Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan, Kontemporer

Transaksi Oper Kontrak

Dalam keseharian, kita sering menjumpai transaksi berbentuk oper kontak, baik rumah maupun ruko dagang. Apa hukum transaksi ini dalam pandangan para ulama yang berkompenten?

Masalah ini dibahas oleh para ulama dalam materi pembahasan “badal khuluw”, yang dalam tinjauan bahasa Arab bermakna “kompensasi dari pengosongan tempat”.

Adapun secara istilah, didefinisikan dengan “sejumlah harta yang diserahkan oleh seseorang sebagai kompensasi untuk orang yang memanfaatkan aktiva tetap, semisal tanah, rumah, dan ruko dagang yang merelakan hak pemanfaatan aktiva tetap tersebut”.

Badal khuluw ini bisa dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:

Kategori pertama: pemilik mengambil badal khuluw dari penyewa pada saat transaksi.

Dalam kasus ini terdapat dua pendapat ulama. Ada yang berpendapat bahwa uang yang diambil pemilik dalam hal ini adalah diperbolehkan, karena harta tersebut adalah hartanya. Dengan demikian, dia bisa menyewakannya sesuka hatinya. Jadi, pada hakikatnya, sesuatu yang diambil oleh pemilik adalah uang sewa yang dibagi menjadi dua bagian, ada yang dibayar di muka dan ada yang dibayarkan kemudian hari, sedangkan semacam ini diperbolehkan dengan sepakat ulama, baik diberi nama upah sewa atau pun badal khuluw.

Ada juga yang melarang, dengan argumen bahwa ini adalah uang yang tidak beralasan dan tidak bisa dibenarkan, sehingga dinilai termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Pendapat kedua itu kurang tepat karena pemilik mempunyai hak untuk meminta tambahan upah dan inilah hakikat badal khuluw dalam kasus ini. Jadi, yang benar adalah pendapat yang memperbolehkan.

Kategori kedua: badal khuluw yang diambil oleh penyewa dari pemilik.

Kasus ini perlu dirinci menjadi dua. Yang pertama, badal khuluw ini terjadi sesudah masa sewa berakhir. Jika demikian, maka penyewa tidak memilik hak untuk menerima badal khuluw, karena pemilik boleh saja menyewakan kembali kepadanya atau pun kepada orang lain.

Akan tetapi, jika penyewa membuat bangunan baru atau tambahan bangunan pada tempat yang dia sewa dengan seizin pemilik, maka jika bangunan tersebut bisa dipindah, wajib dipindah. Akan tetapi, jika tidak memungkinkan untuk dipindah, maka penyewa bisa meminta ganti kepada pemilik. Terlebih lagi, jika bangunan tersebut akan berkurang nilainya jika dipaksakan untuk dipindahkan.

Yang kedua, badal khuluw sebelum masa sewa berakhir. Terdapat dua pendapat ulama dalam kasus ini disebabkan adanya perbedaan pandangan tentang status hukum untuk membatalan transaksi sewa yang dilakukan oleh pihak pemilik.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa itu uang haram, karena pembatalan transaksi (iqalah) adalah fasakh (sekadar pembatalan, bukan transaksi baru). Adapun pembatalan transaksi dalam sewa, jual-beli, dan lain-lain hanya boleh dengan menyerahkan kembali uang yang telah disepakati, baik pembatalan terjadi setelah serah-terima barang atau pun sebelum serah-terima. Penambahan biaya dalam pembatalan transaksi bahkan dinilai sebagai persyaratan yang batil. Jadi, dalam pembatalan transaksi yang dilakukan oleh penyewa tidak terdapat penambahan atau pun pengurangan dari biaya yang telah disepakati di awal transaksi.

Di satu sisi, ulama-ulama Mazhab Maliki dan Abu Yusuf (murid senior Abu Hanifah) memperbolehkan. Hal ini karena, dalam pandangan para ulama tersebut, pembatalan transaksi (iqalah) adalah transaksi baru. Jadi, pemilik boleh menyerahkan uang tambahan, lebih dari uang sewa yang sudah diterima, sebagai kompensasi dari pembatalan transaksi yang dia lakukan.

