Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan

Hukum Barang Yang Tidak Kunjung Diambil Oleh Pemiliknya

Tidak jarang, kita jumpai pakaian bertumpuk di tempat laundry atau di tempat penjahit karena tidak kunjung diambil oleh pemiliknya. Demikian pula, pesanan sepatu di tempat tukang sepatu atau pun sepatu yang telah selesai diperbaiki oleh tukang sol, namun lama tidak diambil oleh pemiliknya. Apa yang harus dilakukan oleh pemilik laundry, penjahit, pembuat sepatu, dan tukang sol terhadap barang-barang yang menumpuk di tempat mereka?

Jika barang tersebut tidak boleh diapa-apakan selamanya, dengan alasan, itu adalah barang dan harta milik orang lain maka tentu saja tempat usaha akan penuh dengan barang-barang semacam ini. Solusi apa yang diberikan oleh para ulama fikih untuk kasus semacam ini?

Jawaban pertanyaan di atas bisa kita jumpai dalam bahasan berbentuk tanya-jawab yang ada di bawah ini. Selamat menikmati ….

Pertanyaan, “Saya memiliki kawan yang berprofesi sebagai penjahit. Banyak orang yang membawa bakal pakaian untuk dijahitkan oleh kawan saya tersebut. Terkadang, sebagian orang tidak mengambil jahitan pesanannya sampai bertahun-tahun lamanya. Apa yang harus dilakukan oleh kawan saya, padahal kawan saya tidak ingat secara pasti pemilik pesanan tersebut satu per satu?”

Jawaban, “Seorang penjahit hendaknya menetapkan persyaratan kepada para pelanggan bahwa pesanan jahitan sudah harus diambil dalam rentang waktu tertentu; dua bulan semenjak jadinya pesanan, misalnya. Jika setelah lebih dari waktu yang telah ditentukan ternyata pesanan jahitan tidak kunjung diambil maka pihak penjahit tidak lagi bertanggung jawab atas pesanan yang telah selesai dibuat tersebut. Jika waktu maksimal pengambilan telah berakhir namun ternyata pesanan tidak kunjung diambil maka barang pesanan tersebut bisa disedekahkan kepada fakir miskin atau dijual, dan sebagian dari hasil penjualan tersebut diambil oleh penjahit sebagai biaya jahitan, sedangkan kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin atas nama pemilik pesanan.

Adapun jika pihak penjahit tidak menetapkan persyaratan maka pakaian pesanan tersebut tidak boleh diapa-apakan kecuali saat kita sudah putus harapan akan diambilnya pesanan tersebut. Jika pesanan tidak kunjung diambil dalam waktu yang lama dan kita sudah putus asa akan datangnya pemesan, pakaian tersebut bisa disedekahkan kepada fakir miskin atau pakaian tersebut dijual lalu uang hasil penjualannya disedekahkan kepada fakir miskin setelah dikurangi biaya jahitan.

Syekh Musthafa Al-Ruhaibani mengutip penyataan Syekhul Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah, yang mengatakan, ‘Jika seseorang memegang barang hasil rampasan, pinjaman, titipan, atau barang gadai, dan dia putus asa untuk bisa melacak posisi pemilik barang tersebut saat ini, maka menurut pendapat yang benar, barang tersebut disedekahkan atas nama pemiliknya. Terus-menerus memegang harta milik orang yang tidak bisa diharapkan kembali mengambil barangnya adalah tindakan yang tidak bermanfaat. Bahkan, tindakan ini menyebabkan barang tersebut akhirnya rusak sia-sia atau dikuasai oleh orang-orang yang zalim.

Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud membeli seorang budak perempuan. Ketika beliau masuk rumah untuk mengambil uang lalu beliau keluar, ternyata beliau tidak lagi menjumpai si penjual. Akhirnya, uang yang sedianya digunakan untuk membeli budak tersebut beliau sedekahkan kepada sejumlah fakir miskin, sambil beliau berdoa, ‘Ya Allah, pahala sedekah tersebut adalah untuk si pemilik budak.’

Demikian pula, ketika sebagian tabiin ditanya mengenai orang yang melakukan ghulul (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan), lalu dia bertobat setelah semua orang yang ikut berjihad bubar ke rumahnya masing-masing, (maka tabiin tersebut) memberikan fatwa agar harta itu disedekahkan atas nama semua orang yang telah turut berjihad. Fatwa ini disetujui oleh para sahabat dan tabiin yang mengetahuinya, semisal Muawiyah dan para ulama negeri Syam yang ada di zaman itu.

Walhasil, dalam syariat, orang yang tidak diketahui lagi keberadaannya memiliki status seperti orang yang memang sudah tidak ada. Allah berfirman (yang artinya),

Allah tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya.’ (QS. Al-Baqarah:286)

Bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal kemampuan kalian.‘ (QS. At-Taghabun:16)

Nabi juga bersabda, ‘Jika aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka lakukanlah semaksimal kemampuan kalian.’ (HR. Bukhari, no. 6858 dan Muslim, no. 412; dari Abu Hurairah)

Jadi, perintah yang Allah bebankan kepada kita itu wajib kita lakukan, jika kita mampu melakukannya dan mungkin bagi kita untuk mengerjakannya. Dengan demikian, (jika) kita tidak mampu memenuhi kewajiban, yaitu kewajiban mengetahui keberadaan pemilik barang, sehingga kita tidak mampu mengerjakannya, maka kewajiban tersebut tidak lagi wajib atas kita.’ Sekian kutipan perkataan Ibnu Taimiyyah.

