Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Muamalah

Amanah Menjadi Barang Langka

pegawai tidak amanah

Pegawai tidur

Pegawai yang Amanah

Oleh: ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Menjadi pegawai yang amanah dan ikhlas dalam bekerja sungguh sangat sulit ditemukan saat ini. Betapa sering kita lihat pegawai tidak ontime dalam jam masuk kerja, ketika jam kerja malah terlihat beberapa yang berada di pusat perbelanjaan. Korupsi pun sering terjadi, baik dalam hal korupsi waktu, korupsi aset, dan korupsi uang jalan. Gratifikasi dan suap menyuap pun menjadi hal yang biasa di tengah-tengah mereka. Padahal, setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang kita perbuat, baik kita sebagai atasan atau pun bawahan.

Perintah untuk Menunaikan amanah

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,

Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak” (QS. An Nisaa’: 58).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah padamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Abu Daud no. 3535, Tirmidzi no. 1264 dann Ahmad 3: 414, shahih).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Hendaklah kalian menunaikan hak pada yang berhak menerimanya, karena nanti akan dituntut qishash untuk kambing yang tidak bertanduk dari kambing yang bertanduk” (HR. Muslim no. 2582).

Orang yang berkhianat terhadap amanah-pun menyandang salah satu sifat munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanah, maka ia ingkar” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti kelakuan munafik. Karena yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki tanda-tanda tersebut” (Syarh Muslim, 2: 47).

Seseorang yang Dikatakan amanah

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menunaikan amanah yang dimaksudkan adalah umum mencakup segala yang diwajibkan pada seorang hamba, baik hak Allah atau hak sesama manusia” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 124).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “amanah adalah segala sesuatu yang diemban oleh seseorang yang diperintahkan untuk ditunaikan. Perintah Allah untuk menunaikan amanah sudah amat sempurna, perintah tersebut tidak kurang dan tidak bertele-tele. Termasuk dalam memegang amanah adalah dalam hal kekuasaan dan harta, juga menjaga rahasia. Begitu pula termasuk amanah adalah menjalankan perintah Allah yang di mana Allah yang langsung mengawasi hal ini. Para fuqoha menyebutkan bahwa orang yang dibebani amanah, hendaklah ia benar-benar menjaganya. Mereka berkata bahwa seseorang tidak disebut menunaikan amanah melainkan dengan menjaganya, dan hukumnya adalah wajib. Dan amanah di sini mesti ditunaikan pada ahlinya. Ini menunjukkan bahwa amanah tersebut jangan ditunaikan pada orang lain. Orang yang menjadi wakil sama halnya dengan orang yang memberikan amanah. Jika amanah ini diserahkan pada orang lain, maka itu berarti seseorang tidak menunaikan amanah dengan benar” (Taisir Al-Karimir Rahman, 183).

Penjelasan dua ulama di atas menunjukkan bahwa penunaian amanah ini adalah umum. Ada amanah yang berkaitan dengan hak Allah yaitu menjalankan setiap yang Allah perintahkan dan menjauhi segala yang Allah larang. Jika seseorang berbuat syirik, melakukan tumbal, meminta syafa’at kepada selain Allah, maka orang seperti ini tidaklah amanah karena kita diperintahkan untuk mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam bentuk kesyirikan. Jika seseorang melakukan suatu amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti melakukan dzikir jama’ah dengan dikomandoi, melaksanakan puasa khusus pada hari ulang tahunnya, atau memeriahkan perayaan non muslim, ini adalah bentuk tidak amanah. Berkaitan dengan hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap muslim diperintahkan untuk mengikuti tuntunannya dan tidak membuat ajaran baru yang tidak pernah beliau contohkan. Begitu pula orang yang bermaksiat kepada Allah, berlaku tidak jujur, tidak amanah, berzina, dan menginjak kehormatan saudaranya, ini tidak disebut amanah.

Mengemban amanah juga berkaitan dengan hak sesama. Seorang istri punya kewajiban untuk taat pada suami, menjaga kehormatannya, dan tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin atau ridho suami. Jika ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri, maka ia berarti tidak amanah. Begitu pula suami yang tidak mempedulikan nafkah keluarga, berlaku kasar pada istri serta tidak mempedulikan keadaan agama istri dan anak-anaknya adalah suami yang tidak amanah.

Pegawai yang amanah

Pegawai yang disebut amanah berarti yang memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai pegawai. Di antara tanda pegawai yang amanah terhadap kewajibannya:

  1. Jika telah ada ketetapan waktu awal dan akhir kerja, maka ia harus memenuhi aturan tersebut. Tidak boleh seorang pegawai telat datang kerja dan lebih awal pulang atau ketika jam kerja malah berada di pusat perbelanjaan.
  2. Tidak menggunakan fasilitas kantor seperti mobil atau kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi.
  3. Tidak memanipulasi sisa uang perjalanan dinas. Beberapa pegawai ada yang sengaja memanipulasi laporang keuangan perjalanan dinas dan mengambilnya untuk masuk ke kantongnya sendiri.
  4. Tidak menerima suap dan segala bentuk gratifikasi. Seorang sipir penjara, tidak boleh menerima uang dari pengunjung yang ingin menjenguk saudaranya karena hal ini termasuk ghulul atau hadiah khianat. Begitu pula seorang pejabat tidak boleh menerima parcel karena hadiah semacam ini lebih menjurus pada sogok. Seandainya ia bukan penjaga sipir atau bukan sebagai pejabat berpangkat eselon, tentu ia tidak akan mendapatkan hadiah atau parcel tersebut. Dalam hadits disebutkan, “Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat)” (HR. Ahmad 5: 424, shahih). Ibnu Habib menjelaskan, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya hadiah yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja (bawahan) dan penarik pajak.”

Cobalah kita lihat bagaimana akibat yang menimpa pegawai atau pekerja yang tidak amanah.

Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar, beliau memuji Allah kemudian bersabda,

“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!” Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.“

Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali) (HR. Bukhari no. 7174 dan Muslim no. 1832).

Semoga Allah memberi taufik kepada kita dalam mengemban setiap amanah dan moga kita terhindar dari sifat khianat. [Majalah Pengusaha Muslim]

PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28