Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia

Artikel, Hukum Perdagangan, Kontemporer

Hak Kekayaan Intelektual Dalam Islam

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi Muhammad, kepada keluarga dan sahabatnya.

Kehidupan umat manusia terus mengalami pergeseran dan perubahan. Demikian juga dengan pola pikir dan persepsi mereka tentang suatu urusan, dari hari ke hari, terjadi perubahan dan perkembangan.

Fenomena alam ini bukan hanya terjadi pada satu aspek kehidupan saja, akan tetapi terjadi pada seluruh aspek kehidupan mereka, termasuk dalam urusan harta benda dan perniagaan.

Betapa banyak barang yang pada zaman dahulu, dianggap memiliki nilai ekonomis tinggi, akan tetapi sekarang, nilai barang tersebut telah sirna. Masyarakatpun telah memandangnya dengan sebelah mata bahkan mungkin saja tidak lagi memiliki nilai ekonomis sedikitpun.

Sebaliknyapun demikian, betapa banyak barang yang dahulu tidak bernilai ekonomis sedikitpun, akan tetapi sekarang barang tersebut bernilai jual tinggi.

Dahulu, siapakah yang sudi membeli oksigen (udara) dengan harga mahal? Apalagi membeli, membayangkannya saja mungkin tidak. Akan tetapi di zaman kita, oksigen telah menjadi barang yang dapat diperjual-belikan, dan bahkan memiliki nilai ekonomis tinggi.

Diantara hal yang dahulu tidak bernilai ekonomis, akan tetapi pada zaman kita bernilai ekonomis besar ialah kekayaan intelektual.

Pada konsep kehidupan zaman dahulu, bila seseorang dengan –dengan izin Allah- berhasil menemukan suatu gagasan, atau karya, maka selanjutnya masyarakat dapat menggunakan karya atau gagasan tesebut. Mereka menggunakannya tanpa perlu memberi imbalan apapun selain ucapan dan doa baik untuk penggagasnya.

Sering kali, pihak yang mendapatkan keuntungan materi dari karya tersebut bukannya penggas, akan tetapi orang-orang yang berprofesi sebagai juru tulis atau yang disebut dengan al warraq atau yang semisal dengannya.

Pada sejarah kehidupan ulama’ Islam, sering kali kita menemukan tokoh-tokoh yang mata pencahariannya ialah menyalin ulang suatu kitab. Misalnya Malik bin Dinar wafat thn 127 H, beliau dikenal sebagai penulis handal, sehingga ia menulis Al Qur’an Al Karim dalam 4 bulan. (Siyar A’alam An Nubala’ 5/364)

Bahkan Imam Ahmad bin Hambal pernah membeli baju dengan uang yang ia peroleh dari  menuliskan hadits-hadits yang pernah ia riwayatkan dari Sufyan bin Uyainah. (Siyar A’alam An Nubala’ 11/191-192)

Dua kisah ini dapat menjadi petunjuk bagi kita dalam mengenali pandangan masyarakat kala itu tentang harta kekayaan.

Adakah Kekayaan Intelektual Dalam Syari’at?

Cara pandang umat manusia pada zaman dahulu tentang kekayaan intelektual, maka bukan berarti cara pandang itu dapat anda terapkan begitu saja di masa kini. Yang demikian itu dikarenakan pada zaman sekarang, cara pandang masyarakat telah berubah. Masyarakat telah memperluas sudut pandang mereka tentang arti harta kekayaan. Bila pada zaman dahulu kekayaan hanya terbatas pada materi, maka di zaman sekarang kekayaan telah mencakup berbagai hal-hal lain.

Di zaman sekarang, kekayaan telah mencakup hal-hal non materi, diantaranya kekayaan intelektual, hak cipta, rahasia dagang, merek dagang dan lainnya.