Dengan syarat, memiliki kesanggupan untuk memberikan ganti rugi tersebut kepada pemilik barang, jika kita mengetahui siapa pemilik barang tersebut. Menyedekahkan barang milik orang lain tanpa adanya kesiapan untuk memberikan ganti rugi adalah tindakan menyia-nyiakan harta milik orang lain.” Sekian kutipan dari Mathalib Ulin Nuha, 4:65. Silakan baca Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah, 29:321.

Dalam Fatawa Lajnah Daimah, 15:404, terdapat pertanyaan sebagai berikut, “Ada penjahit pakaian yang berasal dari Pakistan yang membuka usaha di ruko sebelah ruko kami. Sekarang, penjahit tersebut sudah kembali ke Pakistan dan tidak akan kembali ke Saudi. Di ruko jahitnya, terdapat sebuah jaket, milik seseorang bernama ‘Musfir’, yang telah selesai diperbaiki. Penjahit tersebut meminta saya untuk mengambil jaket tersebut dan menyimpannya sampai pemilik jaket datang mengambil jaketnya. Oleh karena itu, si penjahit telah meminta uang biaya perbaikan jaket kepada saya.

Dia mengatakan bahwa jika pemilik jaket itu datang mencari jaketnya maka dia berharap agar kami menyerahkan jaket tersebut kepadanya dan meminta ganti uang biaya perbaikan jaket darinya. Namun, sampai detik ini, pemilik jaket tidak kunjung datang mengambil jaket, padahal jaket tersebut telah berada di tempat saya selama hampir dua tahun. Apa yang harus saya lakukan dengan jaket tersebut? Semoga Allah memberi balasan kepada Anda dengan seribu kebaikan.”

Jawaban para ulama yang duduk di Lajnah Daimah, “Jika realitanya adalah sebagaimana yang Anda sampaikan, maka jaket tersebut bisa dijual lalu anda mengambil sebagian hasil penjualannya, sebagai pengganti biaya perbaikan jaket. Adapun sisa hasil penjualan, disedekahkan kepada fakir miskin, dengan niat bahwa pahala sedekahnya diperuntukkan bagi pemilik jaket.

Jika ternyata, pada akhirnya, pemilik jaket datang mencari jaketnya maka ceritakanlah realita yang telah terjadi. Jika dia berkenan maka itulah yang memang diharapkan. Namun, jika ternyata dia tidak berkenan, Anda bisa menyerahkan kepadanya pengganti dari uang penjualan jaket, setelah dikurangi biaya perbaikan jaket. Jika demikian, maka pahala sedekah yang Anda lakukan itu adalah untuk Anda, insya Allah. Jika harga jaket tersebut ditaksir, lalu seluruh nilainya disedekahkan, maka itu adalah perbuatan yang lebih afdal dan Anda mendapatkan pahala atas uang yang telah Anda serahkan kepada penjahit.”

Syekh Ibnu Utsaimin mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Ada sebuah laundry yang memiliki beberapa pakaian yang tidak kunjung diambil oleh pemiliknya, padahal pakaian tersebut telah ada di tempat laundry ini selama lebih dari dua bulan. Keberadaan pemilik pakaian juga tidak diketahui, padahal, di antara poin perjanjian yang tercantum di nota laundry adalah bahwa pihak laundry tidak bertanggung jawab atas pakaian yang tidak diambil oleh pemiliknya setelah lebih dari dua bulan. Apakah pemilik laundry boleh memanfaatkan pakaian tersebut, boleh jadi untuk dipakai, dijual, atau pun disedekahkan? Jika pemilik laundry memanfaatkannya kemudian ternyata pemiliknya datang setelah pakaian tersebut dijual, apakah ada kewajiban untuk menyerahkan uang hasil penjualan pakaian tersebut kepadanya ataukah tidak?”

Jawaban Ibnu Utsaimin, “Jika sudah ada perjanjian bahwa jika pemilik pakaian tidak mengambil pakaiannya setelah dua bulan maka pihak laundry tidak bertanggung jawab, pemilik pakaian itu tidak punya hak untuk menuntut, karena ini adalah kesalahannya. Sehingga, jika telah genap dua bulan maka pemilik laundry bisa menyedekahkan pakaian tersebut kepada orang miskin yang mau menerima dan memakainya, atau pakaian tersebut dijual lantas hasil penjualannya disedekahkan. Namun, kami memberi saran agar menunggu sepuluh atau lima belas hari lagi setelah genap dua bulan, karena boleh jadi pemilik pakaian telah pulang dari bepergian jauh, tetapi saat ini mobilnya sedang mogok karena lama tidak dipakai atau orang tersebut sedang sakit. Jadi, yang lebih baik adalah menunggu lebih lama sedikit, baru kemudian memanfaatkannya.” (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 215, pertanyaan no. 11)  

Ibnu Utsaimin juga mengatakan, “Jika di antara keduanya ada perjanjian batas akhir pengambilan, lalu jika batas akhir telah tiba, pemilik laundry memiliki hak untuk bersedekah dengannya, atau menjual pakaian tersebut kemudian hasil penjualannya disedekahkan kepada fakir miskin. Namun, jika tidak ada batas akhir pengambilan maka pemilik laundry tidak boleh menjualnya setelah satu atau dua bulan.

Pemilik laundry tidak boleh menjual atau menyedekahkan pakaian tersebut kecuali setelah dia putus asa untuk bisa bertemu dengan pemilik pakaian. Jika pemilik laundry sudah putus harapan maka pemilik laundry berhak memanfaatkannya dengan bentuk pemanfaatan yang diperbolehkan, karena tidak mungkin selamanya kita membuat tempat laundry ini penuh dengan pakaian dan karpet cucian yang tidak diambil-ambil.” (Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, kaset no. 215, pertanyaan no. 19)

Diterjemahkan dari:
http://islamqa.com/ar/ref/147662  

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28