Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Muamalah

Tukar Tambah Perhiasan Emas

Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada satu pembahasan dalam kajian riba fadhl, yang dikenal dengan mud ajwah wa dirham (satu mud kurma ajwah dengan satu dirham). Yang dimaksud adalah tukar tambah barang ribawi yang sejenis, dan salah satunya ada tambahan benda lain yang tidak sejenis. Seperti 1 mud kurma ajwah plus 1 dirham, ditukar dengan 2 mud kurma ajwah. Karena itu dikenal dengan istilah mud ajwah wa dirham (satu mud kurma ajwah dengan satu dirham).

Contoh kasus yang banyak terjadi di tempat kita adalah tukar tambah perhiasan emas. Ada orang memiliki perhiasan emas yang sudah lama dipakai. Ketika ingin ganti yang baru, dia datang ke toko emas untuk ditukar dengan yang baru, tentu saja tambahan yang harus dia bayarkan.

Cicin emas lama + Rp xxx = cincin emas baru

Syaikhul Islam menjelaskan,

Bahwa kasus mud ajwah wa dirham itu ada 3 bentuk,

Pertama, tujuan utama adalah tukar tambah barang ribawi. Sementara barang yang tidak sejenis ditambahkan karena dijadikan sebagai tambahannya. Transaksi ini jelas hukumnya dilarang.

Sebagai contoh, 1 kg beras rojolele, ditukar dengan 1 kg beras ciherang + uang Rp 10rb.

Transaksi ini dilarang karena tujuan utama adalah menukar barang ribawi dengan yang sejenis, beras dengan beras. Kelebihan 10rb adalah riba fadhl.
Syaikhul Islam mengatakan,

فمتى كان المقصود بيع الربوي بجنسه متفاضلًا حرمت مسألة “مد عجوة” بلا خلاف عند مالك وأحمد وغيرهما

Jika tujuan utamanya transaksi benda ribawi dengan yang sejenis, disertai kelebihan, maka skema transaksi ‘mud ajwah’ ini hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat antara Imam Malik, Ahmad, dan yang lainnya.

(Majmu’ Fatawa, 29/27).
Kedua, tujuan utama adalah jual beli selain barang ribawi. Sementara barang ribawi statusnya mengikuti. Semacam ini dibolehkan.

Misalnya, tukar tambah pedang. Pedang bukan termasuk barang ribawi. Hanya saja, salah satu pedang mengandung emas, sementara satunya tidak mengandung emas. Untuk menutupi kekurangan harga, diberi tambahan uang.

Semacam ini dibolehkan, karena tujuan utama transaksi adalah tukar tambah pedang dan bukan emas.

Syaikhul Islam mengatakan,

القسم الثاني؛ أن يكون المقصود بيع غير ربوي مع ربوي وإنما دخل الربوي ضمنًا وتبعًا، كبيع … سيف فيه فضة يسيرة بسيف أو غيره، فهنا الصحيح في مذهب مالك وأحمد جواز ذلك

Bentuk kedua, tujuan utamanya transaksi selain barang ribawi dengan barang ribawi. Hanya saja, keberadaan barang ribawi sifatnya hanya mengikuti atau bagian kecil dari barang, misalnya jual beli pedang yang mengandung sedikit perak dengan pedang yang lain atau semacamnya…. Dalam kondisi ini, pendapat yang benar dalam Madzhab Malik dan Ahmad, hukumnya dibolehkan. (Majmu’ Fatawa, 461)
Kedua, tukar tambah barang ribawi karena masalah bentuk

Misalnya, tukar tambah cincin emas dengan emas batangan. Atau cincin lama dengan cincin baru.

Dalam kasus ini, jika ukuran emasnya diketahui, dan dibarter dengan ada tambahan, maka para ulama berbeda pendapat.

Misalnya, si A menukarkan 4 gr emas batangan dengan cincin emas ada ukirannya. Atau tukar tambah antara cincin emas polos 5 gr, dengan cincin emas yang ada mata permatanya. Kita bisa memastikan, bahwa tambahan itu sebagai ganti atas jasa pembuatan ukir atau mata cincin.
Syaikhul Islam mengatakan,

القسم الثالث: أن يكون كلا الأمرين مقصودًا، مثل أن يكون على السلاح ذهب أو فضة كثير؛ فهذا إذا كان معلوم المقدار وبيع بأكثر من ذلك ففيه نزاع مشهور، والأظهر أنه جائز

Bentuk yang ketiga, barter dengan tujuan keduanya, seperti tukar tambah pedang, sementara pedang itu mengandung banyak emas atau perak. Untuk kasus ini, jika emas atau peraknya beratnya diketahui, dan ditukar dengan ada tambahan, di sana ada perbedaan pendapat. (Majmu’ al-Fatawa, 29/464).

Menurut Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim (I’lam al-Muwaqqi’in, 4/32), transaksi ini dibolehkan. Karena kelebihan yang diberikan sebagai ganti dari proses produksi, dan tujuannya bukan untuk kamuflase riba.

Sementara itu, Imam Malik, Imam as-Syafii, dan Imam Ahmad bahwa model transaksi semacam ini hukumnya terlarang mutlak. Karena ini merupakan termasuk riba. dan Dr. Soleh al-Fauzan menyatakan bahwa ini pendapat yang lebih mendekati dalam rangka syaddu ad-Dzari’ah (menutup celah) terjadinya riba. (Min Fiqh al-Muamalat, hlm. 110).

Allahu a’lam.

PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28