Perubahan persepsi masyarakat semacam ini dalam syari’at Islam dapat diterima, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam menentukan hukum. Kesimpulan ini berdasarkan beberapa alasan berikut:

1. Syari’at Islam datang bukan untuk mengekang urusan hidup umat manusia. Akan tetapi Islam datang untuk memfilter aktifitas dan tradisi mereka; yang menguntungkan dipertahankan dan disempurnakan, sedang yang merugikan dijauhkan. Karena itu, setiap perintah agama pasti manfaatnya lebih besar dari kerugiannya dan sebaliknya, setiap larangan agama, pasti kerugiannya melebihi manfaatnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 1/138)

Bila demikian adanya, maka pengakuan dan penghargaan masyarakat internasional terhadap kekayaan intelektual seseorang, tidak bertentangan dengan Syari’at. Karena pengakuan ini, mendatangkan banyak kemaslahatan bagi umat manusia. (Qararat Al Majma’ Al Fiqhi Al Islami hal: 192.

2. Harta kekayaan atau yang dalam bahasa arab disebut dengan al maal –sebagaimana ditegaskan oleh Imam As Syafii- adalah: “Setiap hal yang memiliki nilai ekonomis sehingga dapat diperjual-belikan, dan bila dirusak oleh orang lain, maka ia wajib membayar nilainya, walaupun nominasi nilainya kecil.” (Al Umm 5/160)

Atau: “Segala sesuatu yang bermanfaat atau dapat dimanfaatkan, baik berupa benda atau kegunaan benda”, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Az Zarkasyi. (Al Mantsur fil Qawaid oleh Muhammad bin Bahadar Az Zarkasyi As Syafi’i 3/222)

Atau: “Segala sesuatu yang kegunaannya halal walau tidak dalam keadaan darurat”, sebagaimana diungkapkan oleh para ulama’ mazhab Hambali. (Syarah Muntahal Iradaat oleh Al Bahuti 2/7)

Dengan demikian, sebutan harta kekayaan menurut para ulama’ mencakup kekayaan intelektual, karena kekayaan intelektual mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis.

Dalil Bagi Pengakuan Terhadap Kekayaan Intelektual

Setelah anda mengetahui bahwa pemahaman tentang harta kekayaan menurut para ulama’ mencakup kekayaan intelektual, maka berikut beberapa dalil yang menguatkan pemahaman tersebut.

Dalil pertama:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (Qs. An Nisa’: 29)

Ayat ini dengan tegas mensyaratkan agar anda tidak menggunakan harta kekayaan orang lain, kecuali melalui perniagaan yang di dasari atas asas suka-sama suka. Dan anda telah mengetahui bahwa kekayaan intelektual, adalah salah satu bentuk harta kekayaan seseorang. Sudah barang tentu pemilik kekayaan intelektual tidak rela bila anda menggandakan hasil karyanya dengan tanpa seizin darinya.

Sebagaimana tidak diragukan bahwa sebelum seorang menghasilkan buku atau suatu program, atau karya seni, telah mengorbankan banyak hal, waktu, tenaga, pikiran, pekerjaan dan tidak jarang urusan keluarganya. Semua itu ia korbankan demi menghasilkan karya ilmiah atau program yang berguna tersebut. Bila demikian, maka sudah sepantasnya anda memberikan penghargaan yang setimpal atas pengorbanannya tersebut.

Imbalan yang dipungut oleh seorang penulis buku atau pembuat suatu program sama halnya dengan upah atau gaji yang didapatkan oleh seorang guru. Keduanya sama-sama telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan banyak hal demi mewujudkan sesuatu yang berguna bagi orang lain.

Pada suatu hari, Ibnu Futhais bertanya kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakam wafat thn: 268 H perihal Ahmad bin Abdurrahman bin Waheb yang tidak sudi membacakan hadits-hadits riwayatnya kecuali bila diberi upah. Mendengar pertanyaan itu, Muhamad bin Abdullah bin Abdil Hakam berkata: Semoga Allah mengampunimu, apa salahku bila aku tidak sudi membacakan riwayat-riwayatku sebanyak satu halaman kecuali bila kalian membayarku satu dirham? Siapakah yang mengharuskan aku untuk bersabar duduk sesiangan bersama kalian, sehingga aku menterlantarkan pekerjaan dan keluargaku? (Siyar A’alam An Nubala’ oleh Az Zahabi 12/322).