Pendapat yang terkuat adalah pendapat mayoritas ulama. Perselisihan pendapat di atas berlaku jika terdapat perjanjian antara penyewa dengan pemilik pada awal transaksi. Akan tetapi, jika pemilik dengan suka rela memberikan uang tambahan kepada penyewa, maka diperbolehkan.

Kategori ketiga: badal khuluw yang diterima penyewa dari penyewa baru.

Inilah yang disebut dalam bahasa keseharian sebagai “oper kontrak”. Badal khuluw dalam kondisi ini dirinci menjadi dua.

Yang pertama, sesudah masa sewa berakhir. Dalam kondisi ini, badal khuluw tidak diperbolehkan karena ini berarti menyewakan milik orang lain tanpa persetujuan pemilik.

Yang kedua, sebelum masa sewa berakhir. Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama. Ulama yang memperbolehkan (semisal Ibnu ‘Abidin dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, Syekh ‘Ilyasy, Zarqani, dan Hamusi dari kalangan ulama-ulama Mazhab Maliki, serta sebagian ulama Mazhab Hambali) membawakan beberapa alasan:

  1. Hal ini sudah membudaya di tengah masyarakat, sedangkan budaya dan kebiasaan yang tidak bertabrakan dengan syariat itu diperbolehkan.
  2. Dalam kondisi ini, badal khuluw adalah hak milik manfaat, bukan hak milik pemanfaatan. Orang yang memiliki hak milik pemanfaatan hanya boleh memanfaatkan untuk kepentingannya sendiri, tidak boleh menyewakan, menghadiahkan, dan meminjamkan. Adapun pemilik manfaat boleh menyewakan, menghadiahkan, dan meminjamkan, selain bahwa dia boleh memanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Jadi, barang sewaan tersebut bisa dimanfaatkan oleh penyewa atau pun orang lain. Sebagaimana penyewa punya hak untuk melepas hak sewanya dengan mendapatkan kompensasi dari pihak lain, atau pun tidak mendapat kompensasi apa pun.
  3. Alasan lainnya adalah memperbolehkan menerima badal khuluw merupakan kebutuhan yang cukup mendesak, sehingga dengan memperbolehkannya menyebabkan hilangnya kesempitan.

Adapun ulama yang mengharamkan badal khuluw dalam kasus ini, memberikan beberapa alasan:

  1. Penyewa tidak memiliki hak untuk menyewakan kecuali dengan seizin pemilik barang, karena hal tersebut menyebabkan pemilik terhalangi untuk mengatur hartanya sendiri.

    Alasan ini jelas tidak tepat, karena penyewa hanya menyewakan barang tersebut sehingga mendapatkan badal khuluw hanya sampai masa sewa berakhir.

  2. Mereka juga beralasan bahwa penyewa tidak diperbolehkan menyewakan dengan biaya sewa yang lebih mahal daripada biaya sewa yang telah dia bayarkan.

    Beralasan dengan pernyataan di atas jelas bermasalah, karena masalah yang dijadikan dasar berargumen tersebut diperselisihkan ulama. Bahkan, pendapat yang benar adalah boleh menyewakan dengan harga sewa yang lebih mahal. Inilah pendapat mayoritas ulama dan merupakan pendapat Imam Syafi’i, serta inilah pendapat yang dinilai sebagai pendapat yang benar di kalangan ulama Mazhab Hambali. Alasan mayoritas ulama adalah bahwa sewa itu hak milik manfaat, sedangkan hukum untuk manfaat itu sama persis dengan hukum benda.

Adapun ulama-ulama Mazhab Hanafi melarang penyewa menyewakan barang dengan harga sewa yang lebih mahal, kecuali jika penyewa pertama telah mengadakan renovasi bangunan atau membuat bangunan tambahan.

Ringkasnya, pendapat yang tepat adalah: penyewa boleh menerima badal khuluw dari penyewa baru yang menggantikannya.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28