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak. Pada akhirnya ditemukanlah uang kertas, dan mulailah umat manusia menggunakannya sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.

Berdasarkan hal ini, maka para ulama’ menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum seperti peranan dan hukum uang dinar dan dirham. Dengan demikian berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat. (8)

Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5 % dari total uang yang ia miliki.

Untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut:

Andai: 1 gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp 200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp 25.000,-

Dengan demikian nishab zakat emas adalah: x Rp 200.000,- = Rp 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah: 595 x Rp 25.000 = Rp 14.875.000,-

Apabila pak Ahmad pada tanggal 1 Jumadits Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp 50.000.000 (lima puluh juta),- lalu uang tersebut ia tabungkan dan selama satu tahun uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas. Pada contoh kasus ini, maka pada tanggal 1 Jumadits Tsani 1429 H, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus beliau bayarkan adalah: Rp 50.000.000 x 2,5 % (atau Rp 50.000.000 : 40 ) = Rp 1.250.000

Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya.

Akan tetapi bila uang pak Ahmad berjumlah Rp 16.000.000,-, maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak yaitu Rp 14.875.000, akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.

Pada kasus semacam ini para ulama’ menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :

Rp 16.000.000 x 2,5 % (16.000.000 : 40) = Rp 400.000.

Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpian syeikh Abdul Aziz bin Baz pada keputusannya no: 1881 menyatakan: “Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.(9)

Catatan penting kedua:

Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama’ menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.(10)

Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, sedangkan harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya mencapai nishab. Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- dengan perhitungan sebagaimana berikut:

Rp 10.000.000 + 13.000.000 x 2,5 % (23.000.000 : 40) = Rp 575.000,-

Zakat Profesi

Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis beralasan: bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, mereka mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.

Bila kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

  1. Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi mengqiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.

  2. Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.

  3. Orang-orang yangmemfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma’ para ulama’ selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.

  4. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:

Sahabat Umar bin Al Khatthab radliyallaahu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, lalu iapun diberi upah oleh Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Pada awalnya, sahabat Umar radliyallaahu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” (Riwayat Muslim)

Seusai sahabat Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radliyallaahu ‘anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umarpun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu.” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqy)

Imam Al Bukhary juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu tentang hal ini:

لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.

“Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (Riwayat Bukhary)

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak perna ada satupun ulama’ yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).

Oleh karena itu ulama’ ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.”(11)

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya: “Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan diantara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul).”(12)

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berikut:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم

“Tidaklah shodakoh itu akan mengurangi harta kekayaan.” (Muslim)

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu ta’ala a’alam bis showaab.

Ustadz Muhammad Arifin bin Badri, M.A.

Footnote:


1 ) Tafsir Ibnu Katsir 2/351-352, hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalaani dalam kitabnya Fathul Bari 3/305.

2 ) Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalaani 3/305.

3 ) Penentuan nishab emas dengan gram, berdasarkan keputusan Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no: 5522. Adapun Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, maka beliau menyatakan bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya: Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il 18/130, & 133.

4 ) Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pada berbagai kitab beliau, diantaranya Majmu’ Fatawa wa Rasaail beliau 18/141.

5 ) Baca Subulus Salaam oleh As Shan’ani 2/129.

6 ) Majmu’ Fatawa wa Rasaail 18/155, demikian juga difatwakan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no: 9564

7 ) Majmu’ Fatawa wa Rasaail oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin 18/96.

8 ) Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konfrensi Komite Fiqih Islam dibawah Rabithah ‘Alam Al Islami, no: 6, pada rapatnya ke 5, tgl 8 s/d 16 Rabiul Akhir, thn 1402 H, dan juga pada keputusan Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no: 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/173.

9 ) Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/254, fatwa no: 1881 & Majmu’ Fatawa wa Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/125.

10 ) Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/125.

11 ) Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Poendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.

12 ) Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360

***

Sumber: Artikel ini merupakan kiriman dari Ustadz Muhammad Arifin bin Badri untuk pengusahamuslim.com atas jawaban dari pertanyaan tentang zakat maal yang di sampaikan di milis [email protected]

***

Punya pertanyaan masalah Hukum Perdagangan?

Bergabunglah di Milis Fatwa Perdagangan [email protected], milis ini disediakan bagi anggota milis pengusahamuslim.com yang ingin bertanya tentang berbagai masalah hukum perdagangan dengan Ustadz Pembina milis pengusahamuslim.com.

Untuk Bergabung, kirim email kosong ke: [email protected]
Untuk bertanya, kirim pertanyaan ke: [email protected]

Mohon bersabar jika pertanyaan tidak langsung dijawab, karena kesibukan Ustadz Pembina dan karena diperlukannya waktu untuk menyusun jawaban dan pencarian dalil-dalil yang mendukung jawaban.

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28