Dalil kedua:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عن رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم:إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ. متفق عليه

Sahabat Ibnu ‘Abbas meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya hal yang paling layak untuk engkau pungut upah karenanya ialah kitabullah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bila anda dibolehkan memungut upah karena mengajarkan bacaan atau hafalan Al Qur’an, maka lebih layak lagi bila anda memungut upah karena mengajarkan berbagai kandungan ilmu yang tersurat dan tersirat padanya, baik pengajaran tersebut anda lakukan secara lisan atau melalui tulisan.

Anda pasti menyadari bahwa: jerih payah yang anda curahkan guna mengajarkan berbagai ilmu yang terkandung dalam Al Qur’an lebih besar dibanding yang anda curah untuk mengajarkan bacaannya.

Bila ini terjadi pada pengajaran ilmu-ilmu Al Qur’an, sudah barang tentu ilmu-ilmu lain yang tidak ada kaitannya dengan Al Qur’an, lebih layak untuk dibolehkan.

Tidak heran bila karya tulis Imam Abu Nu’aim Al Asbahani As Syafi’i wafat thn: 430 H, yang berjudul: Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, semasa hidupnya dijual di kota Naesaabur seharga 400 dinar. (Thabaqaatus Syafi’iyah Al Kubra oleh Tajuddin As Subki 4/21)

Dan kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al Asqalaani wafat thn: 852 H, di masa hidupnya telah dijual seharga 300 dinar, sebagaimana dikisahkan oleh murid beliau As Sakhowi.

Dalil ketiga:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه  قَالَ أَتَتِ النَّبِىَّ  صلى الله عليه و سلم  امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِ اللَّهِ  صلى الله عليه و سلم  فَقَالَ: مَا لِى فِى النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ. فَقَالَ رَجُلٌ: زَوِّجْنِيهَا. قَالَ: أَعْطِهَا ثَوْبًا . قَالَ: لاَ أَجِدُ . قَالَ: أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَاعْتَلَّ لَهُ . فَقَالَ: مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. قَالَ: كَذَا وَكَذَا : فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. متفق عليه
وفي لفظ لمسلم: انْطَلِقْ فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ الْقُرْآنِ.

Sahabat Sahl bin Saad mengisahkan: Ada seorang wanita yang datang menjumpai nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu wanita itu berkata: “Sesungguhnya aku telah menghibahkan diriku kepada Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar ucapan wanita itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Aku sedang tidak berhasrat untuk menikahi seorang wanita lagi.” Spontan ada seorang lelaki yang berkata: “Bila demikian, nikahkanlah aku dengannya.” Menanggapi permintaan sahabatnya itu, Nabi bersabda: “Berilah ia mas kawin berupa pakaian.” Lelaki itu menjawab: “Aku tidak memilikinya.” Kembali Nabi bersabda: “Bila demikian, berilah ia mas kawin walau hanya cincin besi (walau sedikit).” Kembali sahabat itupun mengutarakan alasannya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Surat apa saja yang telah engkau hafal?” Lelaki itupun menjawab: “Surat ini dan itu.” Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku telah menikahkanmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur’an yang telah engkau hafal.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada riwayat Imam Muslim disebutkan: “Pergilah, sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah dia (surat-surat) Al Qur’an (yang telah engkau hafal).”

Bila mengajarkan hafalan Al Qur’an memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dijadikan sebagai mas kawin, maka mengajarkan ilmu-ilmu kandungan Al Qur’an lebih layak untuk memiliki nilai ekonomis. Apalagi disiplin ilmu lain yang tidak ada kaitannya dengan agama, semisal program komputer atau yang serupa.

Dalil keempat:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: (المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih)

Tatkala anda membeli suatu karya ilmiah atau program, atau yang serupa, berarti anda telah menyetujui persyaratan yang dibuat oleh penulis atau pemilik program atau karya tersebut. Dan berdasarkan keumuman hadits ini, maka anda berkewajiban untuk memenuhi persyaratan tersebut.

Dalil kelima:

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ. رواه مسلم

Sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash radhialahu ‘anhu mengisahkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa mendambakan dirinya dijauhkan dari api neraka, dan dimasukkan ke surga, hendaknya ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaknya ia memperlakukan orang lain dengan perilaku yang ia suka untuk diperlakukan dengannya.” (Riwayat Muslim)

Saya yakin, anda pasti tidak rela dan tidak suka bila hasil jerih payah anda berbulan-bulan atau bahkan mungkin bertahun-tahun digunakan orang lain tanpa seizin anda. Apalagi bila anda mengetahui bahwa orang itu mendapatkan keuntungan dari hasil karya anda, baik dengan memperjual-belikannya atau cara lain tanpa memberikan imbalan sedikitpun atas jerih payah anda.

Bila demikian adanya, sudah sepantasnya bila anda juga memperlakukan orang lain dengan cara yang sama. Demikianlah etika yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini, dan dengan cara inilah anda dapat terjauhkan dari siksa neraka.

Dalil keenam:

Pengakuan dan penghargaan hak atas kekayaan intelektual menjadi motivator kuat bagi para pemikir, ilmuwan dan lainnya untuk menuangkan hasil pikiran mereka dalam tulisan atau karya nyata yang berguna bagi kehidupan umat manusia.

Anda bisa bayangkan, andai umat manusia tidak mengakui adanya kekayaan intelektual, apalah yang akan terjadi? Para ilmuwan akan sibuk dengan pekerjaannya sendiri, guna mencukupi kebutuhannya. Ia enggan untuk mengaplikasikan berbagai ilmu, teori dan temuannya, karena sibuk mengurusi mata pencahariannya. Tentu keadaan semacam ini sangat tidak menguntungkan.

Padahal anda tahu bahwa agama Islam diturunkan guna mewujudkan dan melipatgandakan kemaslahatan umat manusia. Dan sebaliknya, Islam juga datang guna menghilangkan dan meminimalkan madharat yang mengancam mereka.

Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk tidak mengakui sesuatu yang terbukti mendatangkan banyak maslahat dan menyingkirkan banyak madharat.

Fatwa Ulama

Kebanyakan ulama’ kontemporer dan juga berbagai badan fiqih internasional juga telah menegaskan akan pengakuan terhadap kekayaan intelektual tersebut. Berikut saya nukilkan fatwa Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:

“Tidak dibenarkan bagi anda untuk menggandakan program-program komputer  yang pemiliknya melarang untuk digandakan kecuali atas seizinnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Abu Hurairah radhialahu ‘anhu menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Umat Islam berkewajiban untuk senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” Dan juga berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبة من نَفْسٍ

“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali atas kerelaan darinya.”

Dan juga berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ سَبَقَ إِلَى مُبَاحٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

“Barang siapa telah lebih dahulu mendapatkan sesuatu yang mubah (halal) maka dialah yang lebih berhak atasnya.”

Hukum ini berlaku baik pencetus program adalah seorang muslim atau kafir selain kafir harbi (yang dengan terus terang memusuhi umat Islam), karena hak-hak orang kafir selain kafir harbi dihormati  layaknya hak-hak seorang muslim.

Wabillahittaufiq, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.” (Majmu’ Fatawa Lajnah Ad Da’imah 13/188, fatwa no: 18453)

Fiqih Council dibawah Rabithah Alam Islami (Muslim World League) pada sidang rutin mereka yang ke-9, yang diadakan di kantor pusatnya di kota Mekkah, pada tanggal 12/71406 H s/d 19/7/1406 H, menghasilkan keputusan fatwa yang sama. (Qararat Al Majma’ Al Fiqhi Al Islami hal: 192)

Penutup

Setelah anda mengetahui bahwa syari’at Islam mengakui adanya hak atas kekayaan intelektual, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk karya tulisan, program komputer, karya seni atau lainnya, maka sudah sepantasnya bila anda menghormati harta kekayaan saudara anda. Ketahuilah bahwa apapun sikap anda terhadap hak-hak saudara anda, maka demikian pulalah saudara anda akan memperlakukan anda.

Dalam pepatah dinyatakan:

كَمَا تَدِينُ تُدَان

“Sebagaimana anda memperlakukan orang lain, maka demikianlah mereka akan memperlakukan anda.”

Wallahu a’alam bisshowab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

Video Belajar Iqro Belajar Membaca Al-Quran

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28